Perempuan dalam Sudut Pandang Tasawuf - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Tasawuf asal maknanya dari bahasa Arab ialah tashowwafa yangg artinya berbulu banyak. Makna tersebut dinisbatkan kepada mereka yangg doyan mempergunakan baju berbulu domba. Meskipun dalam prakteknya tidak banyak sufi yangg mempergunakan busana kekuasaan bulu domba sebagai busana kesehariannya.

Istilah sufi sendiri didefinisikan sebagai kesucian dan kebersihan hati mereka. Selain itu, istilah sufi juga dinisbatkan pada orang-orang yangg selalu tidur di serambi masjid. Mereka meninggalkan segala kekayaan yangg melimpah, tahta yangg tinggi serta wanita yangg bisa memuaskan nafsu demi dapat beragama dengan tenang dan intens kepada Allah Swt. Tidur di serambi masjid sekaligus juga menambah kedekatan mereka kepada Nabi Muhammad Saw.

Apa Itu Tasawuf?

Syekh Muhammad Amin Al-Kudry berpendapat, bahwa tasawuf adalah sebuah pengetahuan yangg dapat digunakan untuk mengetahui perihal ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, langkah membersihkan diri dari keburukan dan mengisi diri dengan kebaikan. Juga langkah melakukan suluk, mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya serta menjauhi larangannya.

Secara sederhana, tasawuf merupakan aktivitas untuk menyucikan jiwa dan raga dengan jalan menjauhkan diri dari bujukan bakal kenikmatan bumi yangg sesaat. Sehingga sepenuhnya mengarahkan diri untuk selalu berkonsentrasi pada Allah.

Meskipun membawa unsur kesucian, tasawuf dan zuhud mempunyai perbedaan. Zuhud merupakan satu dari banyak muamalah yangg menjadi jalan seseorang untuk dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam hubungannya kepada Tuhan. Sedangkan tasawuf merupakan sebuah proses panjang yangg mewadahi zuhud didalam prosesnya.

Jika seseorang tetap dalam tahapan zuhud, dirinya bakal berupaya keras untuk dapat mencapai tingkatan yangg ada setelahnya. Sehingga bisa mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.

Sedangkan jika seseorang telah masuk dalam tasawuf, maka dirinya bakal meninggalkan zuhud. Dirinya bakal mendapatkan pemahaman yangg terdalam tentang makna dari kerelaan, cinta, dan kehidupan serta makna yangg selama ini dirinya lewatkan dalam hidupnya dan hanya berfokus pada Allah semata.

Dari segi pembelajaran untuk kehidupan sehari-hari, pengetahuan tasawuf mengandung empat kandungan, yaitu;

Pertama, metafisika, ialah suatu istilah yangg dipergunakan untuk memperlihatkan tentang hal-hal yangg kasat mata, nonfisika (tidak berbentuk). Namun diyakini adanya baik dalam pertemuan secara langsung alias tidak. Tasawuf kental dengan unsur metafisik, ialah tentang Tuhan serta cinta yangg keduanya berafiliasi pada proses manusia menuju alambaka kelak.

Kedua, etika, yangg dalam tasawuf mengedepankan tentang etika untuk menjalin relasi antara manusia dengan Tuhan maupun antara manusia dengan sesamanya.

Ketiga, ilmu jiwa alias pengetahuan jiwa. Unsur ilmu jiwa dalam tasawuf mengedepankan penyelidikan pada jiwa, berbeda dengan ilmu jiwa umum yangg secara luas menyelidiki seseorang dari tingkah lakunya.

Keempat, estetika, ialah itu tentang keindahan. Estetika menghimpun makna keelokan secara utuh, menjunjung makna cinta secara sama rata tanpa mempertimbangkan aspek apapun. Estetika meluaskan konsep keelokan dengan menghapus batasanbatasan kegunaan dari keelokan itu sendiri alias nilai dalam keelokan itu. Zikir, bermunajat kepada Allah merupakan salah satu estetika seorang sufi dalam berkomunikasi kepada Allah Swt.

Tasawuf mempunyai objek kajian berupa logika dan ma’rifat, yangg dari itu muncul pembahasan tentang hati dan langkah melatihnya. Sedangkan aplikasi dari pengetahuan tasawuf bermaksud untuk mencapai tingkatan ma’rifat dengan taqarrub kepada Allah Swt.

Apa Tujuan dari Tasawuf?

Sayyid Nur bin Sayyid Ali menerangkan tujuan tasawuf dalam beberapa poin. Pertama, menyelaraskan iktikad perhubungan dengan Tuhan, dengan maksud Allah SWT memandang hambanya dari segala penjuru dan segala sisi. Kedua, meraih tingkatan ihsan dalam melakukan ibadah. Ketiga, memenuhi jiwa derngan kemuliaaakhlak Islam. Keempat, membersihkan diri dari penyakit hati. Kelima, untuk menyelamatkan diri dari iktikad syirik serta batil.

Tasawuf mulai mendapatkan perkembangan obrolan didalamnya pada abad ke-3. Pada masa itu istilah-istilah umum dalam tasawuf mulai muncul, seperti fana, ittihad, alahwal, dan almaqamat. Tasawuf pada mulanya berfokus pada proses penyeimbangan dan mulai berganti menjadi proses penyucian. Setelah itu tasawuf mulai mempunyai identitas yangg nampak nyata seperti tempat tinggal yangg unik dipergunakan sebagai letak perenungan. Pada periode ini tasawuf telah dinyatakan berhujung masa perkembangannya sebagai media pendekatan kepada Allah.

Berbagai perubahan bakal paradigma yangg terdapat dalam tasawuf dilatarbelakangi oleh beragam faktor. Pertama adalah menguatnya kehidupan hedon yangg dilakukan oleh family dari Daulah Umayyah yangg kemudian di tiru oleh masyarakat. Hal ini menjadikan tasawuf identik sebagai sebuah upaya untuk menjauhkan diri seorang sufi dari beragam perihal yangg berkarakter duniawi yangg dapat membikin dirinya melupakan Tuhan.

Kedua adalah munculkan sikap cuek dalam masyarakat sebagai reaksi dari radikalisme Khawarij serta upaya-upaya politik yangg dilakukannya. Kemelut kekuasaan yangg sarat dengan kepentingan dari beragam pihak pada masa itu membangkitkan sebagian orang yangg mau menjauhi beragam bentrok bumi serta menghujani hidup dengan cinta dan kedamaian untuk semesta.

Ketiga adalah kodifikasi fiqih yangg merupakan norma Islam serta perumusan pengetahuan kalam yangg condong dialektis serta rasional, yangg pada akhirnya membikin Islam kehilangan nilai spiritualitas. Kekakuan norma Islam seakan membatasi hubungan antara manusia dengan Tuhan, sehingga dari situ tasawuf lahir, bangkit dan berkembang, sebagai upaya masyarakat yangg telah jengah dengan beragam kekacauan bumi dan mau kembali beragama kepada Tuhan dengan penuh ketenangan dan cinta kasih. Tasawuf memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengeksplorasi ibadah mereka kepada Tuhan tanpa kudu berasosiasi dengan bumi sekalipun.

Perempuan dalam Pandangan Tasawuf

Dalam tasawuf, wanita mempunyai kedudukan yangg sama sebagaimana laki-laki. Hal ini menjadi perhatian yangg sangat serius dalam tasawuf, guna untuk menepis sekaligus untuk menegaskan kedudukan wanita dan laki-laki.

Pandangan masyatakat secara umum memperlihatkan jika perempuan tidak lebih unggul dibandingkan laki-laki. Argumen tersebut diperparah dengan kebenaran bahwa wanita memang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, membaktikan diri kepada suami dengan langkah mengurusnya, melakukan tanggungjawab rumah tangga dengan jalan mengasuh serta mendidik anak, juga menjaga diri untuk melindungi martabat suami di mata masyarakat.

Padahal seluruh pandangan tersebut hanyalah sekadar pernyataan tanpa dasar. Melalui tasawuf khususnya, wanita dikembalikan pada kedudukan asalnya, ialah mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yangg sama sebagaimana laki-laki sesuai dengan norma kehidupan di dunia.

Bukti nyata bakal support tasawuf terhadap eksistensi wanita adalah munculnya beragam tokoh sufi wanita yangg bisa mengukir sejarah dalam pengetahuan tasawuf. Tokoh sufi wanita yangg dikenal luas dalam kalangan Islam adalah Rabiatul Adawiyah, seorang wanita yangg hanya memilih untuk menyerahkan segenap cinta yangg dirinya punya kepada Khaliq, ialah Allah Swt.

Rabiah inilah yangg kemudian disebut sebagai tokoh sufi yangg menggagas tentang konsepsi mahabbah, corak cinta yangg asasi antara manusia dengan Tuhan. Ajaran Rabiah kemudian dikembangkan oleh beragam sufi hingga saat ini. Namun tidak hanya Rabiah, beberapa tokoh sufi wanita lainnya juga ikut menegaskan tentang eksistensi wanita di mata masyarakat.

Kedudukan Rabiah yangg dikatakan sebagai sufi wanita kemudian membuka kembali sejarah tentang peranan wanita dalam masyarakat, secara unik dalam masyarakat Islam.

Dalam lingkungan family Nabi, muncul nama Ummu Haram. Dia adalah seorang family Nabi yangg wafat sebagai syuhada ketika muslim kali pertama melakukan perjalanan untuk penaklukan wilayah Siprus. Lalu jika memandang kelahiran Rabiah, maka bakal muncul tokoh sufi wanita Maryam al-Basriyyah, salah seorang tokoh sufi yangg meninggal bumi dalam fase ekstase.

Hadir juga Bahriyyah al-Mausuliyyah, seorang sufi yangg seringkali meratap hingga matanya mengalami kebutaan hanya demi agar dirinya bisa memandang sang Khaliq yangg sejati. Terdapat juga Rihana al-Waliha yangg memilih hidup dalam ekstase sehingga nyaris dianggap gila lantaran mempunyai perilaku yangg tidak selaras dengan kebiasaan umum masyarakat.

Masih banyak para sufi wanita yangg pada sesungguhnya memang memperlihatkan tentang kedudukan wanita dalam tasawuf setara dengan laki-laki. Pandangan umum masyarakat luas yangg setelah memandang tradisi dalam masyarakat itu sendiri kemudian memberikan justifikasi tentang ketidaksetaraan wanita dan laki-laki.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw berfirman “Ada tiga perihal yangg saya cintai dari bumi kalian: perempuan, parfum, dan salat”. Hadis tersebut dimaknai oleh Ibnu Arabi sebagai corak kesempurnaan serta keelokan dalam wanita yangg mempunyai hubungan erat dengan aspek ketuhanan.

Menurutnya, penyaksian bakal Tuhan dalam diri wanita merupakan corak penyaksian yangg sempurna, karena dalam penyaksian diri bakal Tuhan dalam diri wanita mengandung dua sisi kerja penyaksian, ialah sisi mempengaruhi dan sisi dipengaruhi.

Sisi dipengaruhi dalam diri seorang wanita bakal penyaksian terhadap Tuhan disimbolkan dalam proses penerimaan nutfah laki-laki dalam diri wanita tersebut. Sedangkan proses mempengaruhi dalam diri wanita bakal penyaksian terhadap Tuhan adalah ketika wanita menjaga serta merawat nutfah yangg diberikan oleh laki-laki tersebut. Karena itu, penyaksian Tuhan dalam diri wanita merupakan penyaksian terbaik dan sempurna dibandingkan dengan penyaksian Tuhan dalam diri laki-laki.

Rumi sebagai salah seorang sufi menegaskan bakal kekuatan wanita dibandingkan laki-laki. Dalam pandangan Rumi, wanita lebih mempunyai wilayah dominan, baik dalam perihal sifat maupun sikap. Perempuan banyak mendominasi logika laki-laki dengan rasa yangg mereka miliki. Namun, sikap laki-laki seperti marah serta jahil juga ikut memberikan kekuasaan kuat terhadap perempuan.

Rumi juga menyimbolkan wanita sebagai api dan laki-laki sebagai air. Dalam satu keadaan, air memang dapat mengecilkan nyala api. Namun, dalam keadaan yangg sebaliknya, api dapat menyebabkan air mendidih dan mengubah air menjadi uap.

Dari penggambaran dalam simbol tersebut, rumi mencoba untuk menjelaskan bahwa dalam masalah pengaruh, wanita lebih mempunyai banyak kekuatan dibandingkan laki-laki. Laki-laki dapat menguasai jiwa alias hati yangg dimiliki perempuan, namun wanita dapat menguasai jiwa maupun hati yangg dimiliki laki-laki. Perempuan dapat menguasai keduanya.

Tasawuf meletakkan wanita dalam kedudukan yangg sama seperti laki-laki. Keduanya sama-sama setara. Tasawuf tidak memandang laki-laki dan wanita sebagai satu corak perbedaan yangg saling menjauhkan satu sama lain.

Tasawuf hanya memandang perbedaan laki-laki dan wanita dalam corak kebersihan hati serta gimana agar diri bisa dan bisa sampai pada posisi terdekat dengan Tuhan.

Tasawuf hanya mempersoalkan tentang gimana bisa semakin dekat dengan Tuhan, semakin cinta dengan Tuhan dan semakin dapat senantiasa mengingat Tuhan tanpa terhalang satu corak penghalang apapun. Dan untuk mencapai kedekatan terhadap Tuhan tidak bertindak jenis kelamin alias kedudukannya di dunia, lantaran wanita dan laki-laki mempunyai kesempatan yangg sama sebagai hamba Tuhan untuk mengenal diri-Nya.

Ibnu Arabi memperlihatkan pentingnya wanita dan kedudukannya dalam tasawuf dengan jalan menyimbolkannya dengan cinta. Saat seorang laki-laki mencintai perempuan, maka dalam kemauan laki-laki tersebut hanya ada tentang langkah untuk mendapatkan hati wanita tersebut, gimana langkah agar dirinya bisa selalu dekat, tidak melupakan wanita tersebut, baik tentang apa yangg menjadi karakter wanita itu ataupun kenangan yangg telah mereka lewati bersama.

Hubungan laki-laki tersebut yangg dipandang sebagai simbol tentang mahabbah terhadap Tuhan. Perempuan sebagai “yang diimpikan untuk dicintai dan dimiliki” laki-laki merupakan simbol perantara tentang langkah seseorang untuk bisa mencapai kecintaan bakal dirinya kepada Tuhan.

Oleh lantaran itu, ketika seorang laki-laki mencintai perempuan, maka dirinya sedang dalam posisi dua lingkup mencintai, ialah posisi mencintai wanita sebagai corak cinta pada makhluk sekaligus corak penunaian bakal kebutuhan jasmani, dan kedua adalah posisi mencintai Tuhan sebagai pembuat bakal diri wanita dirinya cintai tersebut, yangg membukakan pintu syukur, harap, dan sabar pada dirinya, sekaligus menjadi penunaian bakal cinta rohani yangg dia miliki.

Dalam tasawuf juga, wanita mempunyai pergaulan yangg khusus, berlawanan dengan norma fiqih. Dalam beragam kisah tentang kehidupan para sufi, wanita digambarkan sering mendapatkan kunjungan dari laki-laki untuk membicarakan tentang problem spiritual mereka. Mereka melakukan pembicaraan diberbagai tempat, mengikuti beragam aktivitas yangg umum dilakukan oleh laki-laki di tempat umum, maupun melakukan zikir berbareng dengan laki-laki.

Salah satu kisah tentang istri Ahmad bin Khazruya, Fathimah, beberapa kali melakukan obrolan dengan Abu Yazid al-Busthomi tentang problem spiritual tanpa mengenakan penutup kepala dan penutup tangan, sehingga tangannya yangg mempunyai cat kuku dan perhiasan terlihat. Suaminya kemudian berprasangka dan memperingatkan Fathimah, namun Fathimah menjawab bahwa dalam hatinya hanya ada Tuhan.

Dalam menegaskan kedudukan wanita serta pentingnya wanita dalam kehidupan manusia, al-Qur’an menghadirkan sosok Maryam ibu dari Nabi Isa as, Asiyah yangg merupakan istri Fir’aun serta Siti Hajar ibu dari Nabi Ismail as. Tidak lupa istri Nabi Muhammad ialah Zaynab binti Khuzaymah yangg mendapatkan julukan Ummul Masakin lantaran seringnya Zaynab menolong orang. Ada Siti Fathimah serta Siti Khadijah yangg merupakan putri serta istri Nabi Muhammad Saw.

Referensi

Muhammad Nur Jabir, Perempuan Perspektif Tasawuf (Penerbit Rumi Press, 2020)

Asmail Azmy HB, Akhlak Tasawuf: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Penerbit K-Media, 2021)

Annemarie Schimmel, My Soul is Woman (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017)

M. Afif Anshori, Perempuan: Perspektif Filsafat, Tasawuf, dan Fiqih, Jurnal al-Adyan, (Januari-Juni, 2015)

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id