IBTimes.ID – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafiq Mughni menyebut ada lima karakter Islam Berkemajuan. Antara lain berdasarkan tauhid, kembali kepada Alquran dan sunnah, menghidupkan ijtihad dan tajdid, mengembangkan wasathiyah, dan menunjukkan sifat rahmatan lil-‘alamin.
Dalam perihal kembali kepada Alquran dan sunnah, menurut Syafiq, Muhammadiyah tidak tekstual. Melainkan menggunakan penafsiran kontekstual.
“Ada dimensi logika, pengetahuan pengetahuan dan teknologi nan kudu kita libatkan dalam memaknai Alquran dan Sunnah itu,” ujar Syafiq.
Hal tersebut dia sampaikan dalam Pengajian Ramadan 1444H PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (25/3).
Menurut Syafiq, dalam kepercayaan Muhammadiyah, tauhid itu bukan hanya sekadar keyakinan, tapi juga pengamalan. Selain itu, Muhammadiyah menghindari perdebatan kalam ataupun teologis.
“Oleh lantaran itu garis besarnya, bahwa tauhid nan jadi landasan bagi Muhammadiyah alias Islam Berkemajuan itu adalah tauhid nan punya implikasi bagi kehidupan sosial, bagi alam semesta. Juga gimana manusia sebagai makhluk nan tunggal itu kudu dimuliakan, ditinggikan derajatnya, dicerahkan dengan dakwah penuh cinta agar mereka kembali ke jalan nan betul dan menghindari jalan nan sesat,” jelasnya sebagaimana dilansir dari laman PP Muhammadiyah.
Di poin kedua, dia menyebut bahwa Muhammadiyah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai pedoman. Namun, meski demikian, Muhammadiyah tidak asal menelannya secara mentah-mentah (tekstual).
Contoh paling aktual soal ini, kata Syafiq adalah langkah Muhammadiyah mengartikan sabda mengenai penentuan waktu puasa Ramadan nan bunyinya Shumu li ru’yatii wa afthiru li ru’yatihi fa in ghummiya ‘alaikum al-syahru fa ‘uddu tsalatsina.
Dalam konteks ijtihad, menurut Syafiq, Muhammadiyah beranggapan bahwa pintu ijtihad tidak bakal tertutup sampai akhir zaman.
“Bagi Muhammadiyah, baik secara normatif maupun tidak, ijtihad itu tidak pernah tertutup, terus terbuka apalagi sampai ashrun (zaman) taklid pun, tetap ada orang nan berijtihad,” kata Syafiq.
Sementara itu, sikap tengahan (wasatiyah), imbuhnya, diambil dari makna Surat Al-Baqarah ayat 143 untuk menjadi umat tengahan (ummatan wasathan). Dalam beragam tafsir, ummatan wasathan diartikan sebagai umat terbaik (khairu ummah).
“Maka kudu dipertahankan ke-wasatiyah-an ini dan jangan sampai terseret ke kanan nan ekstrim alias ke kiri nan tasahul, meremehkan (syariat). Jadi tidak terlalu liberal dan tidak terlalu konservatif,” jelas Syafiq.
Sifat rahmatan lil ‘alamin, menurutnya, ditunjukkan kepada siapapun tanpa membeda-bedakan latar belakang. Termasuk kepada nan berbeda agama, dan kepada lingkungan.
“Bagaimana kita menjadi rahmat bagi lingkungan. Ini saya kira pemahaman nan komprehensif, bukan berfaedah reduksionis nan menyederhanakan Islam menjadi sekadar rahmat, tapi lantaran memang isi dari Islam itu adalah rahmatan lil-‘alamin,” ujarnya.
“Maka menjadi tugas kita semua untuk mewujudkan lima karakter unik atau al khasaaish al khamsah ini agar menjadi karakter dari kita baik keputusan nan diambil tarjih, kebijakan pimpinan, maupun aktivitas dan pengkhidmatan kita. Untuk membangun bumi nan kondusif dan sejahtera lantaran mendapat limpahan dari rahmatan lil-‘alamin,” pungkas Syafiq.
(Afn/Yusuf)