Politik dan Kontestasi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu
Ilustrasi by Geotimes

Banyak yangg menyebut tahun ini adalah tahun politik, seolah-olah tahun sebelumnya tidak berisi dialektika dan keputusan politik. Padahal setiap harinya kita berpolitik. Keberadaan lembaga-lembaga politik dalam kehidupan bernegara pastilah meniscayakan adanya kehidupan politik.

Namun, kita mafhum bahwa julukan ini merujuk pada momentum Pemilu 2024 mendatang. Situasi dan hubungan para elit politik semakin dinamis, beragam spekulasi politik pun terus bergulir. Setiap partai politik bersiap diri, mengambil posesioning, memanaskan mesin politik masing-masing.

Mengukur kekuatan diri kawan dan lawan, sekaligus saling menjajaki dan memetakan kekuatan kekuatan yangg ada. Sebuah pemandangan yangg lazim dalam kehidupan politik di tanah air menjelang digelarnya pesta kerakyatan lima tahunan.

Pemilu adalah sistem yangg telah disepakati berbareng sebagai upaya melakukan pergiliran kekuasaan, agar dia tidak menjadi monopoli satu pihak alias satu golongan politik semata. Ia juga menjadi ruang agar koreksi selalu terjadi sehingga pengunaan kekuasaan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Inilah prinsip kerakyatan yangg sejak era modern lahir telah menjadi antitesis dari sistem kekuasaan, yangg sebelumnya dimiliki golongan politik alias golongan tertentu.

Pemilu menjadi sistem yangg dibangun sedemikian rupa, sehingga pergantian kekuasaan tidak menjadi jalan perwarisan alias jalan perebutan yangg disertai kekerasan. Walhasil, kerakyatan adalah jalan pergantian pemegang kekuasaan yangg mensyaratkan adanya kedewasaan sikap dan rasionalisasi logika dari para pelakunya.

Di sisi lain, kekuasaan adalah bagian yangg tidak bisa dipisahkan dari politik. Ia apalagi menjadi ekspresi dominan dari politik. Saking identiknya, politik selalu terasosiasikan sebagai segala sesuatu mengenai dengan kekuasaan realita ini tidak bisa kita salahkan.

Dalam upaya memanifestasikan idealitas yangg dimiliki oleh setiap golongan politik, kekuasaan memang menjadi keniscayaan, karena tanpa kekuasaan mustahil kiranya sebuah program politik bisa direalisasikan. Lewat politik lah tawaran-tawaran pendapat dan pemikiran dalam sebuah konteks kehidupan berbareng tersalurkan seumpama tubuh manusia. Kehendak untuk mencapai sebuah tujuan dipersyarati dengan kuasanya raga melangkah dan jiwa yangg sadar.

Orientasi kekuasaan adalah keniscayaan dalam berpolitik. Hanya saja, cerita tentang kekuasaan ini memang kerap melahirkan beragam ekses dan residu, yangg paling lekat adalah bentrok dan perselisihan. Dalam sejarahnya kekuasaan memang tidak bisa dipisahkan dari siasat, intrik, muslihat, apalagi jarang pertumpahan darah. Terlebih dalam karakter kekuasaan yangg tetap condong despotik.

Demokrasi dipilih untuk memoderasi perihal tersebut dalam demokrasi, sistem kekuasaan diatur sedemikian rupa sehingga terjadi perimbangan dan sirkulasi kekuasaan. Peralihan kekuasaan pun diatur sedemikian rupa sehingga terjadi secara berkala dan diselenggarakan secara terbuka sehingga memungkinkan bagi setiap pihak mempunyai kesempatan yangg sama. Namun, dalam sistem yangg demikian pun tetap kerap terjadi kondisi yangg tidak fair dan perilaku yangg menyeleweng.

Kondisi yangg tidak fair merujuk pada adanya pelbagai ketentuan, yangg membikin pihak-pihak tertentu tetap tidak bisa terlibat dalam kejuaraan demokrasi. Tentu yangg dimaksud ketentuan disini adalah ketentuan yangg menyalahi prinsip kerakyatan itu sendiri. Namun, yangg demikian ini adalah relatif adanya. Sebab, adanya ketentuan dalam sebuah kempetisi lumrah adanya.

Oleh lantaran itu, yangg bisa dilakukan adalah mencoba menyiasatinya agar kondisi yangg kurang fair ini bisa digeser sedekat mungkin ke kondisi yangg lebih fair. Misalnya kewenangan mencalonkan diri sebagai presiden adalah kewenangan seluruh penduduk negara. Namun, realita politik yangg ada membuatnya ekslusif bagi kalangan tertentu saja. Ketua umum partai, pejabat publik, menteri, kalangan berduit, kepala wilayah dan seterusnya.

Dalam perihal ini, konvensi adalah salah satu upaya pendemokrasian dan moderasi perihal tersebut. Ia menjadi langkah untuk menyiasati agar kesempatan menjadi lebih terbuka bagi seluas-luasnya untuk kalangan yangg merasa bisa untuk menjadi calon pemimpin negeri.

Adapun pelaku yangg dipandang menyeleweng dalam kontestasi kerakyatan merujuk pada penggunaan segala langkah demi tercapainya kemenangan dan kekuasaan, alih-alih mewujudkan proses pemilihan yangg fair dan bermartabat, praktik penyelewengan ini hanya membikin proses peralihan kekuasaan bernuansa perebutan kekuasaan.

Pemilu pun tidak menjadi ruang bagi terlaksananya sirkulasi kekuasaan yangg demokratis melainkan arena adu siasat dan kelicikan berkompetisi. Alih-alih menjadi ruang pendidikan politik, Pemilu hanya sebagai arena perselisihan dan konflik. Hingga pada akhirnya, pemilu bukan lagi bagian dari upaya mencari solusi atas problematika bangsa, bakal tetapi malah menjadi problem baru bagi negara.

Bagi bangsa Indonesia, Pemilu merupakan arena peralihan kekuasaan yangg dinilai paling demokratis. Tantangannya adalah gimana mewujudkan Pemilu yangg berbobot dan berintegritas. Perlu kedewasaan berpolitik dari semua pihak. Pemerintah, penyelenggara, peserta maupun pemilih alias masyarakat secara umum. (*)

Penulis : Darmanto Saputro (Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Ponorogo)

-->
Sumber pijarnews.id
pijarnews.id