Oleh : Muhammad Muhtar Arifin Sholeh*
PWMJATENG.COM – Salah satu kunci agar seseorang bertanggung jawab atas pekerjaannya adalah memahami status dan peranannya lantas diimplementasikan dalam praktik. Seorang guru, misalnya, dia semestinya memahami status dan peranannya, lampau membuktikan pemahaman tersebut di depan siswa maupun di tengah masyarakat. Dengan demikian dia betul-betul bisa “digugu dan ditiru”, sebagaimana konsep pembimbing nan ideal.
Tanggung jawab seorang muslim, baik di bumi maupun di akhirat, terwujud dengan memahami statusnya sebagai muslim serta menunjukkan peranannya dalam pembinaan masyarakat dan pembangunan bangsa. Hal ini dapat diartikulasikan lewat penghayatan dan pengamalan aliran Islam, misalnya puasa. Kali ini kita berjumpa lagi dengan bulan puasa (Ramadan), bulan nan penuh rahmat dan ampunan.
Universal
Orang Indonesia menggunakan kata berpuasa, orang Inggris menggunakan to fast, sedang orang Jawa menggunakan kata poso. Kata tersebut dalam bahasa Al-Qur’an (Arab) disebut shaum. Secara etimologis, kata shaum berasal dari kata shooma-yashuumu nan berfaedah menahan diri dari sesuatu. Secara terminologis puasa berfaedah menahan diri dari makan, minum, merokok, hubungan seksual, dan perbuatan-perbuatan nan tidak baik mulai terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari.
Puasa pada bulan Ramadan hukumnya wajib bagi orang-orang nan beriman. Firman Allah Swt., “Hai orang-orang nan beriman, diwajibkan atas Anda berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum Anda agar Anda bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah 2:183).
Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar puasa sudah tidak asing lagi. Ia merupakan universal institution, suatu lembaga nan umum. Hal itu lantaran memang Tuhan telah pernah mewajibkan puasa kepada ummat-ummat terdahulu di mana kepadanya diutus para Rasul. Puasa telah diwajibkan pada jaman Nabi Musa, Daud, maupun Isa.
Bible sendiri banyak menyebut tentang puasa. Dalam Perjanjian Lama, puasa dapat ditemukan di Kitab Yesaya 58:3-6 dan Danial 10:2. Dalam perjanjian baru puasa terdapat dalam Matius 6:16-17 ; 9:14-17 , Lukas 5:33-38, dan Markus 2:18-22 (Nasruddin Razak, “Dienul Islam”, 1981:200-202).
Universalitas puasa bisa dimengerti lantaran prinsip dari puasa itu sendiri bukannya “mengerjakan” melainkan “menahan diri”, ialah menahan diri dari kebathilan alias nafsu nan menyesatkan, mencegah sifat hewani nan merusak. Waktu dan langkah mengerjakan puasa berbeda-beda antara satu ummat dengan ummat nan lain.
Baca juga, Berbeda Awal Ramadan alias Syawal, Ketua PWM Jateng : Tidak Perlu Ada Pertentangan!
Misalnya, puasa Nabi Dawud berselang-seling waktunya (sehari ya sehari tidak), puasa Nabi Muhammad Saw. dan umatnya pada bulan Ramadan mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Dalam suatu sabda riwayat Bukhori dari Aisyah dikatakan bahwa orang-orang Quraish pra-Muhammad berpuasa pada bulan Syuro (10 Muharram). Dalam bumi non-manusia pun ada puasa, seperti ayam “berpuasa” selama kurang lebih 21 hari selama mengerami telurnya, ulat menjadi kupu-kupu setelah “berpuasa” beberapa saat.
Universalitas puasa sesuai dengan misi Nabi Muhammad Saw., ialah memberi rahmat pada alam semesta (rahmatan lil-aalamiin). Beliau adalah utusan Allah–Tuhan alam semesta. Oleh lantaran itu, aliran nan dibawa Muhammad Saw., termasuk puasa, ditujukan pada seluruh manusia, tidak hanya bangsa Arab saja. Dengan demikian, faedah puasa sebenarnya dapat dirasakan oleh banyak pihak, termasuk pembangunan nasional Indonesia.
Lapar dan haus nan dirasakan oleh orang nan berpuasa merupakan suatu kejadian universal kemanusiaan. Artinya, setiap manusia di mana saja pasti mempunyai rasa lapar dan haus. Lapar dan haus tidak memandang agama, suku, bangsa, bahasa, warna kulit, status social, kekayaan, dan kewarganegaraan. Hal ini berfaedah bahwa orang nan berpuasa berupaya menyatukan dirinya dengan kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa pandang bulu.
Al-Qur’an menyatakan bahwa orang nan paling mulia adalah orang nan paling bertaqwa, bukan orang nan kaya harta, bukan orang nan berstatus sosial tinggi. Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa Allah tidak memandang tubuh bentuk dan rupa tetapi Allah memandang hati dan kebaikan perbuatan.
Fungsi Ramadan
Dengan mengetahui kegunaan Ramadhan, kita dapat menemukan nilai dan keistimewaan puasa nan sangat berbobot untuk pembangu¬nan. Dalam fungsinya sebagai syahrus-salaam (bulan keselamatan), Ramadhan memancarkan nilai-nilai edukatif nan dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan, dan kedamaian ummat manusia. Keadaan ummat manusia nan demikian itu nan menjadi tujuan pembangunan nasional.
Nilai edukatif kedisiplinan dan kejujuran dapat dijadikan contoh. Orang nan berpuasa dituntut untuk bertindak disiplin dan jujur. Kendatipun rasa lapar dan haus nan banget sangat menyelimuti, dia tidak diperkenankan makan dan minum sebelum waktu Maghrib tiba, walaupun hanya sebulir nasi alias setetes air. Demikian juga sewaktu tanda imsak tiba, dia kudu menghentikan makan dan minum. Kedisiplinan kudu ditegakkan.
Kita bisa saja menipu orang lain, tetapi tidak dapat menipu diri sendiri dan pembuat diri ini (Tuhan). Pada jam dua siang pelaku puasa kudu tetap jujur agar tidak minum seteguk air di bilik mandi alias berkumur lantas sebagian besar air dikeluarkan dan sebagian kecilnya ditelan. Nilai disiplin dan jujur sangat perlu ditanamkan pada seluruh penduduk Indonesia sebagai pelaku pembangunan bangsa. Kedisiplinan dan kejujuran adalah dua perangkat nan dapat menyelamatkan masa depan bangsa.
Ramadan juga berfaedah sebagai syahrul-jihad (bulan perjuangan), maksudnya bulan perjuangan nan sangat berbobot untuk melawan kebathilan dan hawa nafsu nan menyesatkan. Pada bulan itu manusia dihadapkan pada perjuangan nan sangat besar. Mereka kudu menahan diri dari perbuatan nan telah biasa dilakukan, mengubah suatu kebiasaan. Nabi mengatakan bahwa perjuangan melawan nafsu lebih besar dari pada melawan musuh di medan perang.
Menahan diri dari makan dan minum sejak pagi hingga sore hari dalam bulan Ramadhan adalah upaya membatasi alias mengurangi makanan dan minuman dari biasanya. Upaya tersebut merupakan langkah untuk memelihara kesehatan jasmani. Para master sepakat bahwa salah satu sumber penyakit adalah perut. Padahal kita menyadari bahwa kebanyakan aktivitas (kerja) di bumi ini didorong lantaran kebutuhan perut.
Baca juga, Usai Didemo BEM UM Madiun, Ini Respon dan Tanggapan PP Muhammadiyah!
Dr. Ahmad Ramali mengatakan, “Bagi hygine pun ada makna dan kepentingan puasa. Istirahat nan diberikan kepada alat-alat pencernaan pada siang hari, sebulan lamanya, tak lain melainkan menambah tenaganya semata, seperti tanah ladang nan dibiarkan beberapa lamanya agar kesuburannya muncul kembali, karena alat-alat tubuh manusia sudah dijadikan demikian sehingga rehat baginya berfaedah menambah tenaganya bekerja dan kekuatan menahan payah. Makin baik kerja perut besar dan perut panjang, makin sehat tubuh itu” (Nasruddin Razak, Ibid., perihal 206).
“Berpuasalah Anda bakal sehat (shumuu tashikhkhuu)”, sabda Nabi Muhammad Saw.
Masalah perut (makanan dan minuman) mempunyai peranan vital dalam kehidupan manusia. Namun, jika kehendak perut diperturutkan secara berlebihan, perihal ini dapat menimbulkan musibah bentuk nan berbentuk penyakit. Dilihat dari segi tasawuf, terlalu banyak makan bisa menimbulkan penyakit jiwa nan berupa “rakus bin serakah”. Jika penyakit ini menimpa seseorang, maka akibat dan bahayanya tetap terbatas dalam lingkungan nan kecil. Tetapi jika penyakit rakus itu berkecamuk dalam kehidupan bangsa, maka dia bakal menimbulkan semangat kapitalisme nan kemudian berkarakter ekspansif, ialah mengeksploitasi milik orang lain lantaran sifat rakus.
Dalam Ihya ulumuddin, Imam Ghazali menyebut bahwa sesungguhnya musibah nan paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.
Solidaritas sosial dapat timbul dengan melaksanakan puasa. Pelaku puasa mengidentifikasikan dirinya dengan mereka nan berekonomi lemah namalain miskin nan lebih sering merasakan haus dan lapar dari pada golongan the have. Partisipasi terhadap haus dan laparnya si-miskin dan infak nan banyak merupakan manifestasi kongkrit dari solidaritas sosial. Dampak selanjutnya dari rasa solider ini adalah terciptanya kerukunan dan kecenderungan membantu orang lain. Hal ini jelas bakal melahirkan “jembatan” antara the have dan the have not serta mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional nan pada gilirannya dapat menyukseskan pembangunan bangsa.
Fungsi Ramadan nan lain adalah syahrul-ibadah (bulan ibadah), bulan nan terdapat nilai ibadah nan tinggi dan semangat beragama nan tinggi pula; syahrul-fath (bulan kemenangan), bulan sewaktu umat Islam memperoleh kemenangan dalam perang besar ialah melawan hawa nafsu dan perang mini seperti perang Badar, sedang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945 terjadi pada bulan Ramadhan ; syahrul-huda (bulan petunjuk), bulan turunnya pertama kali petunjuk kehidupan ialah Al-Qur’an ; dan syahrul-ghufran (bulan ampunan), bulan diampuninya dosa dan dibebaskan dari neraka.
Penutup
Bulan Ramadan merupakan waktu nan tepat untuk membina mental-spiritual penduduk Indonesia. Pembinaan mental-spiritual nan baik sangat mendukung ketaqwaan kepada Tuhan nan Maha Esa dan tercip¬tanya budi pekerti nan luhur. Puasa dapat memancarkan kedisiplinan, kejujuran, kebersihan. solidaritas sosial nan kuat, serta kesehatan rokhani dan jasmani, nan kesemua itu merupakan kejadian universal kemanusiaan.
Semoga saja kita dapat memanfaatkan Ramadan sebagai “wadah penataran mental” sehingga tercipta kontrol diri nan baik. Puasa kita jangan hanya sekedar memperoleh lapar dan haus saja, tetapi lebih dari itu. Sabda Nabi Muhammad Saw., “Berapa banyak orang nan berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain hanya lapar dan haus”. Selamat berpuasa lantaran iman!
*Artikel telah diterbitkan oleh www.pwmjateng.com pada tahun 2016 kemudian diproduksi ulang oleh redaksi.
Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 10