Sebuah Tawaran Memutus Mata Rantai Perkawinan Dini - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Pada bulan September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Revisi ini terfokus pada perubahan pemisah usia perkawinan, nan sebelumnya ditetapkan minimal 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki. Namun berubah menjadi minimal 19 tahun untuk kedua jenis kelamin.

Tentu saja, putusan itu disambut positif oleh beragam pihak, terutama dari kalangan aktivis perempuan. Revisi ini dilakukan pasca putusan Mahkamah Konstitusi nan mengabulkan gugatan perihal pemisah usia perkawinan, nan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Meski demikian, dapat kita tangkap, semangat dari pengajuan gugatan uji materi tersebut bukan sekedar perbedaan pemisah usia perkawinan antara wanita dan laki-laki.

Lebih dari itu, semangat nan mendasari gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut didasari angan untuk mengurangi nomor perkawinan awal nan tetap marak di beragam penjuru tanah air. Regulasi perkawinan selama ini menjadi instrumen untuk mengendalikan perkawinan nan dianggap tidak ideal dari sisi usia.

Kondisi di Lapangan

Sayangnya, dalam kenyataannya di lapangan, instrumen norma melalui UU Perkawinan tersebut, tidak cukup efektif dalam mengendalikan pencegahan perkawinan dini.  Selama belasan tahun, di beragam wilayah kerap ditemukan nomor perkawinan di bawah pemisah umur tetap tinggi. Baik nan dilakukan secara tidak tercatat ataupun resmi melalui KUA. Perkawinan di bawah umur secara resmi tetap bisa dilakukan, antara lain dengan menggunakan instrumen pengecualian perkawinan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) nan dilakukan pada tahun 2018 oleh BPS menunjukkan nomor perkawinan anak nan tetap cukup tinggi di Indonesia, mencapai 1,2 juta kejadian. Hal ini menjadi nan tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara. Faktor penyebab tingginya nomor perkawinan di bawah umur di Indonesia antara lain lantaran adanya tradisi nan tetap menganggap perkawinan sebagai langkah memperoleh keamanan ekonomi dan sosial, terutama di pedesaan.

Masalah perkawinan anak menjadi krusial untuk diatasi dan digaungkan bersama. Sebab, tidak saja berangkaian dengan kesiapan reproduksi kedua individu, pengurangan perkawinan anak juga mengenai dengan sasaran Indonesia Emas 2045. Yakni sasaran pencapaian Indonesia sebagai negara modern dan makmur. Kita tahu salah satu elemennya adalah kualitas hidup manusia alias Human Development Index (HDI).

Sebab itu, penggunaan instrumen norma sebagai upaya pengurangan perkawinan awal perlu diimbangi dengan penguatan instrumen lainnya. Antara lain dengan pendekatan sosio-kultural nan selama ini terkesan kurang efektif. Pun nan kudu digarisbawahi juga, faktor-faktor nan menjadi pendorong terjadinya perkawinan dini, bisa berbeda di setiap daerah.

Ragam Faktor Penyebab Perkawinan Dini

Dalam konteks ini, kehadiran kitab berjudul Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan Dini Komunitas Muslim Madura di Kabupaten Jember, menarik untuk disimak. Mengambil studi kasus di salah satu wilayah nan ada di Jember, Jawa Timur, terdapat beberapa temuan menarik disajikan dalam kitab ini. Beberapa diantaranya bisa menjadi bahan pertimbangan terutama bagi pengambil kebijakan, serta aktvis gender.

Dengan konsentrasi lokus di organisasi Muslim Madura yang ada di Jember. Satu perihal nan menjadi kekuatan dari kitab ini adalah bahan-bahannya nan diperoleh sang penulis secara live-in, alias hidup berbareng dengan objek studi. Sebab, dengan tingkat pendidikan sebagian masyarakatnya nan secara umum tetap terbatas –termasuk penguasaan bahasa Indonesia nan belum merata-, dibutuhkan strategi unik untuk memahami kondisi sosio-kultural nan mendasari perkawinan awal di masyarakat nan menjadi objek kajian kitab ini.

Latar belakang sang penulis, Erma Fatmawati-yang memulai karir sebagai pembimbing di tingkat Madrasah Ibtidaiyah (setara SD) sebelum menjadi birokrat dan dosen- kiranya cukup menunjang dalam proses penggalian data. Sebab, perkawinan awal di masyarakat pedesaan –khususnya pada organisasi Muslim Madura- erat kaitannya dengan pemenuhan kewenangan pendidikan anak.

Buku ini juga berbeda dengan dugaan banyak pihak nan mengira perkawinan awal pada anak-anak di pedesaan lebih lantaran aspek perjodohan dari family alias orang tua. Di dalam kitab ini dijelaskan bahwa perkawinan awal banyak terjadi bukan lantaran paksaan, melainkan kesadaran dari kedua mempelai.

Faktor budaya nan berkelindan dengan aliran agama, menjadi aspek pendorong. Walaupun tujuan awalnya tentu banget baik, ialah norma sosial nan menganggap pacaran pada remaja sebagai perbuatan tidak terpuji (maksiat). Sehingga daripada melakukan perbuatan seperti berduaan alias berboncengan, bakal lebih baik jika muda-mudi desa nan sedang kasmaran tersebut langsung dinikahkan saja.

***

Salah satu aspek utama terjadinya perkawinan di bawah umur adalah adanya dualisme norma norma nan hidup di masyarakat dan seakan bertentangan satu sama lain. Perkawinan awal nan dianggap sah dalam norma agama, namun bertentangan dengan patokan norma negara, menjadi contoh konkret dari dualisme ini. Kondisi ini semakin memperumit situasi dan menuntut adanya penanganan nan tepat agar hak-hak anak dapat dijaga dengan baik tanpa merusak nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan masyarakat.

Praktik pencatatan perkawinan awal ke KUA sebagaimana diurai dalam kitab ini, juga patut menjadi perhatian. Salah satunya dugaan praktik “menaikkan usia” dalam arsip kependudukan tertentu, demi mengakali persyaratan nan ada.

Hal nan mungkin cukup menggembirakan, adalah upaya menggenjot nomor partisipasi pendidikan di beberapa wilayah pedesaan nan ada di Jember. Rupanya itu juga berkorelasi lurus dengan pengurangan nomor perkawinan dini. Hal ini sekaligus bisa menjadi ikhtiar memutus semacam “lingkaran setan”, ialah praktik di mana orang tua nan masa mudanya menjalani perkawinan dini, condong mendorong anaknya melakukan perihal nan serupa.

Pada akhirnya, meskipun kitab ini mengambil studi kasus di wilayah nan cukup spesifik di Jember. Rekomendasi kebijakannya bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi kebijakan secara umum. Utamanya, kebijakan pengurangan perkawinan awal di wilayah-wilayah nan terpencil. Sebab, memerlukan stretegi komunikasi dan pendekatan nan matang, untuk mengkampanyekan pencegahan perkawinan awal di masyarakat pedesaan.

Daftar Buku

Judul Buku         : Sosio-Antropologi Pernikahan Dini: Melacak Living Fiqh Pernikahan Dini Komunitas Muslim Madura di Kabupaten Jember

Penulis               : Dr. Hj. Erma Fatmawati, M.Pd.I.

Editor                 : Muhammad Fauzinuddin Faiz

Penerbit             : CV. Pustaka Ilmu Yogyakarta

Tahun Terbit      : Februari 2020

Tebal Halaman : 144 laman + xvii

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id