Oleh: Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
Janji keadilan Presiden Prabowo mulai pudar di tengah stagnasi reformasi norma dan absennya keberanian moral aparat.
Satu tahun kepemimpinan Prabowo Subianto semestinya menjadi momentum koreksi arah norma nasional. Saat dilantik, Presiden berjanji menegakkan norma tanpa pandang bulu, menumpas korupsi, dan melindungi rakyat mini dari kesewenang-wenangan aparat. Ia apalagi menegaskan bahwa norma tidak boleh “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Namun, setahun berlalu, realitas di lapangan menunjukkan norma tetap belum beranjak dari pola lama: keras kepada yangg lemah, lembek kepada yangg kuat.
Pemerintah memang menonjolkan sederet capaian simbolik. Pengembalian biaya negara Rp13,2 triliun dari kasus ekspor CPO, pengusutan korupsi di sektor energi, hingga gebrakan Kejaksaan Agung dijadikan bukti bahwa norma bekerja. Dalam beragam kesempatan, Prabowo mengingatkan agar abdi negara seperti Kejaksaan dan Kepolisian tidak mengkriminalisasi masyarakat lemah dan bekerja dengan hati nurani. Prinsip itu apalagi disambut Kejaksaan dengan semboyan baru: “tajam ke atas, humanis ke bawah.”
Namun, praktik penegakan norma tetap jauh dari cita-cita moral itu. Kasus Firli Bahuri menjadi contoh paling gamblang gimana norma bisa kehilangan keberanian ketika berhadapan dengan kekuasaan. Dugaan pemerasan terhadap SYL yangg menyeret mantan Ketua KPK itu melangkah tersendat, penuh argumen prosedural, dan tanpa kepastian vonis. Publik menyaksikan gimana lembaga penegak norma tampak ragu—bahkan enggan—menyentuh figur yangg dulu berdiri di puncak antikorupsi.
Sebaliknya, terhadap rakyat kecil, norma kerap menunjukkan taringnya. Petani di Sulawesi dijebloskan ke penjara lantaran menebang kayu di tanah sengketa yangg telah dia garap puluhan tahun. Seorang ibu rumah tangga di Jawa dijerat UU ITE lantaran unggahan keluhan tentang nilai pupuk. Bahkan, seorang remaja dipidana lantaran video satir tentang pejabat. Di sinilah norma tampil dengan wajah paling ironisnya: gagah melawan yangg tak berdaya, tapi gemetar di hadapan kekuasaan.
Keterpurukan moral norma juga tampak dalam kasus Silvester Matutina, yangg divonis bersalah lantaran dianggap mencemarkan nama baik Jusuf Kalla. Banyak kalangan mencium dugaan intervensi dan tekanan politik di kembali perkara ini. Hukum tampak tidak tegak—ia bertekuk dengkul pada kehendak nama besar. Di mata publik, keadilan kembali kehilangan wibawanya.
Lebih ironis lagi, pemerintah belum juga membentuk tim reformasi Polri—agenda krusial yangg sejak awal dijanjikan untuk memperbaiki wajah kepolisian. Padahal, dorongan publik agar Polri menata ulang kultur kekerasan, pungli, dan impunitas semakin nyaring. Namun hingga kini, langkah pembenahan hanya terdengar di panggung pidato, tak pernah menembus ruang praktik. Polisi tetap sibuk menjaga citra, bukan memperkuat integritas.
Satu tahun pemerintahan ini akhirnya menegaskan paradoks lama: norma di Indonesia lebih loyal kepada stabilitas daripada keadilan. Ia tetap menjadi perangkat legitimasi kekuasaan, bukan pelindung penduduk negara. Presiden mungkin sungguh percaya pada keadilan substantif, tetapi tanpa reformasi lembaga dan keberanian moral di lapangan, keadilan itu tak bakal pernah hadir.
Hukum semestinya menjadi pagar bagi yangg lemah, bukan cambuk. Tapi selama abdi negara lebih takut pada pemimpin daripada pada nurani, keadilan bakal tetap jadi mimpi. Seperti dulu, dan seperti sekarang: tajam ke bawah, layu ke atas. (*)
2 hari yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·