Pendahuluan
Sastra telah berkembang jauh sebelum arti sastra itu sendiri muncul. Pada awal munculnya, sastra memuat esensi-esensi dan nilai aliran pokok ketuhanan dan kemanusiaan. Sastra tidak hanya memuat unsur estetika di dalamnya. Perlu diketahui bahwa sastra pada mulanya merupakan satu sarana untuk mengangkat harkat dan martabat suatu golongan alias sekte.
Dalam perkembangannya sastra mengalami perkembangan dari segi substansi maupun corak narasi. Hingga pada masa Islam datang, nan dibawa oleh Rasulullah Saw, sastra menjadi asing, khususnya di tanah Arab. Secara tekstual, terdapat ayat-ayat Al-Qur’an nan mencela sastra dan sastrawan pada masa itu.
Hal ini menjadi pergejolakan pada masa nubuwah tersebut, sehingga terdapat beberapa kalangan nan mengharamkan sastra dengan argumentasi dalil al-Qur’an dan Hadits. Lantas, apakah pengharaman sastra dilegitimasi oleh bangunan fikih Islam? Sedangkan tetap banyak para sastrawan cengkir karyanya bermunculan hingga masa sekarang? perihal tersebut bakal dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Definisi Sastra
Dalam kamus besar bahasa indonesia, sastra diartikan dengan karya tulis nan jika dibandingkan dengan tulisan lain. Ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keelokan dalam isi dan ungkapannya, bakal lebih bagus dan tendensi kepada nilai-nilai kebaikan. Aspek-aspek nan terbungkus pada karya sastra pada umumnya adalah aspek humanitas, sosial, intelektual, ataupun lainnya, nan disampaikan dengan redaksi nan khas.
Palto memberikan arti nan ciamik mengenai sastra, ialah hasil peniruan alias gambaran dari kenyataan. Sebuah karya sastra merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan.sastra dapat digolongan menjadi dua jenis ialah nan berkarakter imajinatif dan non-imajinatif. Selain itu, juga terdapat beberapa jenis karya sastra, antara lain puisi, drama, prosa, dan essai (Emzir, dkk, Tentang Sastra: Orkestrasi Teori dan Pembelajarannya, 4).
Ayat-Ayat Tentang Sastra
Ayat tentang sastra termaktub salah satunya dalam QS. al-Syuara’: 224-227, nan dibahasakan Al-Qur’an dengan seorang penyair:
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ
اَلَمْ تَرَ اَنَّهُمْ فِيْ كُلِّ وَادٍ يَّهِيْمُوْنَ ۙ
وَاَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ۙ
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَذَكَرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّانْتَصَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا ۗوَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ ࣖ
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab nan jelas, Tidakkah engkau memandang bahwa mereka mengembara di setiap lembah, Dan bahwa mereka mengatakan apa nan mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) nan beragama dan melakukan amal dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang nan kejam kelak bakal tahu ke tempat mana mereka bakal kembali.”
Secara redaksional, ayat tersebut memberikan gambaran mengenai sastrawan dan karya sastranya. Kecuali dengan keagamaan nan kokoh, seorang sastrawan dengan keahlian olah-bahasa nan mumpuni bakal menggiring pemahaman umat ke dalam kesesatan dan kehinaan.
Dalam redaksi suatu hadits disebutkan, dalam ayat tersebut juga mencitrakan ketidaksimpatikan al-Qur’an terhadap karya sastra nan ada. Dalam redaksi suatu hadits nan diriwatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim disebutkan;
“Seorang dari Anda lebih baik menelan nanah kemudian dimuntahkan kembali daripada menelan puisi”
Secara tegas, Nabi mengatakan bahwa sastra alias puisi, tidak lebih baik dari pada muntahan manusia. jika dipahami secara tekstual, hadits tersebut sangat menolak perkembangan puisi ataupun sastra pada masanya. Dalam QS. Yaasin: 69:
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab nan jelas,
Keadaan Sastra Saat Al-Qur’an Datang
Pada masa pra-Islam, di Arab sastra menjadi salah satu perintis peradaban. Bahkan terdapat forum unik untuk mempublikasi dan mendemonstrasikan karya-karya sastranya nan berbentuk puisi, prosa, alias nan lain. Terdapat ayyam al-asywaq, yaitu agenda rutin pagelaran sastra di pasar Arab. Akan tetapi, turunnya Al-Qur’an menandakan lemahnya sastra. Nilai-nilai artistik nan terkandung dalam narasi sastra tereliminasi oleh keelokan kata, rima, dan irama, dalam Al-Qur’an.
Fenomena tersebut, diinterpretasikan oleh beberapa kalangan dengan justifikasi negatif terhadap sastra, ialah sastra tidak ciamik lagi, lantaran tergerus oleh estetika bahasa Al-Qur’an. Ditambahi dengan QS. al-Syu’ara nan menyatakan ketidaksimpatikannya terhadap sastra. Sebab berpotensi merusak tatanan keagamaan umat pada masa itu, ialah dengan salah satu jenis konten sastra nan sifatnya mencela dan menghujat.
Dengan adanya redaksi al-Qur’an dan hadits nan secara zahir merendahkan para penyair, maka perihal tersebut menjadi problematika tersendiri bagi kalangan ulama’ fikih perihal kebolehan syair alias sastra.
Bagaimana Fikih Memandang Sastra?
Jika kita merujuk pada norma ushul fikih nan menyatakan bahwa segala perkata tergentung niat dan maksudnya. Agaknya, perihal itu bisa dijadikan instrumen untuk bisa menghukumi sastra secara fikih. Dalam tataran ayat nan telah disampaikan pada awal pembahasan, bahwa secara redaksional Al-Qur’an mencela para penyair alias sastrawan. Begitu juga dalam hadits, nan merendahkan syair dibandingkan dengan muntahan manusia.
Perdebatan mengenai seni dan sastra belum menemukan titik akhir. Bagi kalangan nan menolak kehadiran sastra, berkilah dengan dalil naqly yang tersurat dalam AL-Qur’an. Akan tetapi, Kalanga kontekstualis tidak menyempitkan maknanya sehingga terikat dengan teks kebahasaan nan ada. Ayat-ayat nan telah penulis paparkan di atas merupakan penegasan tentang sikap Al-Qur’an terhadap syair dan sastra.
Al-Qur’an menginginkan sastra berkarakter membangun, bukan menjatuhkan dan menghujat. Islam, nan terkandung dalam nilai-nilai Al-Qur’an, menginginkan syair menyesuaikan diri dengan organisasi baru nan mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya. Maka dari itu,sikap Islam terhadap sastra bukanlah musuh, bakal tetapi pen-tashih syair dan sastra, serta meluruskan dari noda-noda kemungkaran (Wildana Wargadinata dan Laily Fitrianil, Sastra Arab: Masa Jahiliyah dan Islam, 12).
Dalam realitas kehidupan ustadz Islam, Imam Syafi’i, nan pada dasarnya seorang ulama’ fiqh, juga dipandang sebagai seorang sastrawan. Sebagian berpendapat, bahwa beliau merupakan seorang kritikus sastra nan sangat disegani seirama (Muhammad al-Mubassyir, Berguru Kepada Ulama’, 12). Dari realitas tersebut bisa diinterpretasikan bahwa Imam Syafi’i, nan merupakan ustadz fikih, juga konsep kepada sastra pada masa itu, sastra dan fikih bisa melangkah berbarengan.
Kesimpulan
Kembali kepada ushul fiqh, bahwa segala perkara kembali ke niatnya, maka begitupun dengan sastra. Jika dijadikan sebagai arena mencela maka hukumnya haram, jika sebagai motivasi dan pembangunan umat, maka hukumnya halal.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·