Talqin Lā ilāha illallāh: Antara Lisan yang Terucap dan Iman yang Terpatri - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 19 jam yang lalu

Talqin Lā ilāha illallāh: Antara Lisan yangg Terucap dan Iman yangg Terpatri

Oleh : Tuti Mayukha (Alumni PUTM UMY Yogyakarta, pengajar di SMP MBS Limpung sekaligus personil bagian kader PDNA Batang)

PWMJATENG.COM – Dalam kehidupan ini, manusia memerlukan beragam macam pengetahuan, baik sumber yangg berkarakter naqli (tekstual) maupun aqli (rasional). Sumber yangg berkarakter naqli ini merupakan pilar dan sumber dari semua pengetahuan pengetahuan yangg dibutuhkan oleh manusia, baik dalam kepercayaan khususnya maupun masalah bumi pada umumnya. 

Salah satu sumber rujukan krusial dalam pembentukan norma sesudah  al-Qur’an adalah sabda yangg berfaedah sebagai penjelas  dari isi kandungan  al-Qur’an yangg tetap global. Dalam perihal ini, pengetahuan sabda mempunyai peran krusial dalam aliran kepercayaan Islam. As-sunah (hadis Nabi Saw.) merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam penerapan aliran Islam secara aktual dan ideal.

Pada dasarnya seluruh Nabi dan Rasul diutus untuk menyeru umatnya kepada seruan dakwah yangg sama, ialah bertauhid laailaaha illallah, tiada Ilah yangg patut disembah selain Allah. nan mempunyai makna, beribadahlah kalian kepada Allah semata. Pada asalnya, manusia telah bertauhid yangg merupakan pemberian dari Allah Swt., fitrah manusia berada di atas pembuatan yangg paling baik, namun lingkungan yangg menyimpang mengakibatkan manusia berada pada tempat yangg paling rendah, selain bagi manusia yangg beramal shalih pada saat hidup di dunia

Ibnu katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya tentang ayat yangg artinya “…Setiap makhluk yangg bernyawa pasti bakal merasakan mati.”Ayat tersebut memperingatkan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini bahwa tidak ada satu pun yangg dapat menghindari kematian yangg telah ditetapkan oleh Allah swt. Oleh lantaran itu mengajarkan kalimat  lā ilāha illallāh  terhadap orang yangg bakal meninggal bumi sudah tidak asing lagi bagi umat muslim. Berkaitan dengan perihal ini terdapat sabda Nabi saw yangg artinya, “Barangsiapa yangg meninggal bumi dan akhir ucapannya adalah lā ilāha illallāh maka bakal masuk surga.”Salah satunya adalah riwayat Abu Daud dari Muadz bin Jabal dalam kitab jenazah bab Talqīn  sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ عَبْدِ الْوَاحِدِ الْمِسْمَعِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنِي صَالِحُ بْنُ أَبِي عَرِيبٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه ابو داود في سننه, ص. ٥۱۷, رقم الحديث: ۲۰۷۹)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Malik bin Abdul Wahid Al Misma’i, telah menceritakan kepada kami Adh Dhahhak bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja’far, telah menceritakan kepadaku Shalih bin Abu ‘Arib dari Katsir bin Murrah dari Mu’adz bin Jabal, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Barangsiapa yangg akhir perkataannya lā ilāha illallāh (sebelum meninggal dunia) maka dia bakal masuk surga.” (HR. Sunan Abu Daud dalam kitab Sunannya, hal. 517, nomor 2709)

Hadis di atas jika difahami secara tekstual saja dapat menimbulkan beragam spekulasi bahwa hanya dengan berbicara kalimat tauhid sebelum meninggal seseorang bisa masuk surga, sehingga muncullah berbagi pertanyaan, masyarakat “Apakah hanya dengan berkata lā ilāha illallāh dapat masuk surga tanpa syarat apapun? Dan Apakah perihal tersebut dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa saja alias sebaliknya?”. Kenyataannya terdapat matan sabda yangg kandungan petunjuknya kudu difahami secara tekstual saja sehingga tidak diperlukan lagi pemahaman secara kontekstual. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat pula matan  sabda yangg memerlukan pemahaman dengan keduanya.

Hadis tentang berbicara Lā ilāha illallāh menjelang kematian masuk surga juga terdapat dalam riwayat lain oleh Imam Bukhari sabda nomor 5827 dalam kitab al-libās (pakaian-pakaian) bab busana putih.

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الْحُسَيْنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ وَهُوَ نَائِمٌ ثُمَّ أَتَيْتُهُ وَقَدْ اسْتَيْقَظَ فَقَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ وَكَانَ أَبُو ذَرٍّ إِذَا حَدَّثَ بِهَذَا قَالَ وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ هَذَا عِنْدَ الْمَوْتِ أَوْ قَبْلَهُ إِذَا تَابَ وَنَدِمَ وَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ غُفِرَ لَهُ  (رواه البخاري في صحيحه, ص.٦٩, رقم الحديث:٥٨٢٧)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami Abdul Warits dari Al-Husain dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya’mar dia menceritakan kepadanya bahwa Abu Aswad Ad-Du`ali telah menceritakan kepadanya bahwa Abu Dzar ra. telah menceritakan kepadanya, dia berkata; “Saya pernah menemui Nabi saw. sementara beliau sedang tidur sembari mengenakan baju putih, lampau saya datang menemuinya dan beliau pun terbangun, beliau bersabda: “Tidaklah seorang hamba yangg berkatakan lā ilāha illallāh kemudian meninggal lantaran itu melainkan dia bakal masuk surga.” Tanyaku selanjutnya; “Walaupun dia bercabul dan mencuri?” beliau menimpali: “Walaupun dia pernah bercabul dan mencuri.” Tanyaku lagi; “Walaupun dia pernah bercabul dan mencuri?” beliau menjawab: “Walaupun dia pernah bercabul dan mencuri.” Tanyaku lagi; “Walaupun dia pernah bercabul dan mencuri?” beliau menjawab: “Walaupun dia pernah bercabul dan mencuri.” -walaupun sepertinya Abu Dzar kurang puas- Apabila Abu Dzar menceritakan perihal ini, maka dia bakal mengatakan; “Walaupun” sepertinya Abu Dzar kurang puas. Abu Abdullah mengatakan; “Hal ini jika terjadi ketika seorang hamba itu meninggal alias sebelum dia meninggal lampau bertaubat dan menyesali perbuatannya serta mengatakatakan  lā ilāha illallāh, maka dosa-dosanya bakal terampuni.”(HR. Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih nya, hal. 69, no. 5827)

Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)

Adapun maksud lafal هَذَا عِنْدَ الْمَوْتِ أَوْ قَبْلَهُ إِذَا تَابَ وَنَدِمَ yangg artinya “ Hal ini bertindak saat menjelang kematian alias sebelumnya jika dia bertaubat dan menyesal.” Maksudnya, bertaubat dari kekufuran. Bahwasanya Imam Bukhari hendak menjelaskan kalimat, “Tidak ada seorang hamba yangg mengucapkan Lā ilāha illallāh, kemudian dia meninggal atas perihal itu, melainkan dia masuk surga.” Kesimpulan dari apa yangg diisyaratkan kepadanya bahwa hadis ini difahami untuk seseorang yangg mengesakan Tuhannya kemudian meninggal dalam keadaan demikian disertai taubat atas dosa-dosanya. Pada kondisi demikian dia dijanjikan masuk surga.

Hal tersebut berkenaan dengan hak-hak Allah swt. Adapun hak-hak hamba maka disyaratkan untuk mengembalikannya. Sedangkan mereka yangg melakukan dosa dan tidak bertaubat, maka menurut makna dhahir sabda dia juga masuk surga. Akan tetapi, menurut madzhab ahlussunnah sesungguhnya perihal tersebut adalah dalam kehendak Allah swt. Hal ini diindikasikan sabda Ubadah bin ash-Shamit pada pembahasan tentang iman,

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ

Artinya “Barangsiapa yangg melanggar dari perihal tersebut lampau Allah menghukumnya di bumi maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yangg melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia berkemauan akan, memaafkannya dan jika Dia berkemauan bakal menyiksanya.”

Riwayat ini lebih rinci sehingga lebih diutamakan dari pada sabda yangg tetap global. Hadis tersebut menolak mahir bid’ah dari kalangan Khawarij dan Mu’tazilah yangg mengatakan bahwa pelaku dosa besar yangg belum bertaubat, niscaya bakal kekal dalam neraka. Ibnu at-Tin menukil dari ad-Dawudi bahwa perkataan Imam Bukhari menyelisihi makna dhahir hadis. Menurutnya, jika disyaratkan taubat, tentu tidak bakal dikatakan, “Meskipun bercabul dan mencuri.” Dia berkata, “Bahkan maksudnya, orang itu bakal masuk surga, baik sejak awal ataupun setelah menjalani masa hukuman).

Adapun dalam kitab Aunul ma’bud karya Ibnu Qayyim al-Jauzi Ibnu Hajar al-Asqalani beranggapan bahwa maksud ucapan Lā ilāha illallāh pada sabda ini dan sabda pendukung lainnya adalah dua kalimat syahadat, dengan demikian tidak ada masalah dengan tidak disebutkannya kalimat kerasulan. Kemudian diperkuat oleh Zain bin Munayyar bahwa kalimat Lā ilāha illallāh  tersebut biasa digunakan untuk mengungkapkan dua kalimat syahadat. Hal ini berangkaian dengan sabda Abu Said Al-Khudriyyi dengan lafal لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ   yang artinya “Ajarilah orang yangg bakal meninggal diantara kalian dengan ucapan Lā ilāha illallāh.” Maksud sabda tersebut adalah agar manusia menyebut kalimat tauhid alias kalimat syahadat ketika menjelang kematian sehingga perkatan akhir sebelum meninggalnya adalah kalimat Lā ilāha illallāh. Sedangkan sabda riwayat Abu Daud tentang barangsiapa yangg mengucapkan kalimat  Lā ilāha illallāh diakhir hayatnya tidak menjelaskan apakah perihal tersebut bertindak untuk semua orang alias sebaliknya. Az-Zain bin Al-Munayyar beranggapan bahwa riwayat ini mencakup pula bagi orang yangg bakal meninggal dunia, alias hidupnya tetap lama namun dia tidak mengucapkan kalimat lain setelah itu.

Jadi dalam perihal ini ada dua  makna mengenai kajian pada sabda ini, ialah makna asasi dan majazi.  Adapun secara asasi para ustadz telah beranggapan bahwa siapa saja yangg mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh menjelang kematian maka masuk surga. Sedangkan makna majazi dari sabda ini bahwa untuk dapat masuk surga tidak semata-mata hanya dengan mengucapkan kalimat Lā ilāha illallāh saja, bakal tetapi bahwa surga dapat dinikmati oleh siapa saja yangg telah beragama kepada Allah swt semata tanpa menyekutukannya dengan perihal apapun, bertakwa, bertaubat atas dosa-dosanya serta melakukan amalan-amalan kebaikan ketika di dunia.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 98

-->
Sumber pwmjateng.com
pwmjateng.com