Perjanjian Pra-Nikah dalam Pandangan Islam - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 19 jam yang lalu

PWMJATENG.COM – Perkawinan dalam Islam bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan juga ikatan sakral yangg dilandasi tanggung jawab spiritual, moral, dan sosial. Namun, dalam dinamika kehidupan modern, muncul kejadian baru yangg dikenal sebagai perjanjian pra-nikah alias prenup. Perjanjian ini menjadi topik perbincangan hangat lantaran dianggap sebagai corak antisipasi terhadap kemungkinan persoalan rumah tangga di masa depan, terutama mengenai urusan harta, tanggung jawab, dan kewenangan masing-masing pihak.

Dalam perspektif Islam, prinsip dasar pernikahan adalah mitsaqan ghaliza—perjanjian yangg agung. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt. pada Surah An-Nisa ayat 21:

وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari Anda perjanjian yangg kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Ayat ini menggambarkan sungguh seriusnya pernikahan dalam pandangan Islam. Pernikahan bukan sekadar perjanjian sosial, tetapi juga amanah yangg berbobot ibadah. Dalam konteks ini, setiap kesepakatan yangg dilakukan sebelum janji nikah kudu tetap berpijak pada prinsip keadilan dan tidak bertentangan dengan norma syariat.

Perjanjian pra-nikah dapat dipahami sebagai corak kesepakatan yangg dibuat calon suami dan istri untuk mengatur hal-hal tertentu sebelum melangsungkan akad. Misalnya, tentang pengelolaan harta, tanggung jawab ekonomi, alias kewenangan dan tanggungjawab dalam keluarga. Dalam norma Islam, kesepakatan semacam ini dikenal dengan istilah syuruth fi an-nikah (syarat dalam pernikahan). Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

“Syarat yangg paling berkuasa untuk Anda penuhi adalah syarat yangg menghalalkan kemaluan bagi kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang bagi pasangan untuk membikin syarat alias kesepakatan selama tidak bertentangan dengan norma Allah. Artinya, perjanjian pra-nikah diperbolehkan selama tidak meniadakan kewenangan alias tanggungjawab yangg sudah ditetapkan syariat.

Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)

Contohnya, jika seorang istri mengusulkan syarat agar suami tidak menikah lagi tanpa izin, alias agar istri tetap diizinkan bekerja setelah menikah, maka syarat itu boleh diterapkan selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam dan disepakati oleh kedua pihak. Hal ini sejalan dengan norma fikih:

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

“Kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, selain syarat yangg menghalalkan yangg haram alias mengharamkan yangg halal.” (HR. Tirmidzi)

Kaidah tersebut menjadi dasar bahwa Islam menghormati perjanjian, selama isi perjanjian itu tidak melanggar pemisah syariat. Oleh lantaran itu, perjanjian pra-nikah bisa menjadi sarana untuk memperkuat komitmen dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Namun demikian, para ustadz juga mengingatkan agar perjanjian pra-nikah tidak dijadikan perangkat untuk menumbuhkan kecurigaan alias ketidakpercayaan di antara pasangan. Sebab, pernikahan sejatinya dibangun di atas dasar kasih sayang (mawaddah wa rahmah) sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Ar-Rum ayat 21:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri agar Anda condong dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)

Dengan demikian, prinsip perjanjian pra-nikah dalam Islam bukan untuk membatasi cinta, tetapi untuk menjaga keadilan, melindungi hak, dan memastikan kesalingan tanggung jawab. Dalam konteks masyarakat modern yangg kompleks, keberadaan perjanjian ini bisa menjadi solusi preventif terhadap potensi konflik, selama dibuat dengan niat tulus dan sesuai tuntunan syariat.

Islam tidak menolak kemajuan, tetapi menegaskan bahwa setiap corak penemuan norma kudu tetap berpijak pada nilai-nilai ilahiah. Perjanjian pra-nikah, jika diletakkan dalam bingkai ta’awun (tolong-menolong) dan maslahah (kemaslahatan), justru mencerminkan kedewasaan dalam berakidah dan berumah tangga.

Pada akhirnya, perjanjian pra-nikah bukan sekadar arsip hukum, melainkan gambaran niat suci untuk membangun family yangg adil, harmonis, dan diridhai Allah Swt.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 87

-->
Sumber pwmjateng.com
pwmjateng.com