Perempuan Memberi Kuliah Tujuh Menit: Mengapa Tidak? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 7 bulan yang lalu

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi*

Saya mengikuti sholat tarawih di Griya Dakwah Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan, yangg diampu oleh Pengurus PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) setempat. Griya Dakwah adalah rumah besar yangg berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 750 m² dan multifungsi. Ia menjadi tempat sholat berjamaah sekaligus markas aktivitas kebaikan ibadah para pengampu Pimpinan Ranting Muhammadiyah dan Aisyiyah. Selain itu, dia juga menjadi tempat belajar mengaji Al-Qur’an dan sekolah bahasa Inggris bagi anak-anak dan orang tua di kampung itu. Ia sangat nyaman sebagai tempat retreat dan pendidikan kader bagi adik-adik IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Badan Eksekutif Mahasiswa dari beragam kampus di seputar Ciputat, Pamulang, Jakarta, dan Banten. Meski resminya menjadi milik PRM Pondok Cabe Ilir, namun fungsinya bisa digunakan oleh siapa saja, selama untuk aktivitas kebaikan.

Suasana Sholat Tarawih di Griya Dakwah

Sholat tarawih di Griya Dakwah memang terasa berbeda. Imamnya anak-anak muda dari IMM. Bacaan Al-Qur’annya bagus, cepat, memilih ayat-ayat yangg pendek yangg dibaca dengan bunyi merdu; rasanya lezat sekali di telinga. Ada kesyahduan, ketenangan, dan keteduhan di dalam hati. Ada aspek lain yangg membikin saya betah. Kami para jamaah mempunyai kesamaan frekuensi, sehingga obrolan hingga guyonan tentang apa saja yangg dibicarakan setelah sholat selalu nyambung, apalagi terkadang lupa hingga terlalu larut untuk pulang ke rumah.

Seperti dalam ritual sholat tarawih di tempat lain, setelah sholat Isya’, ada pidato selama tujuh menit yangg disampaikan oleh seorang penceramah yangg ditunjuk. Malam tadi, pemberi ceramahnya adalah seorang perempuan, ialah Ustadzah Dr. Hj. Umi Musyarofah, MA. Dia adalah pengajar di UIN Ciputat, berilmu luas, dan bisa menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara lugas dan argumentatif di depan para jamaah tarawih di antara barisan laki-laki dan perempuan. Komposisi barisan jamaah wanita dan laki-laki memang sengaja dibuat sejajar, dengan meja kayu belajar yangg difungsikan sebagai separator.

Penceramah wanita itu berdiri tegak di depan barisan jamaah perempuan. Kesan saya, dia mempunyai jam terbang tinggi sebagai penceramah. Pesan keagamaan yangg diberikan seputar rekomendasi untuk meningkatkan ibadah baik di bulan Ramadhan, mulai dari memperbanyak zikir, salat-salat sunnah selain tarawih, membaca dan memahami Al-Qur’an, menyantuni orang lain yangg sedang dalam kesusahan, dan seterusnya. Amalan-amalan tersebut bakal bisa memantabkan keagamaan seorang hamba kepada Allah.

Usai sholat tarawih, saya mendatangi penceramah untuk mengapresiasi kesediaannya mengisi kultum pada malam hari ini. Dia bercerita bahwa di bulan Ramadhan ini dia juga bakal mengisi pidato yangg sama di masjid Bekasi. Saya sekali lagi mengapresiasinya, mengingat jarang sekali ada wanita yangg diberi kesempatan untuk mengisi pidato tujuh menit di bulan Ramadhan. Selama ini kesan yangg muncul selalu seragam, bahwa seolah-olah panggung pidato itu hanyalah menjadi mimbar milik laki-laki. Seharusnya, wanita tidak menuai halangan dalam mengisi ceramah, mengingat agenda pidato tujuh menit itu adalah budaya dari hasil kreasi manusia belaka. Ritual selama tujuh menit di antara usai sholat Isya dan sholat tarawih itu bukan ibadah wajib yangg tata caranya diatur secara rigid dalam pengetahuan fiqih.

Mengapa Perempuan Boleh Menjadi Penceramah?

Bagisaya, wanita boleh menjadi penceramah di bulan suci Ramadhan. Alasannya lantaran materi pidato yangg disampaikan bakal mengenai dengan problematika manusia yangg melintasi pemisah jenis kelamin. Misalnya soal perintah untuk memperbanyak ibadah baik di bulan Ramadhan. Bukankah perintah itu berbobot universal bagi manusia, tidak ada pembeda antara laki-laki maupun perempuan? Oleh lantaran itu, pesan amal itu semestinya tidak boleh dibatasi hanya disampaikan oleh salah satu pemilik jenis kelamin saja. Pesan-pesan baik hendaknya juga bisa disampaikan baik oleh laki-laki maupun perempuan, lantaran pesan itu juga diperuntukkan bagi semua jenis kelamin.

Saya juga bertanya kepada Dr. Edi Amin, yangg sehari-hari menjadi pengajar di UIN Ciputat, sekaligus menjabat sebagai sekretaris PRM Pondok Cabe Ilir dan juga sebagai “Imam Besar” di Griya Dakwah. Baginya, penunjukan wanita sebagai pengisi aktivitas kultum Ramadhan adalah perihal yangg sangat lumrah. Bahkan, dia telah mengagendakan untuk tiga wanita lain yangg bakal mengisi pidato Ramadhan nanti. Hal itu juga didasarkan pada aspirasi jamaah wanita yangg menghendaki agar penceramah tidak dibatasi oleh satu jenis kelamin saja. Syukur-syukur mereka bisa menyampaikan pertanyaan-pertanyaan sesudah sholat tarawih. Intinya, panitia Ramadhan diminta untuk proporsional dalam membagi tugas penceramah.

Memberikan porsi pidato kepada wanita juga menjadi perhatian unik Sekum Muhammadiyah, sekaligus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti. Sebagai penasihat PRM Pondok Cabe Ilir dan bertempat tinggal di wilayah itu. Beliau berpesan agar panitia selalu bertindak proporsional dalam membagi tugas-tugas ceramah. Penceramah sebaiknya tidak hanya berasal dari satu entitas.

Semoga pendapat baik ini bisa menjadi teladan bagi pengelola masjid dan golongan pengajian di lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah di tempat lain. Himbauan yangg sama juga bertindak bagi para pengampu tempat-tempat pengajian yangg diadakan oleh pengurus Aisyiyah. Para pengisi aktivitas pengajian hendaknya tidak dibatasi hanya pada salah satu jenis kelamin saja. Mengingat tema obrolan yangg dibicarakan bakal selalu merujuk pada problematika personil jamaah yangg mempunyai dimensi luas. Pembatasan pengampu materi yangg hanya diberikan kepada salah satu jenis kelamin, justru bakal mempersempit ruang yangg semestinya berdimensi luas.

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id