Saleh Digital Juga Bagian dari Ketakwaan Kita - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Bermedsos sekarang nyaris menjadi kebutuhan pokok manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dimulai dari rutinitas memperbarui beranda media sosial, hingga sebagian orang menjadikan bagian dari pekerjaan utama. Perkembangan teknologi, pada satu sisi memudahkan dalam mencari informasi. Namun jika tidak tidak disikapi dengan bijak, perihal tersebut justru bakal menimbulkan akibat yangg buruk.

Kebijakan dalam menggunakan ber-media sosial tak lagi bisa ditawar. Ia merupakan refleksi dari bumi nyata. Bahkan bumi nyata itu sendiri. Bijak dapat berfaedah bisa melakukan filter alias memilih konten yangg baik dan bermanfaat, bersikap santun dalam memberikan komentar, serta menjadi penyebar kebaikan dan inspirasi. Singkatnya, diperlukan karakter saleh digital sebagaimana bijak dalam bermedsos.

Permasalahan lebih lanjut cukup kompleks, terdapat suatu ruang kelabu di antara sikap baik dan jelek yangg terang secara normatif agama. Seperti halnya dalam media sosial nyaris menormalisasi untuk mengumbar keburukan seseorang. Sikap selanjutnya yangg berasal dari netizen yangg ‘membantu’ menyelesaikan persoalan yangg diangkat. Bahkan tak jarang memantik yangg berkuasa untuk memproses perkara.

Saleh Digital Ciri Orang Bertakwa

Kaitan dengan pentingnya saleh digital tersebut, Nasaruddin Umar dalam kitab Kontemplasi Ramadan, mengkategorikan sikap tersebut secara implisit sebagai bagian dari orang-orang yangg bertakwa.

Sikap saleh digital dimulai dari suatu kontemplasi alias perenungan dari orang-orang beragama yangg menjalankan puasa. Puasa yangg dijalankan pada Ramadan ini, tidak saja meniscayakan untuk menahan makan-minum saja, namun juga menahan jari-jemari kita agar bijak dalam menggunakan media sosial.

Penjelasan secara utuh dapat merujuk kepada kitab tersebut dengan judul, “Puasa Bicara”. Sejatinya kitab tersebut berbincang mengenai puasa yangg diulas dengan menarik. Tulisan-tulisan di dalamnya pada mula merupakan kumpulan tulisan-tulisan Nasaruddin Umar yangg dipublikasikan dalam beragam media.

Sajian-sajian di dalamnya di antaranya membahas mengenai; fikih Ramadan yangg diulas dengan ringan, dan membahas mengenai persiapan-persiapan ketika menyambut bulan Ramadan. Selain itu, dibahas juga mengenai puasa ditinjau dari beragam perspektif; puasa dan pengendalian diri, puasa bicara, puasa dan kohesi sosial, disiplin menjauhi keburukan, serta tema-tema menarik lainnya.

Nuansa Sufistik dan Kritik Sosial

Nasaruddin Umar sebagai seorang ulama, pembimbing besar dalam bagian tafsir, pemimpin besar Masjid Istiqlal serta intelektual yangg juga konsen pada rumor kesetaraan gender. Dalam kitab ini, dia membahas (hampir semua) pembahasan dengan menggunakan pendekatan sufistik.

Seperti ketika membahas kata muttaqin dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, dia menggambarkan sebagai sosok yangg mempunyai mata cinta terhadap makhluk-Nya, serta mempunyai sikap takut dan segan kepada Allah.

Ia juga memahami puasa sebagai corak peneladanan Allah, “Tuhan memberi makan tetapi tidak makan (QS. Al-An’am: 14). Tuhan tidak mempunyai kawan seksual (QS. Al-An’am: 101). Diharapkan pada diri yangg berpuasa senantiasa mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela. Sebaliknya, mereka dianjurkan untuk mengembangkan sifat-sifat utama.” (hlm. 27)

Kaitan dengan kiat bersikap bijak bermedia sosial, Nasaruddin Umar mengingatkan pentingnya pengendalian diri yangg dilatih melalui berpuasa. Bahaya yangg ditimbulkan dari mulut di antaranya membicarakan kejelekan orang lain, berbohong, mengumpat, menyindir, memfitnah, berbicara kotor dan keji, guyon berlebihan, menyebar buletin hoax, dan lain-lain.

Dengan demikian lebih lanjut dia menjelaskan, “termasuk bicara di sini adalah menggunakan pena, computer, body language, dan perangkat komunikasi lainnya yangg menyampaikan pesan berlebihan, seperti halnya dalam corak lisan tadi.”

Senada dengan pesan di atas, dia mengaitkan pesan krusial di atas dengan beberapa ayat al-Qur’an, seperti dalam Surat al-Hujurat ayat 12 mengenai ancaman prasangka dan larangan mencari kesalahan orang lain. Selain itu dia juga mengutip Surat al-Ahzab ayat 70 mengenai rekomendasi untuk selalu berbicara benar.

Tak lupa pula dia mengutip sabda Nabi Saw. seperti dalam riwayat Abu Hurairah, “Barang siapa yangg beragama kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia berbicara betul alias diam.” (HR. Bukhari).

Kesan Buku

Pada akhirnya, kitab Kontemplasi Ramadan karya Nasaruddin Umar menjadi kitab yangg sangat baik. Tidak rigid berbincang normatif seputar puasa, namun juga berpadu dengan pesan-pesan reflektif penulisnya sehingga aktual pada masa kini.

Beberapa di antaranya apalagi sarat kritik sosial. Seperti dalam kaitan dengan media sosial, dia resah dengan penggunaan bahasa sebagian kalangan masyarakat yangg seakan tak mempunyai etika. Ia katakan, “Padahal, bangsa kita katanya bangsa yangg santun dan beradab. Orang yangg menggunakan bahasa santun malah sering disebut bahasa pencitraan, dan penilaian dengan konotasi negatif lainnya.”

Dengan demikian, ulasan yangg kaya bakal ilustrasi menjadi nilai lebih kitab ini, tak lain memberikan stimulus kepada pembaca agar juga merenung, yangg juga menjadi sebentuk ibadah pada bulan suci ini guna meraih perubahan hidup menuju yangg lebih baik dan berkemajuan dengan kesalehan sosial dan digital. Wallahu A’lam.

Daftar Buku

Judul Buku           : Kontemplasi Ramadan

Penulis                 : Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.

Editor                    : Jaja Zarkasyi, Ade Sukanti

Penerbit                : Amzah

Tahun Terbit         : 2020

Tebal Halaman    : x + 198 halaman; 21 cm

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id