Pesantren: Mewarisi Nilai, Menyemai Zaman - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ # وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

Entah kenapa tiba tiba penggalan syair di atas terbersit di akal saya, syair di Kitab Ta’lim Muta’allim tersebut menjelaskan syarat syarat siswa dalam menuntut ilmu, salah satunya adalah petunjuk pembimbing alias kyai.

Sebagai seorang yangg lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, beberapa rumor tentang pesantren akhir akhir ini cukup membikin saya refleksi mendalam entah sebagai kritik sosial alias autokirik untuk diri saya dan lingkungan pesantren.

Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi, pesantren tetap eksis sebagai oase spiritual dan tradisi di Indonesia. Pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan ruang pembentukan jiwa, karakter, dan nilai. Namun, dalam era yangg semakin sigap ini, relasi santri dan kyai menghadapi beragam tantangan baru.

Polemik yangg muncul dari tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 pada Oktober 2025 menjadi titik refleksi penting. Tayangan tersebut menampilkan narasi yangg dianggap melecehkan kehidupan santri dan kyai, dengan titel provokatif seperti “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok? Kiainya nan Kaya Raya, Tapi Umatnya nan Kasih Amplop.” Tayangan ini memicu gelombang protes dari kalangan pesantren, khususnya family besar Pondok Pesantren Lirboyo, dan memunculkan tagar #BoikotTrans7 di media sosial.

Kontroversi ini bukan hanya soal etika jurnalistik, tetapi menyentuh akar representasi pesantren dalam ruang publik. Tayangan tersebut menunjukkan minimnya pemahaman terhadap relasi jiwa yangg tumbuh di pesantren relasi antara santri dan kyai yangg tidak bisa dipahami dengan logika transaksional alias komersial. Dalam kitab Bilik-Bilik Pesantren, Nurcholish Madjid menekankan bahwa pesantren adalah ruang tumbuhnya nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan pencarian makna. Kyai bukan hanya guru, tetapi figur yangg menjadi cermin adab dan penjaga tradisi. Santri bukan hanya murid, tetapi pewaris nilai dan penjaga warisan.

Relasi ini berkarakter batiniah, dibangun atas dasar kepercayaan, keteladanan, dan cinta ilmu. Dalam bumi modern yangg menuntut efisiensi dan kompetensi, relasi ini sering kali tampak “tidak rasional” bagi mereka yangg memandang dari luar. Namun justru di sanalah letak kekuatan pesantren. Pesantren menawarkan pengganti terhadap bumi yangg kehilangan arah, bumi yangg sering kali mengukur segalanya dengan matriil duit dan status.

Polemik Trans7 menunjukkan bahwa pesantren tetap rentan terhadap kesalah pahaman opini publik. Dalam upaya mengejar sensasi dan rating, media bisa saja menyajikan narasi yangg bias dan reduktif. Ini menjadi tantangan bagi pesantren untuk membangun narasi alternatif dengann memperkuat dokumentasi, literasi, dan ruang perbincangan yangg menunjukkan kedalaman relasi santri dan kyai. Santri era sekarang bukan hanya murid, tetapi juga penulis, peneliti, dan pembela nilai. Kyai bukan hanya pemimpin ritual, tetapi juga penjaga nilai moral dalam bumi yangg semakin kompleks.

Di sisi lain, pesantren juga perlu melakukan refleksi internal. Modernisasi tidak bisa dihindari, tetapi kudu diiringi dengan pembaruan nilai. Kyai dan santri perlu membangun relasi yangg adaptif, dialogis, dan terbuka terhadap perubahan. Tradisi tidak boleh menjadi beban, tetapi kudu menjadi sumber inspirasi untuk menjawab tantangan zaman. Dalam konteks ini saya mengamini pendapat Cak Nur dalam salah satu bukunya, beliau beranggapan bahwa seyogyanya  pesantren kudu menjadi ruang pembebasan, bukan pengekangan. Pesantren kudu menjadi ruang pencarian makna, bukan sekadar pelestarian bentuk.

Relasi santri dan kyai di era modern setidaknya harus ditopang oleh tiga hal yaitu keikhlasan, keterbukaan, dan keberanian. Keikhlasan untuk tetap menjadikan pengetahuan sebagai jalan ibadah. Keterbukaan untuk menerima kritik dan perubahan. Keberanian untuk memihak nilai dalam ruang publik, termasuk menghadapi narasi yangg menyimpang.

Polemik Trans7 bisa menjadi momentum untuk membangun kesadaran bersama bahwa pesantren bukan hanya milik kalangan internal, tetapi bagian dari wajah kebudayaan Indonesia. Ia kudu datang dalam ruang publik dengan narasi yangg jernih, mendalam, dan membebaskan. Santri dan kyai kudu menjadi subjek, bukan objek dalam pemberitaan. Mereka kudu menulis, berbicara, dan membangun ruang yangg setara bagi semua kalangan.

Dengan semangat dari Bilik-Bilik Pesantren ala Cak Nur, kita diajak untuk memandang pesantren bukan sebagai ruang tertutup, tetapi sebagai bilik-bilik kesadaran zaman. Relasi santri dan kyai adalah warisan spiritual yangg kudu dijaga, diperbarui, dan diwariskan. Bukan hanya dalam bilik-bilik fisik, tetapi dalam bilik-bilik pemikiran dan tindakan. Di era modern, pesantren kudu menjadi mercusuar nilai, bukan sekedar menara gading tradisi.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id