Malam lailatul qadar, secara aktual telah dengan definitif Allah Swt firmankan dalam surah al-Qadr, “Lailatu al-qadri khairun min alfi syahr.” (malam al-qadar lebih baik dibanding seribu bulan).
Disebut lailatu al-qadar, lantaran Allah Swt menakdirkan sesuatu nan Allah Swt kehendaki dari segala urusan-urusanNya, ialah di antaranya mengenai kematian (ajal), rezeki makhluk-Nya, dan sebagainya.
Definisi lain menyebutkan, sebagian memaknainya dengan lailatu al-hukm (malam keputusan). Versi lain menyebutkan, lailatu al-qadar adalah lailatu al-syarf (malam kemuliaan), disebabkan mulia dan keagungan malam itu.
Imam al-Azhari alias nan sependapat dengannya berkata, “Sesungguhnya kemuliaan lailatu al-qadar pada hakikatnya terletak –atau kembali– pada individu-individu manusia nan melakukan ketaatan di malam itu.” Jadi, siapa saja nan beramal amal (shalih) di waktu itu, maka jadilah dia meraih kemuliaan dan keagungannya. Jelasnya, menurut Imam al-Azhari, kemulian malam lailatu al-qadar dapat direngkuh dan kembali pada perbuatan (amal shalih) masing-masing orang.
Sebagaimana tersurat dalam surat al-Qadr, “Lailatu al-qadri khairun min alfi syahr..” Kemuliaan satu malam lailatu al-qadar setara dengan kemuliaan 83 tahun 4 bulan lamanya. Dan demikian tersebut kompensasi unik untuk umat Muhammad. Nabi Saw bermunajat, “Ya Allah, Engkau jadikan umatku pendek umurnya dan sedikit amalnya.” Kemudian, Allah Swt mengabulkannya dengan menganugerahi beliau satu malam, nan kemuliaannya lebih luar biasa dibanding seribu bulan, ialah lailatu al-qadar.
Ada ragam ikhtilaf mengenai kapan jatuhnya malam lailatu al-qadar. Sebagian berinterpretasi, bahwa dia jatuh ayah malam ke-19 bulan Ramadhan. Ada nan berpendapat, malam ke-17. Ada pula nan berpandangan, jatuh pada malam pertengahan bulan Ramadhan. Versi lain menyebutkan, dia jatuh sebulan penuh di bulan Ramadhan. Bahkan, jenis lain menyatakan, jatuh pada setahun penuh (sairi al-sanah). Ada juga ustadz nan berpandangan, lailatu al-qadar jatuh pada malam kesepuluh terakhir. Pendapat nan terakhir ini menjadi pilihan unik banyak ulama, berdasar pada satu hadis, “Hiya min asyri al-awakhiri min ramadhan” (ia jatuh di sepuluh akhir bulan Ramadhan).
Pendapat tentang Jatuhnya Malam Lailatul Qadar
Imam Nawawi al-Jawi dalam Tafsir Marah Labid menjelaskan, bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-24 bulan Ramadhan sebagaimana Allah menurunkan paket Al-Quran dalam jumlah satu dari Lauh Mahfuz ke atmosfir dunia. Ibnu Abbas menuturkan, jumlah huruf lailatu al-qadar sebanyak 17 huruf (meski nan lain berpandangan ada 19 huruf) dengan tidak menghitung huruf-huruf kembar. Darinya, kata Ibnu Abbas, “Salah seorang mengabariku, dia merasakan air laut tawar di malam ke 17 bulan Ramadhan, maka saya sampaikan padanya, malam itu terjadi lailatu al-qadar.” (Lihat, jilid 2 laman 650).
Berbeda dengan pandangan nan telah disinggung di atas, adalah pendapatnya Imam Al-Bujairami, beliau berkata, “Jika lailatu al-qadar jatuh pada malam ke-21, maka lailatu al-qadar jatuh pula pada setahun penuh, tepatnya di tiap-tiap malam tanggal 21”.
Ada juga ustadz lain berpendapat, bahwa lailatul qadar jatuh pada tiap-tiap tanggal ganjil di malam ke-10 akhir bulan Ramadhan. Yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i nan kemudian dipilih oleh Imam Nawawi.
***
Imam Al-Ghazali mempunyai pendapat nan berbeda dari kebanyakan ustadz lainnya. Beliau memandang bahwa jatuhnya malam lailatul qadar mempunyai keterkaitan dengan –atau tergantung pada– hari awal masuknya bulan Ramadhan. Beliau merinci, jika awal bulan Ramadhan jatuh pada hari Ahad dan Rabu, maka lailatu al-qadar jatuh pada malam ke-29. Jika awal masuk bulan Ramadhan hari Senin, maka dia jatuh pada malam ke-21. Jika hari Selasa, maka jatuh pada malam ke-27. Jika hari Kamis, maka jatuh pada malam ke-25. Dan, jika awal masuk Ramadhan jatuh pada hari Jum’at dan Sabtu, maka lailatul qadar jatuh pada malam ke-23.
Ada lagi salah satu ustadz nan memukakan pendapat, bahwa lailatul qadar jatuh pada nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Syaban). Namun, kebanyakan ustadz (jumhur ulama) mengomentarinya, bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat nan “syadz” (nyeleneh) dan tidak layak digunakan.
Ditegaskan dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, bahwa lailatul qadar bakal selamanya ada dan terjadi (baqiy daim) berjalan hingga hari kiamat. Meski begitu, ada salah seorang ustadz nan berpendapat, malam lailatu al-qadar telah diangkat alias dicabut (yurfa’). Menurut pendapat ini, segala peristiwa penting. Sebagaimana nan diterangkan dalam Al-Quran surah al-Qadr hanya terjadi pada masa Nabi Saw. Bukan sebuah peristiwa nan kontinyu hingga terus berjalan dari era ke era pasca kenabian. Namun pendapat ini kontra dengan pendapat ustadz masyhur nan mu’tabarah. Bahkan, disinyalir pendapat tersebut adalah pendapat kaum Rafidhah, sebuah massa nan berafiliasi pada penganut dan berpaham Syi’ah.
***
Allah Swt tidak menampakkan jatuhnya lailatul qadar dengan pasti, tidak seperti halnya Malam Jum’at, agar dengan begitu manusia bakal selalu berupaya melaksanakan kebaikan ketaatan. Jika ditampakkan, maka kemudian nan bakal terjadi mereka melakukan ketaatan pada saat tertentu. Lalu mereka mengaku telah meraih kemuliaan lailatu al-qadar dan menganggap dirinya telah diampuni Allah dan mendapatkan surga hingga dirinya merasa tak perlu lagi melakukan ketaatan.
Demikian ini, sama halnya dengan Allah merahasiakan ajal (waktu kematian) manusia. Seandainya Allah tampakkan, maka nan terjadi manusia menjadi doyan melakukan kemaksiatan selagi pemisah umurnya tetap jauh. Kemudian mereka bertaubat dan melakukan ketaatan setelah ajalnya mendekat. Maka, semua bakal menjadi rancu dan rusak. Begitu Syekh Abdul Qodir al-Jilani menjelaskannya dalam al-Ghuniyah.
Meski begitu, dalam kitab nan sama, Syekh Abdul Qodir al-Jilani memberikan sinyalemen bakal tanda-tanda lailatul qadar. Pada malam itu udara terasa tidak panas dan tidak juga dingin. Pendapat lain, pada malam itu tidak terdengar gonggongan anjing, dan mentari terbit di waktu subuh, tanpa adanya pancaran sinar nan nampak seperti berkilauan. Keajaiban malam itu dapat dirasakan oleh pemilik hati nan lembut, para kekasih Allah, dan orang-orang nan alim nan telah Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya nan mukmin sesuai kadar perilaku, tingkat, dan derajat mereka dalam bertaqarrub kepada Allah Swt.
Akhirnya, malam lailatul qadar merupakan bagian gaib dan rahasia. Ia semacam alam malakut nan tak mudah tersingkap. Saking tak mudahnya tersibak, Nabi sendiri melaksanakan jenis ibadah di sepanjang bulan Ramadhan dengan penuh, tanpa memberikan pembatasan unik di antara malam nan satu dengan nan lainnya. Wallahu A’lam.
Editor: Soleh