Setiap Ramadhan datang, kesalehan orang-orang meningkat. Masjid-masjid dipenuhi jemaah. Al-Qur’an banyak dibaca siang malam. Ibadah sunnah berlipat frekuensinya. Banyak orang termotivasi dengan keberkahan bulan Ramadhan, di mana pahala kebaikan kebaikan dilipatgandakan.
Namun, ada pertanyaan yangg menggelitik untuk dijawab oleh kita semua, kenapa kesalehan itu menghilang setelah Ramadhan berakhir?
Banyak jawaban dapat diajukan untuk pertanyaan ini. Di antara yangg masuk logika adalah lantaran kondisi Ramadhan memang mendukung penyelenggaraan ibadah yangg lebih intens. Sekolah dan instansi diliburkan beberapa hari, jam kerja disesuaikan untuk mengakomodir aktivitas di bulan Ramadhan, spiritual Ramadhan juga mengatrol semangat beragama masing-masing perseorangan dan tetap banyak lagi.
Melihat kejadian ini, saya di sini mau menafsirkan dengan perspektif yangg berbeda, ialah dengan teori hubungan teatrikal Erving Goffman. Berdasarkan teori ini, kesalehan dalam bulan Ramadhan terjadi lantaran kita terpaksa bermain sandiwara spiritual? Lho, kok bisa?
Teori Interaksi Teatrikal Goffman
Bagi Goffman, hubungan manusia selalu terjadi tak ubahnya seperti pentas teater. Setiap orang memainkan perannya. Tapi peran itu bukanlah murni kreasi individu, ada peran orang lain dalam setiap saga yangg berlangsung.
Maka, tindakan perseorangan dalam panggung hubungan tersebut adalah peran yangg dimainkan perseorangan dengan penyesuaian-penyesuaian subjek atas respon yangg diberikan musuh main dalam alur tertentu.
Mudahnya, ini seperti tindakan seni peran. Pertama-tama tokoh memang berkedudukan sesuai dengan arahan script. Tapi dalam pentas yangg sesungguhnya, dia kudu berimprovisasi menyesuaikan jawaban/respon apa yangg diberikan musuh mainnya. Karena itu, hubungan teatrikal selalu cair dalam hubungan negosiasi yangg terus menerus. Dari sisi yangg lain, ini menunjukkan keahlian manusia beradaptasi.
Dalam pandangan Goffman, begitu juga sejatinya hubungan di kehidupan nyata. Ketika kita bersosial, kita bakal dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pola komunikasi yangg tersedia dan respon dari musuh main kita.
Ini menjelaskan kenapa seseorang bisa tampil berbeda dalam lingkar pertemanan yangg lain. Misalnya, meski di kampung adalah ketua RT yangg disegani, di tempat kerja seseorang dapat bertindak submisif kepada atasannya, dan menjadi humoris dan konyol di tongkrongannya.
Nahasnya, sepertinya itu juga yangg terjadi di bulan Ramadhan. Banyak yangg menjadi saleh lantaran tuntutan peran dari lingkungan selama bulan suci ini. Banyak yangg berpuasa lantaran lingkungan mengharuskannya, membaca al-Quran lantaran teman-teman kerja membikin lomba banyak-banyakan khatam, taraweh lantaran orang-orang kampung ramai taraweh, infak lantaran dijadwalkan memberikan takjil kepada jemaah.
Akibatnya, setelah Ramadhan usai, kesalehan tidak lagi diperankan ketika tidak ada tuntutan sosial. Pentas teatrikal telah berakhir. Orang tak banyak lagi peduli kepada ibadah apa yangg orang lain kerjakan.
Pentingnya Ikhlas dalam Beribadah
Dalam Islam, ibadah yangg dilakukan hanya lantaran tuntutan sosial seperti kejadian di atas termasuk ibadah yangg tidak membawa faedah bagi pelakukanya. Karena semua ibadah yangg mengharapkan pamrih selain dari Allah Swt adalah ibadah yangg sia-sia.
Dalam sebuah sabda dari Abu Hurairah yangg Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلا السَّهرُ
Artinya: Rasulullah Saw berfirman berapa banyak orang yangg berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar, dan berapa banyak orang yangg mendirikan (malam untuk beribadah) tidak mendapatkan apapun darinya selain (rasa kantuk dan lelah) keterjagaan (HR. Ibnu Majah).
Hadis di atas menjelaskan sungguh banyak ibadah yangg hanya mengakibatkan perihal yangg sia-sia, apalagi merugikan pelaku ibadah tersebut. Banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapatkan rasa lapar dan haus.
Banyak juga orang yangg bangun malam dan beragama tetapi hanya memperoleh rasa kantuk dan capek dari bangun malamnya. Mereka tidak mendapatkan pahala dari ibadah yangg dilakukan lantaran tidak diniatkan tulus lillahi ta’ala.
Keikhlasan niat memang menjadi titik tolak krusial bagi ibadah seorang muslim. Dalam sabda dari Umar Ibn Khattab Ra disebutkan bahwa segala kebaikan perbuatan berjuntai kepada niatnya. Posisi niat ini menjadi semakin urgen dalam ibadah puasa. Di samping merupakan ibadah dengan tantangan yangg berat, puasa juga merupakan ibadah yangg dipenuhi rahasia. Hanya Allah Swt dan orang yangg berpuasalah yangg betul-betul mengetahui kualitas puasanya.
Dalam sebuah sabda qudsi dari Abu Hurairah bahwa Allah Swt berfirman melalui lisan Rasulullah Saw:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ له إلّا الصَّوْمَ، فإنّه لي وأنا أجْزِي به
Artinya: Setiap ibadah manusia itu miliknya, selain puasa, lantaran puasa itu milik-Ku dan Aku bakal membalasnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Puasa adalah ibadah yangg istimewa. Dalam riwayat sahih lain dijelaskan bahwa jika pahala ibadah lain dibalas antara sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, maka ibadah puasa diganjar dengan pahala sesuai kehendak Allah Swt. Oleh lantaran itu, mari memperbaiki niat puasa dan ibadah Ramadhan agar kita mendapatkan keridhaan Allah Swt, bukan sekadar lelah, lapar dan haus.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·