Penulis : Yana Syafriana Hijri, S. IP., M. IP. (Peneliti RePORT Institute & Direktur Eksekutif Bale Renaissance)Sebagaimana sebelumnya, sepak bola tanah air di era Soekarno tetap berkelindan erat dengan situasi politik nasional. Olah raga mengalami masa surut di bawah kolonialisme Jepang. Saat itu, PSSI dibekukan, sedangkan sepak bola dimasukkan dalam suatu badan olah raga berjulukan Tai Iku Kai. PSSI diaktifkan kembali setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada tahun 1946 melalui Kongres Pengurus Olah Raga Republik Indonesia (PORI).
Setelah merdeka, sepak bola turut ambil bagian dalam proses nation building di masa-masa awal negara Indonesia. Kongres XII PSSI yangg berjudul “reincarnatie” pada 26-28 Agustus 1950 di Semarang memutuskan untuk mengganti singkatan lama dengan nama baru, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Terpilih R. Maladi sebagai Ketua. Mantan kiper legendaris itu dipilih juga sebagai upaya menciptakan poros hubungan Jakarta-Beijing pasca Perang Dunia II. Suatu upaya diplomatik yangg kemudian lazim disebut “One China Policy.“
Presiden Soekarno adalah salah satu tokoh yangg getol membangun nasionalisme melalui sepak bola. Dia diilhami oleh pengalaman pahitnya sendiri. Saat tetap anak-anak, Soekarno mempunyai kesukaan dengan sepak bola. Dia pernah mendaftar ke salah satu tim tetapi ditolak lantaran inlander. Dia pun tidak mempunyai banyak kesempatan bermain bola lantaran anak-anak Belanda tidak ada yangg sudi bermain dengannya. Pengalaman demikian membentuk langkah pandangnya, bahwa sepak bola tidak pernah lepas dari pengaruh situasi sosial-politik.
Pemikiran Soekarno berkesesuaian dengan tiga Ketua Umum PSSI di eranya sebagai Presiden Indonesia, ialah R. Maladi, Abdulwahab Djojohadikusumo dan Maulah Saelan. Bagi mereka, olah raga tidak sekedar untuk olah raga. Di tangan mereka PSSI difungsikan sebagai perangkat negara, untuk mengkulminasi semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dan menempa atlet-atlet bangsa untuk berprestasi di kancah internasional.
PSSI kudu menjadi sarana kampanye dalam menunjukkan eksistensi dan kebesaran suatu bangsa. Dengan begitu, negara-negara imperialis tidak lagi memandang rendah bangsa Indonesia.
Soekarno menegaskan pemikirannya melalui Dekrit Presiden 17 Agustus 1959. Dekrit tersebut berisi sebuah manifesto politik yangg mewajibkan perjuangan bangsa di seluruh aspek kehidupan diselaraskan dengan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional (Manipol Usdek).
Dekrit tersebut menempatkan sepak bola dan semua komponen lainnya melangkah beriringan dengan langkah dan ranahnya masing-masing, dan mempunyai titik jumpa dalam rangka mewujudkan revolusi nasional. Sehingga pada Kongres PSSI tahun 1964 diputuskan untuk menyatukan diri dengan dasar perjuangan tersebut.
Ganefo, Olimpiade Kiri Indonesia.
Pemikiran tersebut membawa Soekarno mencetuskan Games of New Emerging Forces (Ganefo). Ganefo dilatar belakangi oleh pembekuan keanggotaan Indonesia oleh International Olympic Committee (IOC) pada 7 Februari 1963. Sanksi ini merupakan buntut dari penolakan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games (AG) tahun 1962, terhadap keikutsertaan Israel dan Taiwan. Indonesia menolak atas pertimbangan beberapa hal.
Pertama, Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara. Kedua, Taiwan menyumbangkan persenjataan bagi pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Tiongkok juga secara langsung meminta Indonesia menolak keikutsertaan Taiwan. Dan penolakan ini sebagai corak terimakasih terhadap Tiongkok yangg telah membantu Indonesia dalam perebutan wilayah Irian Barat.
Serta ketiga, penolakan terhadap Israel untuk menunjukkan solidaritas bagi perjuangan negara-negara Arab, utamanya Palestina. Akibat sikap ini IOC menolak hasil AG dengan dalih olah raga semestinya dipisahkan dengan kepentingan politik Indonesia. Guru Dutt Sondhi, Wakil Presiden Asian Games Federation (AGF), apalagi menuntut persoalan ini di meja sidang IOC di Lausanne, Swiss. Maladi kemudian diutus menghadiri persidangan. Di situ dia mengecam bahwa IOC “menutupi maksud jahat dari kaum imperialis untuk mendominasi dan memonopoli bumi sport internasional.“
Maladi kemudian membandingkan sikap Indonesia dengan penolakan Belgia terhadap keikutsertaan Jerman di Olimpiade Antwrapen 1920, Republik Demokratik Jerman yangg tidak mendapatkan visa dalam Kongres FIFA di London pada tahun 1961, dan skorsing IOC terhadap Tiongkok dalam Olimpiade Helsinki 1952. Semua kasus tersebut berasal dari penolakan beberapa negara, namun IOC tidak memberikan hukuman yangg serupa dengan Indonesia.
Maladi melanjutkan, argumen IOC bahwa olahraga adalah tidak ada sangkut pautnya dengan politik merupakan sebuah kebohongan. Sidang itu kemudian memutuskan membekukan keanggotaan, dan larangan bagi Indonesia untuk berperan-serta dalam kejuaraan IOC, dengan pemisah waktu yangg tidak ditentukan. Menyikapi keputusan tersebut, Soekarno justru memerintahkan Maladi, yangg saat itu telah menjabat Menteri Olah Raga, untuk keluar dari keanggotaan IOC.
Dia juga meminta untuk segera menyiapkan Ganefo dan mengundang partisipasi negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara sosialis lainnya. Soekarno lantas mengkritik Statuta IOC yangg menempatkan negara hanya sebagai penyedia dan penyuplai pendanaan kejuaraan. Dia kemudian menegaskan bahwa Ganefo kudu diselenggarakan berasas prinsip Konferensi Asia-Afria (KAA) ialah anti Neokolonialisme, Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim).
Sebab itu Ganefo juga tidak boleh lepas dari isu-isu geopolitik yangg saat itu terjadi di Kalimantan Utara, Vietnam, Kamboja, Laos, Tiongkok, Korea, Angola, serta. Olimpiade kiri tersebut kemudian sukses diselenggarakan secara baik di Jakarta pada tahun 1964 dengan diikuti 51 negara. Saat kejuaraan berlangsung, terjadi beberapa peristiwa, yangg menunjukkan semangat Ganefo sukses tersalurkan.
Atau justru sebaliknya, membuktikan kekhawatiran bahwa negara-negara imperialis bakal berupaya menghancurkan soliditas Ganefo; Pasukan gerilya Front Pembebasan Nasional Vietnam sukses menyita satu pesawat Amerika Serikat (AS) yangg berisi dua pilot dan empat tentara; Kawasan Haushabi, Yaman, diserang oleh pasukan jet tempur Inggris; Oman secara terbuka menyatakan kemauan merdeka dari kolonialisme Inggris; AS menakut-nakuti menarik biaya pinjaman untuk Mesir, tetapi Presiden Gamal Abdul Nasser menyatakan setia mendukung upaya Indonesia; dan Presiden Argentina Arturi Illis membatalkan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan minyak AS, Italia dan Inggris.
Kelahiran Ganefo sebetulnya mempunyai persamaan situasi dengan penolakan kehadiran Timnas Israel ke Indonesia dalam perhelatan Piala Dunia U-20 tahun 2023. nan membedakannya adalah langkah yangg dilakukan pemerintah dalam menangani kasus penolakan Timnas Israel. Buntut dari penolakan Timnas Israel pada Piala Dunia U-20 2023 direspon FIFA dengan membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah dan pembekuan support pendanaan dari program FIFA Forward.
Ganefo justru memberikan bukti sahih gimana pemerintah dan PSSI sukses menyelamatkan martabat bangsa dalam ekosistem olah raga internasional. Ganefo juga sukses menggalang solidaritas kekuatan negara-negara yangg baru merdeka. Ganefo bukan tanpa abnormal lantaran hanya sukses diselenggarakan selama tiga kali. Olimpiade kiri yangg dicetuskan Soekarno ini berhujung seiring dengan gejolak sosial-politik dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. (*)
Penulis : Yana Syafriana Hijri, S. IP., M. IP. (Peneliti RePORT Institute & Direktur Eksekutif Bale Renaissance)
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·