Puasa Sosiologis* - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 7 bulan yang lalu

Di perspektif ruang kecil, di antara tumpukan kitab dan layar Laptop yangg kerap menemani siang dan malam, tibalah saya pada renungan yangg paling intuitif dan filosofis. Apa sesungguhnya yangg dikehendaki Allah dari perintah puasa ini? Apakah lantaran dalam rentang kehidupan yangg fana ini, amalan-amalan kita takkan bisa melampaui noda dan nista yangg telah menggunung?

Maka puasa datang sebagai sinar yangg menutup gorden ‘bafoya’ dan kemunafikan yangg tersembunyi di kembali wajah? Mengapa Allah begitu murah hati, terus memberi meski kita kerap alpa? Lalu, bagaimana, adakah ruang refleksi, belajar dan laku mencintai-Nya sebagaimana Ia mencintai kita?

Jika puasa hanya menjadi jarak sebelum kerakusan kembali merajalela, lampau apa artinya? Jika puasa hanya menjadi selingan spiritual tanpa mengubah karakter, lampau apa manfaatnya? Dalam hening yangg dipenuhi doa, saya merefleksi bahwa puasa menuntun kita menemukan diri kembali.

Saya, Anda dan kita semua mengasingkan diri sejenak dari gemuruh dunia, meniti lorong sunyi yangg mengantar pada inti keberadaan. Bahwa Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi sebuah kunjungan jiwa menuju pemurnian diri dalam lanskap sosial.

Dalam puasa, perseorangan dan masyarakat menyatu dalam harmoni spiritual yangg menguatkan struktur sosial.
Sosiologi memandang puasa bukan hanya sebagai ritus keagamaan, tetapi juga sebagai praktik sosial yangg mengonstruksi kesadaran bersama.

Emile Durkheim (1912) dalam The Elementary Forms of Religious Life menegaskan bahwa ritual keagamaan berfaedah memperkuat solidaritas sosial. Puasa, dengan segala pengorbanan yangg terselip di dalamnya, menjadi medium yangg menghubungkan perseorangan dengan sesamanya, membentuk simpul-simpul empati yangg kerap terabaikan dalam gelombang kehidupan materialistik.

Seperti mentari yangg menahan sinarnya sebelum tenggelam, manusia dalam puasa meredam gairah agar tidak meledak dalam kerakusan. “torang/kita manusia) belajar bahwa kepemilikan bukan kewenangan mutlak, dan kehidupan sejati bukan tentang menumpuk, melainkan tentang berbagi.

Pierre Bourdieu (1986) dalam konsep modal sosial “bilang” bahwa hubungan antarindividu yangg terjalin dalam kepercayaan dan pertukaran sosial mempunyai nilai yangg lebih tinggi dibanding sekadar akumulasi kapital ekonomi. Puasa, dalam bingkai ini, adalah investasi sosial yangg mempererat hubungan antarmanusia, mengajarkan bahwa rezeki yangg terbaik adalah yangg mengalir, bukan yangg menggenang.

Dalam realitas sosial yangg sarat dengan stratifikasi, puasa meruntuhkan sekat-sekat itu. Kaum kaya merasakan lapar yangg biasa menghantui kaum miskin; kaum lemah menjadi bagian dari pengalaman berbareng yangg menghapus batasan-batasan artifisial yangg diciptakan oleh sistem ekonomi dan budaya.

Karl Marx (1867) dalam Das Kapital mengkritik pemanfaatan yangg dihasilkan oleh sistem kapitalisme, namun dalam puasa, pemanfaatan itu direduksi dalam kesetaraan. Tidak ada perut yangg lebih diistimewakan di hadapan Sang Pencipta, semua merasakan pengalaman lapar dan dahaga yangg sama, “membungkusnya” dengan siraman spiritual sampai senja itu tiba.

Namun, gimana jika puasa hanya menjadi formalitas? Jika dia menjadi sekadar ritus tahunan tanpa makna yangg membumi? Di sinilah sosiologi mengambil peran, bahwa membaca puasa bukan hanya sebagai teks agama, tetapi juga sebagai narasi kehidupan.

Albert Camus (1942) dalam The Myth of Sisyphus berbincang tentang absurditas kehidupan manusia, gimana ritus tanpa makna dapat berubah menjadi beban tak berujung. Puasa tanpa kesadaran sosial hanyalah penjara lapar, tetapi puasa yangg disertai refleksi adalah kebebasan dari belenggu egoisme.

Dunia hari ini telah dikaburkan oleh ilusi konsumsi. “Torang/Kita” diajari bahwa nilai diri diukur dari peralatan yangg kita miliki, bukan dari karakter yangg kita bangun. Puasa datang sebagai antitesis dari peradaban hedonistik ini. Ia mengajarkan kita untuk melepaskan diri dari perbudakan nafsu, menyusun kembali fondasi moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Max Weber (1905) dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menyoroti gimana etos kerja dan asketisme(Zuhud) berkontribusi terhadap pembentukan karakter perseorangan dalam masyarakat modern. Puasa, dengan kesederhanaannya, mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada akumulasi materi, tetapi pada pemurnian batin.

Dalam kesunyian sahur, dalam kekhusyukan berbuka dan dalam kesejukuan Tarawih kita diajak kembali ke akar eksistensi. Puasa bukan hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari ketamakan, kedengkian, dan kesombongan. Ia adalah jarak dari absurditas dunia, ruang reflektif di mana kita bisa menatap diri dalam cermin sosial. Dalam puasa, kita belajar bukan hanya tentang lapar, tetapi tentang kehidupan itu sendiri.

Seperti daun yangg gugur untuk menyuburkan tanah, puasa mengajarkan “Torang samua” bahwa menahan bukan berfaedah kehilangan, tetapi menata kembali makna keberadaan. Inilah saatnya kita bertanya: apakah hanya lapar di siang hari, alias kita betul-betul berpuasa dalam makna yangg sejati?

*Penulis: Rahmat Abd Fatah, Dosen Sosiologi UMUM dan Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara

-->
Sumber pijarnews.id
pijarnews.id