Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dinamika pasti terjadi. Tidak mungkin sebuah rumah tangga melangkah monoton tanpa ramuan dan warna yangg menghiasinya. Namun, jika terjadi nusyuz, ialah ketidakpatuhan alias pelanggaran terhadap tanggungjawab dalam rumah tangga, diperlukan komunikasi yangg bijak untuk menyelesaikannya. Tafahum (saling memahami), tarahum (saling menyayangi), dan takamul (saling menyempurnakan) diperlukan untuk menjaga keutuhan dan keselarasan rumah tangga.
Namun, ada faktor-faktor yangg dapat menyebabkan ketidakharmonisan, seperti istri yangg kelelahan menjalankan tugas rumah tangga, kehadiran orang ketiga (perselingkuhan), alias gangguan dari family besar, seperti hasutan kerabat yangg mengadu domba. Faktor-faktor ini sering kali memicu pembangkangan (nusyuz) dalam perspektif Islam.
Bagaimana norma nusyuz? Apa itu nusyuz? Bagaimana pandangan ustadz ajaran terhadap masalah ini? Untuk memahami secara mendalam, kita perlu merujuk pada kitab-kitab turats dengan pembahasan sebagai berikut:
Definisi Nusyuz dan Tanda-Tanda Pembangkangan
Dalam kitab Al-Yaqut An-Nafis, Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri menjelaskan:
- Secara bahasa (lughatan): al-irtifā‘, yangg berfaedah “meninggi” alias “meninggikan diri”.
- Secara istilah syar‘i (syara‘an): keluarnya seorang istri dari ketaatan kepada suami dengan langkah “meninggikan diri” (menolak) untuk memenuhi hak-hak yangg wajib dipenuhi, yaitu:
- Taat kepada suami dalam perihal yangg ma‘ruf (bukan maksiat).
- Bergaul alias berinteraksi dengan baik.
- Menyerahkan diri untuk hubungan suami-istri ketika tidak ada uzur syar‘i.
- Tinggal di rumah yangg disediakan suami dan tidak pergi tanpa izin alias argumen yangg dibenarkan secara syariat.
Dalam literatur lain, ialah kitab Al-Muqni‘ karya Imam Ibnu Qudamah, dinyatakan:
Definisi nusyuz: Maksiat istri terhadap tanggungjawab kepada suami. Tanda-tandanya meliputi menolak rayuan suami untuk berasosiasi alias menurutinya dengan kebencian dan keterpaksaan.
Hukum nusyuz: Haram bagi istri melakukan nusyuz. Jika suami mempunyai lebih dari satu istri, nusyuz menyebabkan gugurnya giliran istri tersebut, serta nafkah dan hak-hak yangg menyertainya.
(Al-Yaqut An-Nafis, Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, hlm. 227, Darul Minhaj)
Dalam literatur ajaran Hanbali, seperti kitab Akhsar Mukhtasarat dan Umdatu Thalib, pembahasan nusyuz tidak diuraikan secara rinci, melainkan secara ringkas. Matannya berbunyi:
“Wal-nusyuz haram, wa huwa ma‘siyatuha iyyahu fima yajibu ‘alaiha.”
Artinya, nusyuz adalah pembangkangan istri terhadap tanggungjawab syar‘i kepada suami, dan hukumnya haram.
Tata Cara Menangani Pasangan yangg Melakukan Nusyuz
Ketika salah satu pasangan, baik suami maupun istri, melakukan nusyuz, ada beberapa tahapan yangg perlu dilakukan untuk mendidik dan menegur guna menyadarkan pentingnya kehadiran pasangan. Langkah ini juga bermaksud mengembalikan suasana sakinah dalam rumah tangga. Berikut tahapan penanganan nusyuz:
Imam Mansur bin Yunus Al-Buhuti, ustadz ajaran Hanbali, menjelaskan:
Jika muncul tanda-tanda nusyuz, langkah pertama adalah suami menasihati istri. Jika istri tetap menolak, suami boleh menjauhinya di tempat tidur dan tidak berbincang dengannya hingga tiga hari. Jika istri tetap keras kepala, suami boleh memukul dengan pukulan ringan. Suami juga diperbolehkan memukul secara ringan jika istri meninggalkan tanggungjawab kepada Allah.
(Umdatu Thalib, Imam Mansur bin Yunus Al-Buhuti, hlm. 199)
Dalam kitab Umdatul Fiqh karya Imam Ibnu Qudamah, ditambahkan:
Fasal (Nusyuz):
- Jika seorang istri cemas suaminya melakukan nusyuz alias menolaknya, dia boleh meminta tenteram dengan menggugurkan sebagian haknya, sebagaimana yangg dilakukan Sayyidah Saudah r.a. ketika cemas Rasulullah saw. bakal menceraikannya.
- Jika suami cemas istrinya melakukan nusyuz, hendaklah dia menasihatinya.
- Jika tanda-tanda pembangkangan tampak, suami memisahkan diri dari tempat tidur istri.
- Jika belum sukses mendamaikan, suami boleh memukul dengan pukulan yangg tidak menyakitkan.
- Jika situasi semakin runyam, pengadil dapat mengutus seorang dari family suami dan seorang dari family istri yangg terpercaya untuk mendamaikan. Keputusan mereka mengikat.
(Umdatul Fiqh, Ibnu Qudamah, hlm. 96-97, Pustaka Al-Wadhi, Indonesia)
Dalam literatur lain, Imam Ahmad Shawy, penulis kitab Bulghatus Salik, memaparkan tata langkah penanganan nusyuz yangg serupa dengan ajaran lain, namun lebih merinci makna hijr dan mubarrih:
- Hijr: Suami mengasingkan istri di tempat tidur, dengan pemisah maksimal satu bulan. Pengasingan tidak boleh mencapai empat bulan.
- Al-mubarrih: Pukulan yangg mematahkan tulang alias melukai daging. Jika suami memukul hingga melukai, dia dihukumi bersalah (jani), dan istri berkuasa meminta pisah serta menuntut qishash.
Kebolehan memukul hanya bertindak jika diperkirakan bermanfaat. Jika tidak, memukul dilarang. Ini berbeda dengan nasihat dan hijr, lantaran memukul mempunyai akibat lebih keras.
(Hasyiatus Shawy Ala Syarhis Shaghir: Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik, Jilid 2, hlm. 522)
Hak-Hak yangg Gugur
Para ustadz berbeda pendapat mengenai hak-hak yangg gugur ketika istri melakukan nusyuz. Hal ini perlu menjadi bahan refleksi agar istri menghindari nusyuz.
Habib Salim bin Said Bukayyir Bagistan, pentahqiq kitab Al-Yaqut An-Nafis, memberikan catatan:
Hak-hak yangg gugur meliputi pakaian, tempat tinggal, peralatan kebersihan, dan sejenisnya. Jika istri kembali taat, hak-hak seperti busana untuk periode nusyuz tidak kembali. Istri kudu menyediakan sendiri kebutuhan tersebut hingga periode berikutnya. Suami bakal memberikan busana pada periode berikutnya. Nafkah harian juga tidak wajib diberikan suami selain setelah hubungan suami-istri terjadi. Jika tidak ada hubungan, nafkah dan kewenangan tempat tinggal kembali menjadi kewenangan istri.
(Al-Yaqut An-Nafis, Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, hlm. 227-228, Darul Minhaj)
Dalam kitab Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik, Imam Ahmad Shawy menjelaskan:
Para ustadz berbeda pendapat mengenai tanggungjawab nafkah bagi istri yangg nusyuz. Pendapat yangg dianggap shahih menyatakan bahwa jika suami bisa mengendalikan istri (meski melalui putusan hakim) tetapi tidak melakukannya, tanggungjawab nafkah tetap ada. Namun, jika istri tidak terkendali lantaran fanatisme keluarganya alias norma pengadil tidak bertindak baginya, maka tanggungjawab nafkah gugur.
Perbaikan yangg Dilakukan Berdasarkan EYD dan PUEBI:
- Penulisan Istilah Asing dan Transliterasi: Istilah Arab seperti nusyuz, tafahum, tarahum, takamul, ma‘ruf, syar‘i, dan lainnya ditulis dengan huruf miring sesuai PUEBI untuk istilah asing. Transliterasi disesuaikan dengan pedoman transliterasi bahasa Arab, misalnya syara‘an (bukan شرعاً), lughatan (bukan لُغَةً), dan al-irtifā‘.
- Konsistensi Penulisan Mazhab: Kata madzhab diperbaiki menjadi mazhab sesuai EYD.
- Tanda Baca: Tanda baca seperti titik, koma, dan tanda hubung diperbaiki untuk konsistensi dan kejelasan. Misalnya, tanda titik setelah quote matan Arab ditambahkan.
- Kapitalisasi: Huruf kapital digunakan untuk nama kitab (Al-Yaqut An-Nafis, Al-Muqni‘, dll.) dan nama tokoh (Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, Imam Ibnu Qudamah, dll.) sesuai patokan PUEBI.
- Klarifikasi Istilah: Istilah seperti hijr dan mubarrih diberi penjelasan singkat untuk memperjelas makna.
- Struktur Kalimat: Kalimat yangg terlalu panjang alias ambigu disederhanakan tanpa mengubah makna, misalnya “ta’dib ini juga untuk mencoba menghadirkan kembali rasa sakinah” diperbaiki menjadi “langkah ini juga bermaksud mengembalikan suasana sakinah”.
- Konsistensi Ejaan: Kata seperti “menasehati” diperbaiki menjadi “menasihati” sesuai KBBI.
Editor: Assalimi
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·