Seni Memaknai Patah Hati ala Rumi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Maulana Jalaluddin Rumi, seorang seorang sufi besar abad ke-13 dan juga seorang darwis. Namanya sangat terkenal bukan hanya dikalangan umat muslim, namun juga karya-karyanya sepanjang era berpengaruh di bumi Barat. Hal itu disebabkan syair Rumi berisi pencerahan jiwa dan sangat relevan bagi kehidupan manusia modern nan kering bakal nilai spiritual seperti sekarang ini.

Syair-syairnya diciptakan tidak hanya sekedar menyampaikan gagasan, ide, serta imajinasi, melainkan juga sebagai penjelasan dan penafsiran makna al-Quran nan dengannya dapat menginspirasi dan memantik karakter Islam sejati bagi para pembacanya. Dalam Matsnawinya, Rumi juga menyentuh urusan qalbu, seperti tentang patah hati. Rumi berkata, “Biarkan hatimu patah, agar dia terbuka.”

Spirit syair Rumi di atas terinspirasi dari ayat 156 surat al-Baqarah. Meskipun hanya segelintir bait, namun didalamnya mengandung makna nan dalam serta dapat membujuk tadabbur dan membangkitkan hati nan telah patah. Sebuah tawaran kepada mereka nan sedang gundah gulana ditinggalkan kekasihnya ataupun nan tengah dirundung kesedihan dalam menghadapi musibah.

Rumi: Biarkan Hatimu Patah, Agar Ia Terbuka

Dalam al-Quran Allah Swt mengingatkan kepada hambanya, “Orang-orang nan andaikan ditimpa musibah, mereka mengatakan, Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun“. (QS. al-Baqarah [2]: 156). Makna sesungguhnya ayat ini, tentang awal perjalanan hidup manusia sampai kelak kembali lagi kepada sumbernya alias Allah Swt, nan orang Jawa menyebutnya dengan ‘sangkan paraning dumadi’.

Haidar Bagir dalam kajian Tasawuf Nur al-Wala menjelaskan bahwa sejatinya perjalanan manusia adalah Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Ketika di alam bumi manusia dilepas, Allah Swt memberikan manusia karsa bebas, dengan karsa bebas ini dia dapat memilih: menempuh jalan nan betul menuju Sumbernya alias sebaliknya.

Tetapi Allah dalam banyak kesempatan juga bakal memberikan pengajaran kepada manusia agar selamat kembali kepada prinsip kesadarannya, seperti melalui musibah dan derita ini, namun bagi mereka nan abai dan hanya menuruti nafsunya bakal jatuh terpeleset.

Jalaluddin Rumi dalam syairnya nan lain lebih lanjut menarasikan:

Engkau menginginkan air dalam kendi tanah liat,

tetapi ketika engkau memecahkannya,

air itu bakal kembali berasosiasi dengan waduk dari mana dia berasal.

Ego manusia mencoba untuk mencegah pertemuan itu,

dan selalu menolak saran apapun tentang perlunya pertemuan.

***

Rumi meminta kita biar saja hati kita patah. Fakhruddin Faiz dalam kajian Filsafat seri Patah Hati menjelaskan syair Rumi tersebut, seumpama seseorang memerlukan air agar bisa memuaskan dahaga.

Sebagaimana manusia seringkali hanya memperhatikan gimana dia kudu terus bisa memenuhi hasrat, ambisi, dan nafsunya. Namun jika itu tidak terpenuhi, hatinya bakal patah. Pecah itu seperti air dalam wadah kendi nan jatuh memancar dan lambat laun bakal kembali ke sumber asalnya.

Ketika hati patah, saat itu sejatinya hati telah terbuka untuk menuju kepada nan hakiki. Sedangkan ego matian-matian berupaya tetap untuk menuruti sesuai kemauan manusia dan agar hati tadi tidak melangkah menuju kepada sang Empunya. Misalnya, kala seorang patah hati berpisah dengan nan dia cintai, daya nan dilakukannya paling besar adalah untuk kembali kepada pasangannya, dia lupa sebenarnya ada proses nan lebih ideal, ialah kembali kepada Allah.

Sayyid Quthb menambahkan bahwa nan terpenting dari pelajaran musibah, derita, alias luka hati adalah kembalinya kita mengingat Allah, ketika menghadapi segala keraguan dan kegoncangan, serta berupaya mengosongkan hati dari segala perihal selain ditujukkan semata kepada Allah.

Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan selain kekuatan Allah, tidak daya selain daya Allah, dan tidak kemauan selain kemauan mengabdi kepada Allah. Ketika itu, bakal bertemulah ruh dengan sebuah prinsip nan menjadi landasan tegaknya pandangan (tashawwur) nan benar. (Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz I, h. 261)

Rumi Menjadi Seorang Sufi: Berawal dari Patah Hati dan Kerinduan

Pertemuan Maulana Jalaluddin Rumi dengan gurunya sekaligus sahabatnya, Syams at-Tabriz bermulai ketika Rumi sedang enak-enak mengajar muridnya di pagi hari seperti biasanya. Kemudian datanglah Syams at-Tabrizi nan lantas bertanya pada Rumi tentang apa nan dimaksud dengan riyadah dan ilmu. Mendengar pertanyaan dari Tabriz nan sebelumnya tidak dia kenal malah membikin Rumi terkesima.

Pertemuan nan menggetarkan itu memicu banyak keingintahuan Rumi, sampai akhirnya dia memutuskan untuk belajar dengan Syams at-Tabrizi. Tabriz mengajar dan membimbing Rumi dengan pengetahuan nan belum pernah dia pelajari sebelumnya. Ia merasakan prinsip cinta dan ikatan nan kuat dengan gurunya.

Hanya saja, Syams at-Tabriz pernah pergi meninggalkan Rumi. Bak remaja nan ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi betul-betul patah hati. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Alasan Tabrizi pergi demi kematangan spiritual Rumi ialah melalui perpisahan. Saat itu Rumi berumur 40 tahun dan dianggap sebagai simbol kematangan spiritual, karena Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun. Kematangan artinya persatuan dengan Sang Kekasih. (Diwan Syams Tabrizi, 2018).

Kepergian sahabat nan dicintainya ini juga memicu adanya majelis sema’, majelis nan berisi zikir dengan musik dan tarian. Rumi memakai busana berkabung dalam majelis ini sebagai simbol kesedihan. Namun dari kisah patah hatinya ini membawa kesadaran Rumi bahwa hanya Tuhan nan dapat memberinya pengetahuan dan persahabatan sejati, nan bisa mengembalikan kedamaian di dalam hatinya.

Seni Mengatasi Patah Hati: dari Derita Menuju Cinta Ilahi

Seringkali ketika datangnya musibah alias kehilangan nan terkasih, seseorang mengusulkan pertanyaan “mengapa?” secara berulang atas kejadian nan terjadi dan sayangnya tidak ada jawaban nan bisa mengembalikan apapun nan telah terjadi. Menjadi minfulness bakal membawa pikiran kita betul-betul ada pada masa sekarang dan tidak melulu menoleh kebelakang apalagi mengingat sedihnya ditinggal orang tersayang.

Selain dengan berefleksi alias tadabbur, bahwa sebagai manusia perlu kita ubah persepsi dan tujuan kita untuk mencintai sesuatu perihal nan ada di bumi fana. Kita pahami bahwa sesuatu perihal nan berkarakter duniawi berkarakter tidak abadi, cinta nan berlebihan kepada sosok materi malah bakal membikin kita lalai pada hidup, dan terjebak pada lingkaran tiruan tentang kebahagiaan, serta luka hati nan berkepanjangan. Itulah kenapa mencintai duniawi bakal berujung patah hati, lantaran memang tidak berkarakter abadi.

Jika manusia menginginkan corak cinta abadi, mari mencoba untuk merubah pandangan dan tujuan tentang cinta. Mari menuju cinta nan murni tanpa patah hati dengan pendekatan individual dan spiritual.

Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa tujuan utama latihan spiritual adalah untuk memungkinkan kita mengatasi keberatan nan ditujukan oleh ego kita, sehingga dengan mudah kita dapat melanjutkan perjalanan kita ke Samudra Persatuan.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id