Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kab Semarang

Hidup adalah hidayah yangg agung, tapi juga ujian yangg tak pernah berhenti. Di satu sisi, kita diminta menikmati nikmat bumi sebagai corak syukur kepada Allah. Di sisi lain, kita diingatkan agar tidak larut dalam gemerlapnya hingga lupa bahwa di kembali tawa, ada liang lahat yangg menanti.
Manusia kerap berada di dua kutub ekstrem: terlalu cinta bumi hingga lupa akhirat, alias terlalu takut meninggal hingga tidak menghargai kehidupan. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan. Hidup kudu dijalani dengan kesungguhan dan syukur, tapi juga dengan kesadaran bahwa bumi hanyalah tempat singgah sementara. Rasulullah bersabda:
“كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل”
“Jadilah engkau di bumi seperti orang asing alias orang yangg sedang dalam perjalanan.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menegaskan bahwa bumi bukan rumah abadi. Kita hanya musafir yangg suatu saat bakal kembali. Maka, tugas kita bukan menolak kehidupan, melainkan menjalaninya dengan kesadaran spiritual. Kita boleh tersenyum, tertawa, apalagi bermimpi besar asal semua itu tidak membikin kita lupa bahwa ada pertanggungjawaban di akhirat.


Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا”
“Dan carilah pada apa yangg telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah Anda melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Ayat ini menegaskan keseimbangan. Allah tidak melarang kita mencintai hidup, bekerja keras, alias menikmati rezeki. Namun, semuanya kudu berpijak pada kesadaran bahwa hidup bumi hanyalah bekal menuju akhirat. Mencintai hidup tanpa melupakan meninggal adalah corak kepintaran spiritual tertinggi lantaran di sanalah keseimbangan ketaatan diuji.
Cinta Hidup yangg Berkesadaran
Doa dalam teks tersebut seolah menuntun hati untuk tidak terjebak pada euforia dunia. “Ya Rabb, ajarkan saya mencintai hidup tanpa melupakan mati.” Kalimat itu adalah corak permohonan agar kita tak terperangkap dalam cinta semu terhadap dunia. Sebab, cinta yangg terlalu dalam pada bumi sering membikin manusia lupa pada hakikatnya. Rasulullah bersabda:
“حب الدنيا رأس كل خطيئة”
“Cinta bumi adalah pangkal segala kesalahan.” (HR. Baihaqi)
Namun, mencintai hidup yangg dimaksud bukanlah mencintai bumi dalam makna tamak, melainkan menghargai kehidupan sebagai ladang amal. Hidup yangg dicintai adalah hidup yangg dijalani dengan syukur, ikhtiar, dan kesadaran bahwa setiap detiknya adalah kesempatan menanam kebaikan untuk dituai di akhirat.
Ketika seseorang tersenyum di bumi tanpa lalai dari tanggung jawab akhirat, dia sejatinya sedang beragama dalam corak yangg paling indah: berterima kasih sembari waspada. Inilah prinsip kalimat, “Ajarkan saya tersenyum di bumi tanpa lalai dari tanggung jawab akhirat.” Kebahagiaan sejati bukanlah saat kita tertawa lantaran bumi memihak, melainkan ketika hati tetap tenang meski bumi berbalik.
Rasulullah bersabda:
“الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر”
“Dunia adalah penjara bagi orang beragama dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Hadis ini bukan berfaedah orang beragama dilarang bahagia, tapi menegaskan bahwa kebahagiaan bumi bagi orang beragama tetap terbatas, lantaran dia sadar ada kenikmatan yangg jauh lebih besar di akhirat.
Ingat Mati, Hargai Hidup
Bagian angan berikutnya mengingatkan, “Jika hari bahagiaku tiba, ingatkan saya bahwa kafan pun menanti.” Kalimat itu begitu lembut tapi menohok. Banyak manusia lalai ketika sedang bahagia. Mereka lupa bahwa setiap napas menuju kematian. Allah berfirman:
“كل نفس ذائقة الموت”
“Setiap jiwa pasti bakal merasakan mati.” (QS. Ali Imran [3]: 185)
Kematian bukan ancaman, tapi pengingat. Orang yangg ingat meninggal tidak bakal berlebihan mencintai dunia. Ia bakal bekerja sungguh-sungguh, tapi tidak tamak; mencintai, tapi tidak menggenggam terlalu erat; bahagia, tapi tidak lupa bersyukur. Rasulullah bersabda:
“أكثروا من ذكر هادم اللذات”
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi)
Mengingat meninggal bukan berfaedah suram, justru membikin hidup lebih bermakna. Orang yangg sadar bahwa hidup bisa berhujung kapan saja bakal lebih berhati-hati dalam berkata, lebih tulus dalam bekerja, dan lebih tulus dalam memberi.
Doa terakhir, “Jika hari kepergianku datang, terimalah saya dalam keadaan Engkau ridai,” adalah puncak dari segala angan manusia beriman: ridha Allah. Allah berfirman:
“يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية”
“Wahai jiwa yangg tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–28)
Mati dalam ridha Allah bukan perkara nasib, melainkan hasil perjalanan ketaatan yangg panjang. Ia lahir dari hati yangg tidak takabur saat senang, tidak berputus asa saat susah, dan tidak lalai saat bumi menawarkan gemerlapnya.
Doa dalam teks tersebut bukan sekadar untaian kata, melainkan peta hidup seorang mukmin. Ia menuntun agar kita tidak salah mencintai bumi dan tidak salah memaknai kematian. Hidup dan meninggal bukan dua perihal yangg kudu ditakuti salah satunya, tapi dua sisi dari satu perjalanan yangg sama: menuju perjumpaan dengan Allah.
Maka, cintailah hidup tanpa melupakan mati, tersenyumlah di bumi tanpa lalai dari akhirat, dan berjalanlah di bumi tanpa lupa bahwa kita bakal kembali ke langit. Sebab, sejatinya hidup yangg paling bagus adalah hidup yangg dijalani dengan kesadaran bahwa setiap napas adalah titipan, dan setiap detik adalah panggilan untuk pulang. (*)
7 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·