Penulis : Ikhrotul Fitriyah (Pengamat Politik Perempuan, Kandidat Magister Kajian Wanita Universitas Brawijaya)Peringatan Hari Keluarga yangg diinisiasi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1980-an, menjadi aktivitas tahunan yangg diperingati seluruh bumi dengan nama “International Day of Families” yangg diperingati setiap tanggal 15 Mei. Dimana peringatan tersebut tumbuh lantaran memperhatikan isu-isu yangg berasosiasi dengan keluarga, karena peran family tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan melalui resolusi A/RES/47/237.
Di Indonesia, peringatan Hari Keluarga Nasional (Hargana) juga diperingati dengan tanggal yangg sama dengan hari family berencana setiap tahunnya pada tanggal 29 Juni. Secara historis, peringatan Harganas di Indonesia dilandasi oleh kondisi pasca kemerdekaan, dimana kembalinya para pejuang ke family masing-masing setelah Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia pada 22 Juni 1949 dan kondisi lonjakan nomor perkawinan dini.
Tingginya nomor kelahiran anak dan gizi jelek yangg mana pada masa itu pengetahuan masyarakat tetap terbatas, sehingga menjadi argumen di mulainya aktivitas Keluarga Berencana (KB) untuk menyelesaikan problem tersebut yangg pada akhirnya dikenal sebagai Hari kebangkitan family nasional pada tanggal 29 Juni 1970.
Penetapan Harganas melalui Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 2014. Harganas menjadi salah satu seremoni tahunan yangg tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional, meskipun seremoni Harganas tidak sepopuler dan semeriah seperti Hari Ibu lantaran kemungkinan banyak dari masyarakat yangg belum mengetahuinya sehingga banyak masyarakat kita yangg tidak merayakan berbareng personil keluarga.
Tidak seperti di negara Skandinavia misalnya, Harganas diperingati dengan aktivitas berkumpul berbareng family dan kerabat. Pembangunan family adalah tanggungjawab kita bersama, pembangunan family menjadi salah satu rumor pembangunan nasional dengan penekanan pada pentingnya penguatan ketahanan keluarga.
Secara yuridis, Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebut bahwa “Ketahanan family berfaedah sebagai perangkat untuk mengukur seberapa jauh family telah melaksanakan peranan, fungsi, tugas-tugas, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anggotanya”.
Sementara itu, peran krusial family tertera pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Peraturan pemerintah ini sangat jelas menyebut bahwa family sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peran sangat krusial dalam pembangunan nasional. Lebih jauh lagi, family perlu dibina dan dikembangkan kualitasnya agar menjadi family sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yangg efektif bagi pembangunan nasional.
Namun sudahkah kita menjalankan peran masing-masing dalam sebuah keluarga? Perayaan ini tentu bukan hanya sebatas momentum untuk menguatkan ikatan antar personil family semata, tetapi kudu menjadi perenungan kembali kita semua. Benarkah family memang sebagai tempat kembali? Sudahkah kita menciptakan family sebagai tempat nyaman, aman, dan penuh keteladanan?
Sebagai seorang kepala keluarga, ayah maupun suami merupakan pemimpin yangg menjadi suri tauladan bagi personil family lainnya. Ia mempunyai tanggungjawab yangg besar tidak hanya sebagai pencari nafkah semata, namun peran ayah maupun suami adalah pembawa nahkoda keluarganya. Sebagai seorang ibu yangg digadang dengan peran membimbing, mendidik, dan mempunyai hubungan terkuat dengan anaknya apalagi ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya sehingga kata-kata yangg keluar dari mulutnya adalah do’anya.
Bahkan seorang penulis dan sastrawan Muna Masyari mengatakan, bahwa rumah yangg pernah dipertahankan ibumu, tak lain adalah lingkungan tempat menjalin ikatan, tempat berbagi kasih sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan, yangg semestinya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 mendefinisikan ketahanan dan kesejahteraan family sebagai kondisi family yangg mempunyai keuletan dan ketangguhan, serta mengandung keahlian bentuk material guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup selaras dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Sementara suatu family bakal mempunyai ketahanan dan kemandirian yangg tinggi andaikan family tersebut dapat berkedudukan secara optimal dalam mewujudkan seluruh potensi yangg dimilikinya.
Tentunya peran tersebut tidak selalu kudu didasarkan atas peran kelamin semata. Bersama-sama kudu bekerja-sama untuk saling bergantian dalam memainkan peran untuk mewujudkan family yangg sejahera seperti yangg diamanatkan UU. Begitu besar peran dan tanggung jawab setiap personil keluarga, maka tak heran bahwa ketahanan family bakal berakibat pada terjaminnya ketahanan masyarakat.
Relasi Ayah, Ibu dan Anak. Refleksi atas Keluarga Ibrahim
Harganas yangg bertepatan dengan hari Raya Idul Adha 1444 H, menjadi momentum bagi kita berbareng untuk merefleksikan relasi antara ayah, ibu dan anak. kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail bukan hanya gambaran atas keteguhan ketaatan dan kesabaran yangg paripurna atas perintah Allah, melainkan juga atas hubungan pengasuhan seorang ayah yangg menjadi teladan yangg didapatkan dari personil keluarga.
Ibrahim adalah sosok ayah yangg kerap melibatkan anaknya Ismail dalam mengatasi setiap persoalan yangg ada. Peran wanita pun terlihat dari sosok Hajar, istri Ibrahim sekaligus Ibu Ismail dengan kepercayaan dan kesabaran dalam menghadapi ujian dari Allah, sehingga kisah Hajar diabadikan dalam rukun haji.
Untuk membentuk suatu family seperti kisah family Ibrahim, dibutuhkan kerja sama dan komitmen yangg kuat dari seluruh personil keluarga. Indonesia mendapat gelar negara fatherless, akibat dari hilangnya peran ayah dalam pengasuhan dan membersamai tumbuh kembang anak. Harus kita sadari bahwa budaya patriarki yangg membentuk itu, konsep peran kelamin yangg membagi ayah sebagai pencari nafkah dan ibu yangg mengurusi kerja domestik menjadikan anak-anak Indonesia kehilangan “sosok” ayahnya.
Baik ibu maupun ayah mempunyai tanggungjawab yangg sama besarnya dalam mendidik anak-anaknya. Kedekatan antara ayah dan anak dalam banyak penelitian dapat mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial anak dan nilai moral sehingga anak tidak mudah terlibat dalam kenakalan remaja dan perbuatan yangg menyimpang lainnya. Lantas gimana dengan anak-anak yangg terpisah dari sosok ibu alias ayah lantaran LDR?
Intensitas komunikasi adalah keharusan untuk terus diupayakan, karena tidak hanya kehadiran bentuk semata melainkan kehadiran psikologis. Hal ini sejalan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga.
Untuk meningkatkan ketahanan keluarga, pemerintah kudu bisa melakukan pemetaan gimana situasi saat ini, bagian mana dari ketahanan family yangg perlu diperbaiki. Dengan mengetahuinya, kita dapat mengembangkan strategi gimana program dirancang untuk memperbaiki ketahan keluarga.
Suami-istri, ibu-bapak, kakak-adik memainkan peran yangg sama dalam membentuk sebuah family yangg berkarakter, bahagia, sejahtera tentunya dengan porsi masing-masing. Penting juga peran tersebut didukung oleh hadirnya negara untuk membikin kebijakan yangg mengakomodir peran kelamin dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak, tidak hanya menemani istri saat pemeriksaan rutin kehamilan dan persalinan sampai pada pelibatan ayah dalam aktivitas posyandu alias hal-hal lain yangg bisa dilakukan berbareng dalam mengurusi rumah.
Tentunya, ini merupakan refleksi kita berbareng atas kondisi family dan peran masing-masing sebagai personil family dalam membentuk dan membina karakter family yangg kokoh dan unggul. Karena sejatinya family merupakan unit masyarakat terkecil yangg mempunyai kedudukan yangg sangat strategis dalam pengembangan kualitas SDM yangg mencakup pengembangan kemampuannya, keahlian menghadapi tantangan dan mencegah resiko terhadap masalah di sekeliling mereka.
Sebagai entitas yangg mempunyai tanggungjawab dalam mengatur, mengelola dan melaksanakan segala sesuatunya, negara secara penuh mempunyai kewenangan unuk membentuk pola dan kebiasaan baru untuk menciptakan kebijakan yangg setara kelamin agar praktik-praktik baik tersebut dapat terwujud. Sehingga persoalan yangg ada di masyarakat seperti kasus kenakalan remaja, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan dini, pelecehan seksual, lambat laun bakal berkurang. Tentu itu merupakan angan kita bersama.
Mari kita peringati Harganas yangg bertepaan dengan hari raya qurban sebagai momen berkumpul berbareng dengan family dengan menikmati hidangan qurban. Terakhir, izinkan saya mengutip quote Salim Darmadi ‘Kemanapun kaki kita melangkah dan dimanapun tempat yangg kita pilih untuk membangun kehidupan, pada akhirnya kita bakal pulang’. (*)
Penulis : Ikhrotul Fitriyah (Pengamat Politik Perempuan, Kandidat Magister Kajian Wanita Universitas Brawijaya)
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·