Perempuan dalam Pandangan Para Filosof Muslim - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Allah menciptakan makhluk berjulukan manusia (laki-laki dan perempuan). Al-Qur’an menyebutnya sebagai hamba dan wakil Tuhan. Maksudnya, penyebutan hamba ditunjukkan kepada manusia nan alim dan tunduk pada kehendak Tuhan, sementara istilah ‘wakil Tuhan’ teruntuk manusia nan mengemban misi mulia di muka bumi.

Terhadap penyebutan tersebut, semuanya merujuk pada konsep Tuhan nan dipegangnya. Misalnya, seorang hamba meyakini bahwa Tuhan mempunyai sifat nan dikategorikan sifat jalal (kualitas maskulin) nan mengharuskan manusia tunduk pada-Nya lantaran keagungannya, kebesarannya, dan ketakterbandingannya. Sementara, wakil Tuhan meyakini bahwa dalam diri manusia ada sifat-sifat Tuhan, lantaran itu Tuhan sangatlah dekat. Kedekatan itu membikin manusia tidak hanya sekadar tunduk dan alim tetapi mencoba mengaktualisasikan segala sifat Ilahi dalam dirinya untuk memelihara alam semesta dan seisinya (Murata, 2022: 60).

Baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama mempunyai sifat Ilahi nan terinternalisasi dalam dirinya sebagai pemberian Tuhan. Indra, logika dan hati dimiliki oleh laki-laki dan wanita untuk diaktualisasikan menjadi pengetahuan nan dapat menyinari alam semesta.

Dua pasangan nan menggambarkan gambaran Tuhan menyiratkan bahwa penciptanya pun mempunyai dualitas. Dalam perihal ini dualitas asma-Nya, ialah kategori jalal dan jamal, maskulin dan feminin. Walaupun begitu, Tuhan tetaplah unsur tunggal.

Para filosof muslim menganggap Tuhan memanifestasikan seluruh asma-Nya nan ber-tajalli dalam corak makhluknya nan berjulukan manusia baik laki-laki dan perempuan. Terkhusus perempuan, mungkin bagi sebagian orang jarang mendengar pandangan filosof muslim mengenai perempuan. Tulisan ini mencoba memberi insight tentang pandangan filosof muslim terhadap perempuan.

Perempuan dalam Pandangan Filosof Muslim

Filosof muslim berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk nan komplementer, lantaran didalamnya seluruh asma Tuhan ada, baik nan maskulin maupun nan feminin. Berbeda dengan makhluk lain nan hanya mempunyai satu asma saja. Karena itu, manusia merupakan makhluk spesial dan sempurna jika bisa menyeimbangkan dan mengaktualisasikan seluruh asma Tuhan secara proporsional. Namun, terdapat juga pandangan nan justru merendahkan martabat manusia nan lain, misalnya perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa wanita merupakan setengahnya dari laki-laki, nan berfaedah laki-laki nan belum komplit (Gaarder, 2019: 193).

Bahkan dalam corak patokan nan lebih memberatkan pada wanita seperti di arab abad ke-7, bahwa laki-laki bebas menjatuhkan talak semaunya sementara wanita hanyalah pengecualian dan rekomendasi melakukan poligami (Akyol, 2023: 239).

Tapi coba kita perhatikan pandangan filosof muslim terhadap perempuan. Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya “Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas” membikin bab unik ialah “perempuan dalam karya filsafat” nan menguraikan pandangan filosof muslim mengenai perempuan.

Nasr al-Din Thusi, misalnya, mengatakan untuk para laki-laki dalam memilih wanita nan bakal dijadikan istri setidaknya memperhatikan tiga hal: kecerdasan, kesetiaan dan kesuciannya. Hubungan antara laki-laki dan wanita nan sudah berumah tangga diibaratkan jiwa sedangkan rumah tangga adalah tubuhnya, jika laki-laki berpoligami maka bakal terguncang tubuhnya (rumah tangganya) lantaran didalamnya ada dua jiwa. Thusi sendiri tidak menganjurkan poligami (Kartanegara, 2007: 122).

Ibn Sina menyebut wanita sebagai wakil dari nafsu, sementara laki-laki sebagai akal. Pandangan tersebut agaknya sudah lumrah ditelinga kita, walaupun banyak kalangan nan tidak setuju. Maksud dari pandangan Ibn Sina adalah nafsu tidaklah selalu buruk, ada juga nafsu nan baik. Perempuan bisa saja dikategorikan nafsu baik maupun jelek tergantung gimana dia mengaktualisasikan potensi nan telah Allah berikan.

Filosof muslim nan berasal dari barat Islam adalah Ibn Rusyd nan turut memberikan pandangannya terhadap perempuan. Baginya wanita mengerjakan aktivitas nan sama dengan laki-laki, namun lantaran adanya sistem sosial nan membikin wanita tidak bebas melakukan apapun. Maka terjadilah batas aktivitas tertentu nan ditujukan kepada perempuan, misalnya melahirkan, menyusui, dan mengurus anak dan suami.

***

Jalaludin Rumi dalam syairnya menganalogikan hubungan laki-laki dengan wanita seperti halnya langit dan bumi (Kartanegara, 2017: 150), seperti dibawah ini.

Dalam pandangan orang bijak, langit adalah laki-laki dan bumi perempuan.

Langit berputar layaknya suami mencari nafkah.

Sedangkan bumi menjaga dan memelihara apa pun nan dikaruniakan langit.

Ketika bumi kekeringan, langit mencurahkan air alias embun.

Bumi menjalankan tugas sang istri, melahirkan dan menyusui anak-anak nan dia lahirkan.

Maka pandanglah langit dan bumi sebagai nan dikaruniai kecerdasan,

Karena mereka melakukan pekerjaan makhluk cerdas.

Andai dua sejoli ini tidak menikmati hubungan mereka,

Mengapa mereka melangkah seiring seirama seperti sepasang kekasih?

Pandangan-pandangan tersebut mulai dari Thusi sampai Rumi dinilai tidak merendahkan martabat perempuan. Sebab baik wanita maupun laki-laki merupakan makhluk nan mengemban misi mulia. Bagaimana mungkin misi mulia tersebut diberikan oleh Tuhan kepada makhluk nan mempunyai martabat rendah.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id