Ranting yangg Sepi dan “Tersusupi”: Ketika Kekosongan Membuka Pintu Pengaruh dari Luar
Oleh: Mohammad Noor Ridhollah (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng dari Kudus)
PWMJATENG.COM – Di beberapa daerah, suasana yangg dulu hangat dengan pengajian dan aktivitas Muhammadiyah sekarang berubah sunyi. Mimbar yangg dulunya menggemakan bunyi tajdid, perlahan digantikan oleh style bicara yangg terasa asing di telinga warga. Kalimat-kalimat yangg dulu menyejukkan sekarang berganti menjadi nada yangg keras, eksklusif, dan kadang menjauh dari semangat mencerahkan yangg menjadi ruh aktivitas ini.
Sebagian penduduk ranting mungkin tidak langsung menyadari perubahan itu. Namun bagi mereka yangg peka, ada sesuatu yangg hilang: identitas Muhammadiyah yangg perlahan memudar di tempat kelahirannya sendiri. Ironisnya, banyak dari kita baru tersentak ketika menyadari bahwa mimbar masjid Muhammadiyah sekarang diisi oleh orang lain, oleh golongan yangg membawa corak dakwah berbeda, apalagi kadang berlawanan arah.
Tidak Ada Regenerasi, Sepi Aktivitas dan Minim Kepedulian
Sangat mudah jika hanya sekedar saling menyalahkan. “Ranting kita disusupi,” begitu kalimat yangg sering terdengar dalam percakapan pengurus. Tetapi, jika kita jujur, mereka masuk lantaran kita kosong.
Ranting-ranting yangg dulu hidup sekarang hanya tersisa nama dalam struktur. Ketua sudah sepuh, sekretaris pindah kota, bendaharawan sibuk berdagang. Anak-anak muda yangg dulu aktif sekarang tenggelam dalam kesibukan bumi kerja, dan kader yangg baru tak kunjung dibina. Akibatnya, masjid sunyi dari kegiatan, kebaikan upaya berakhir tanpa pembaruan, dan papan nama Muhammadiyah hanya tinggal pajangan untuk hiasan dinding.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Yang lebih menyedihkan, ketika realita ini terungkap, sebagian dari kita justru hanya bisa marah-marah. Marah lantaran mimbar diambil alih, marah lantaran jamaah beranjak arah, marah lantaran suasana dakwah berubah. Padahal, sebelum semua itu terjadi, ranting sudah lama tidak berfaedah sebagaimana mestinya. Tidak ada kegiatan, tidak ada pembinaan, tidak ada regenerasi dan masjidpun sepi. Lalu, untuk apa marah, jika ruang itu memang sudah lama kita biarkan kosong?
Menghidupkan Kembali Ranting yangg “Tersusupi”
Kemarahan tidak bakal mengembalikan apa-apa. Sebaliknya, yangg dibutuhkan sekarang adalah kesadaran dan kerja nyata. Kesadaran bahwa tajdid bukan hanya milik para ahli filsafat besar di pusat, tapi juga milik penggerak mini di tingkat ranting. Bahwa semangat pembaruan tidak bisa memperkuat jika tidak dihidupi dari bawah, dari masjid, dari pengajian, dari kader yangg belajar bicara dengan langkah Muhammadiyah.
Menghidupkan kembali ranting bukanlah pekerjaan yangg bisa selesai dalam semalam. Butuh kesabaran dan keberanian untuk memulainya kembali dari nol. Mungkin dari satu pengajian mini di serambi masjid, dari satu anak muda yangg diajak kembali, dari satu khutbah Jumat yangg mengembalikan ruh pencerahan ke telinga jamaah. Dari situlah perlahan ranting bisa bernapas kembali.
Muhammadiyah bukan hanya tentang struktur, tapi tentang ruh yangg menggerakkan. Ketika ruh itu padam, organisasi sebesar apapun hanya bakal tinggal nama. Karena itu, sebelum menuding siapa yangg mengambil alih mimbar, mungkin kita perlu bertanya: siapa yangg meninggalkannya lebih dulu?
Ranting yangg hidup tidak bakal mudah diambil alih. Tapi ranting yangg mati, yangg kehilangan kader dan kehilangan semangat, bakal kosong dan diisi oleh siapa pun yangg datang dengan niat lebih kuat. Maka, tugas kita hari ini bukan membalas dengan marah, melainkan menghidupkan kembali yangg mati, menyapa kader yangg sedang menjauh, dan menyalakan kembali api tajdid di akar rumput.
Dan jika itu kita lakukan dengan sungguh-sungguh, suatu hari nanti, mimbar itu bakal kembali berbincang dengan bunyi Muhammadiyah, lembut, santun, teduh dan mencerahkan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 95
1 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·