Santri, AI, dan Tantangan Otoritas Agama di Era Digital - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 3 hari yang lalu

Setiap tanggal 22 Oktober, Hari Santri diperingati sebagai momentum kebangkitan tradisi keilmuan Islam di Indonesia, sebuah seremoni atas warisan intelektual pesantren yangg telah membentuk wajah Islam Nusantara: teduh, ilmiah, dan berakar pada spiritualitas. Namun, di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), kita perlu jujur bertanya: masihkah santri menjadi pusat otoritas pengetahuan kepercayaan di era ketika algoritma bisa “menghafal” seluruh kitab dalam hitungan detik?

Di sisi lain, AI juga membuka kesempatan baru bagi santri untuk memperkaya tradisi keilmuan pesantren, dari mempercepat kajian teks klasik hingga menyebarkan nilai-nilai Islam Nusantara ke ranah digital. Pertanyaannya, gimana santri dapat memanfaatkan AI tanpa kehilangan prinsip spiritual dan otoritas intelektual yangg telah menjadi karakter khasnya?

Tantangan Otoritas Agama di Era Digital

Kini, saat kita mengetik pertanyaan tentang norma jual beli kripto, amal aset digital, alias fatwa penggunaan robot dalam ibadah, ribuan referensi klasik dan kontemporer langsung tersaji dari beragam mazhab, komplit dengan tafsir dan syarahnya. AI seperti ChatGPT alias Al-Azhar Bot bisa menelusuri Fath al-Bari, Al-Majmu’, hingga Bidayat al-Mujtahid tanpa rasa lelah, tanpa bias mazhab, dan tanpa memerlukan waktu belajar bertahun-tahun di pesantren.

Sementara itu, sebagian ustadz dan santri tetap berjuang menghadapi keterbatasan akses literatur, kesenjangan digital, dan apalagi resistensi terhadap teknologi baru. Keterbatasan ini membikin sebagian dari mereka terjebak dalam area nyaman otoritas tradisional, merasa kondusif dalam wilayah fatwa yangg sudah mapan, tetapi kesulitan menjawab pertanyaan baru, seperti apakah algoritma bisa menjadi mujtahid digital alias gimana norma penggunaan AI dalam ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).

Kita menghadapi era ambiguitas otoritas. Siapa sebenarnya yangg “berhak” berbincang tentang kepercayaan di bumi digital ini? Santri yangg menjaga sanad dan etika keilmuan, alias AI yangg bisa memetakan seluruh tafsir dalam satu layar? Ketika masyarakat awam bertanya tentang norma investasi syariah di kripto, fiqh penggunaan khutbah yangg dihasilkan AI, alias boleh tidaknya AI companion membantu menghafal Al-Qur’an, jawaban AI sering kali lebih cepat, lebih lengkap, dan apalagi lebih meyakinkan daripada jawaban ustaz di kampung.

Tantangan AI dan Dunia Digital bagi Santri

Namun, di sinilah tantangannya: AI memang cerdas, tetapi tidak mempunyai nurani. AI bisa meniru nalar, tetapi tidak mempunyai kebijaksanaan. AI dapat mengutip hadis, tetapi tidak bisa menangis di hadapan ayat. Oleh lantaran itu, otoritas santri dan ustadz bukan hanya soal pengetahuan, melainkan juga soal rasa iman, kebijaksanaan etis, dan pengalaman ruhani, dimensi yangg tidak bakal pernah bisa diotomatisasi oleh algoritma.

Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata. Banyak ustadz saat ini tetap enggan bergesekan dengan bumi digital. Sebagian menganggap teknologi hanya sebagai gangguan, bukan sarana dakwah. Padahal, AI bukanlah ancaman bagi agama, melainkan cermin dari keterbatasan ustadz dalam beradaptasi dengan zaman. Jika santri tidak ikut membangun epistemologi digital Islam, ruang itu bakal diisi oleh algoritma tanpa adab dan spiritualitas.

Kita memerlukan santri generasi baru: santri yangg tidak hanya hafal Nadzam al-Jurumiyah, tetapi juga memahami machine learning; santri yangg membaca Tafsir al-Mishbah sekaligus mengerti langkah kerja big data; santri yangg tidak takut berbincang dengan mesin, lantaran menyadari bahwa AI hanyalah alat, bukan tuhan mini yangg menentukan kebenaran.

Di sinilah peran pesantren menjadi sangat penting: membangun kerjasama imajinatif antara logika manusia dan kepintaran buatan. AI dapat menjadi mudir al-kutub digital—penjaga, penyusun, dan penyaring sumber-sumber keilmuan Islam. Namun, keputusan etis dan spiritual tetap berada di tangan manusia beriman.

Hari Santri 2025 semestinya tidak hanya menjadi peringatan romantisme masa lalu, tetapi juga momentum untuk menyusun paradigma baru: bahwa otoritas kepercayaan di era digital bukan lagi monopoli, melainkan sinergi. Santri dan ustadz bukan hanya penjaga masa lalu, tetapi juga navigator masa depan—yang menuntun teknologi agar tetap tunduk pada nilai-nilai ilahi.

Sebab, pada hakikatnya, AI dapat menjawab, tetapi hanya manusia beragama yangg bisa memahami makna.

AI sebagai Potensi Santri

Sudah saatnya pesantren tidak hanya menjadi menara ilmu, tetapi juga pusat penemuan peradaban Islam digital. Kita membayangkan lahirnya AI Pesantren Institute, laboratorium kolaboratif tempat santri, kiai, dan intelektual info bersama-sama membangun “mesin pengetahuan Islam” yangg beretika, berakhlak, dan berkeadaban.

Di sana, santri tidak hanya mengkaji Kitab Kuning, tetapi juga menulis kode etik digital Islam; tidak hanya menafsirkan ayat, tetapi juga memaknai algoritma; tidak hanya mendalami fiqh, tetapi juga merancang fiqh digital—ilmu tentang pemisah moral dan spiritual dalam hubungan manusia dengan mesin.

Itulah wajah santri masa depan: berkopiah di bumi nyata dan berpikir kritis di ruang siber; tetap berzikir di musala, tetapi juga menulis logika moral dalam kode-kode digital.

Sebab, kelak, yangg menentukan arah peradaban bukan hanya siapa yangg paling banyak menghafal kitab, tetapi siapa yangg paling bisa menyambungkan pengetahuan dengan nilai-nilai ilahi dalam bumi tanpa batas.

Selamat Hari Santri 2025, berbareng AI selalu menabur inspirasi.

Editor: Assalimi

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id