
BANTUL – Islam berkemajuan merupakan bagian dari proses perjalanan sejarah persyarikatan Muhammadiyah yangg sejak awal meneguhkan bahwa Islam sebagai kepercayaan kemajuan dan peradaban. KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, sejak awal menekankan para muridnya bisa menjadi sosok ustad yangg berkemajuan dan tidak capek berjuang.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta Dr. Farid Setiawan, M.Pd.I. dalam Pengajian Ramadan 1444 H pada Sabtu (1/4) di Amphitarium Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Pada sesi pertama berjudul “Pendidikan Islam Berkemajuan di D.I. Yogyakarta tentang Lokal dan Global” Farid menjelaskan bahwa pendidikan yangg berkemajuan dimaknai sebagai pendidikan yangg adaptif terhadap segala perubahan dan melakukan perubahan secara esensial tanpa kudu menanggalkan identitas dirinya.

“Sehingga, di kehidupan saat ini, pendidikan Muhammadiyah bisa datang dan tampil menjadi jawaban persoalan bagi anak – anak di generasi milenial,” jelas Farid.
Muhammadiyah dengan pendidikan sebagai trademark-nya menekankan modernisasi sebagai bagian dari corak kemajuan aktivitas Muhammadiyah. Oleh lantaran itu, di era sekarang pendidikan kudu bisa melakukan perubahan secara esensial dalam menyikapi dinamika yangg ada.
Hal ini sejalan dengan tujuan Lulusan Pendidikan Muhammadiyah D.I. Yogyakarta, ialah menghasilkan lulusan berkemajuan yangg beradab mulia, berkarakter utuh, kreatif, inovatif, imajinatif, unggul, kompetitif, berwawasan budaya daerah, cinta lingkungan dan perdamaian, bisa menjawab kebutuhan era serta melakukan transformasi, dan berkekuatan saing global.
“Maka dari itu, semangat untuk melakukan digitalisasi pendidikan, membangun kohesivitas, kerjasama, dan kolektivitas menjadi kunci bagi perwujudan pendidikan berkemajuan di era sekarang,” tandas Farid.
Senada dengan Farid, Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Dr. Adib Sofia, S.S., M.Hum. yangg juga narasumber dalam materi pertama menekankan pendidikan Muhammadiyah kudu memperkuat sekaligus berlari. Bertahan dari tradisi skriptualis, artinya, tidak boleh lepas dari Al Qur’an dan Hadis dalam kehidupan, namun diiringi dengan pemaknaan yangg terus menerus direaktualisasikan.
Kemudian, transformasi kreasi pendidikan juga diperlukan, lantaran jika desainnya tetap sama saja tanpa memperhatikan bahwa generasi sekarang sudah berubah, maka bakal tertinggal.
“Yang krusial saat ini adalah menjadikan orang-orang yangg ikut di dalam aktivitas pendidikan sebagai mitra yangg mempunyai kekuatan dan daya, yangg membikin langkah mengajarkannya kudu berubah,” ujar Adib Sofia.
Tak lupa juga, pelaku pendidikan Muhammadiyah juga kudu memperkuat di kerumunan virtual. Tentu, mengingat saat ini bumi maya beririsan dengan bumi nyata sehingga Muhammadiyah kudu masuk sampai ke relung-relung kerumunan virtual itu untuk bisa menjemput dakwah paling riil.
Maka, Adib Sofia menyampaikan 3 N, terdiri dari Nawaitu (tujuan, kehendak, dan komitmen), Nalar (akal sehat untuk memandang antara identitas dan realitas serta modal ijtihad), dan Nilai (kesadaran bakal identitas diri, kehambaan, keislaman, keindonesiaan, dan sebagainya). Ia menilai 3 N tersebut kudu menjadi identitas dari pendidikan Muhammadiyah itu sendiri.
“Lokalitas memperkuat nilai, hidupkan kembali sebagai bagian dari pendidikan,” pungkasnya. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
English (US) ·
Indonesian (ID) ·