Jakarta – Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Berita terbaru tentang kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual kian beredar luas. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) Pimpinan Pusat Aisyiyah setidaknya mengkonfirmasi peristiwa tersebut.
Indeks pencarian buletin kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap wanita dan anak selalu trending setidaknya dalam beberapa pekan ini.
Kabar anak yangg berurusan dengan norma baik sebagai pelaku alias korban saling bersautan di media sosial. Akibatnya sentimen negatif terus mengemuka terhadap keadilan norma dan upaya serius pemerintah serta semua pihak terhadap meningkatnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak dipertanyakan.
Sebab itulah, Lazismu Pusat melalui Divisi Research and Development mengupasnya dalam Ziska Talk berjudul “Zakat untuk Perlindungan Anak dari Kekerasan & Diskriminasi” pada Senin (30/9/24).
Lazismu mau mengangkatnya dalam perspektif yangg relevan agar kesadaran dan ikhtiar memitigasinya bisa dikolaborasikan dan disingergikan dengan semua pihak, termasuk lembaga amil zakat.
Ninik Annisa, Anggota Badan Pengurus Pusat Lazismu Pusat dalam pengantarnya menyebut bahwa kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) PP Aisyiyah pada tahun 2024 telah terjadi kasus sebanyak 10.529 berupa kekerasan terhadap anak dan jumlah korbannya mencapai 11.000.
“Jumlah ini sebetulnya melipatgandakan dari 6 tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2016, terdapat kasus di mana korban laki-laki sebanyak 1.478 dan untuk korban wanita sebanyak 3.757,” katanya.
Ninik Annisa menjelaskan, pada tahun 2024 jumlah korban laki-laki sebanyak 3.376 dan korban wanita 8.329. “Hal itu tentu saja info yangg ada tidak sebenarnya utuh lantaran tetap banyak kasus-kasus yangg tidak dilaporkan. Maka kami terutama dari Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) PP Aisyiyah juga menangani kasus serupa, dimana kekerasan terhadap anak terjadi,” imbuhnya.
Menanggapi perihal tersebut, Asep Salahuddin Anggota Divisi Fatwa & Pengembangan Tuntunan MTT PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa tren peningkatan kasus tersebut ataupun faktor-faktor yangg melatarbelakanginya perlu dilihat secara komprehensif melalui fikih perlindungan anak.
Hal ini menjadi penting, karena bisa saja dalam pemahaman fikih kebanyakan orang melihatnya secara parsial. Sehingga sistematika dan langkah pandangnya terhadap perlindungan anak perlu diteropong dari produk Muhammadiyah berupa fikih perlindungan anak.
“Sama dengan fikih-fikih sebelumnya yangg menjadi bagian dari produk pemikiran norma Islam di Muhammadiyah, bahwa dalam merespon suatu persoalan, perlu ada rumusan-rumusan unik (spesifik) yangg didasarkan pada ajaran-ajaran Islam, khususnya Fikih,” imbuhnya.
Menurut Asep, kepercayaan Islam mempunyai konsep-konsep dalam merespons “suatu masalah”, maka perlu didiskripsikan lebih jelas konsep-konsep dari ajaran-ajaran Islam tersebut.
“Terkait fikih perlindungan anak sebagaimana telah disusun term of reference-nya oleh Lazismu dalam pokok pembahasan ini, posisi saya sebagai MTT PP Muhammadiyah diamanahi untuk menjawab dan memaparkan tentang; pertama, sosialisasi nilai-nilai dasar Fikih Perlindungan Anak berasas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Kedua, strategi dan upaya yangg dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk mengatasi kekerasan dan diskriminasi pada anak,” paparnya.
Rumusan itu, tambah Asep, didasarkan pada konsep yangg berkesinambungan. Fikih Perlindungan Anak dari langkah pandang Islam berbincang baik tentang tauhid, nilai etika dan norma yangg mengenai dengan perlindungan anak.
“Fikih Perlindungan Anak digambarkan dalam tiga aspek secara berkesinambungan, antara lain; nilai-nilai dasar (_al-qiyam al-asasiyah_), prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah) dan pedoman praktis (_al-ahkam al-far’iyah_),” tuturnya.
Tiga aspek yangg ada kudu diturunkan lagi, yangg pada akhirnya kelak seperti diharapkan oleh Lazismu, bahwa ada pedoman praktisnya yangg mungkin menjadi apa yangg kita cari bersama, ialah kiat apa dan strategi apa yangg dilakukan oleh MTT mengenai persoalan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak.
Asep mengatakan bahwa prinsip umum yangg mendasari fikih berasal dari tauhid, kemuliaan manusia, dan nilai-nilainya kudu dihayati dengan seksama.
“Apa yangg bakal kita lakukan dan ketahui untuk meraih keadilan dan adanya kemuliaan sebagai manusia seperti kewenangan hidup dan tumbuh kembang, ini yangg kudu kita pahami sebagai pedoman praktis tentang anak, kewenangan hidup dan tumbuh kembangnya,” ujarnya.
Seiiring dengan itu, nantinya bakal muncul persoalan-persoalan lain seperti aborsi, kematian bayi dan balita, stunting, dan lain-lain. Bagaimana menyikapinya, maka pedoman praktis kudu dipahami yangg diturunkan dari nilai dasar dan prinsip umum.
Lantas apa prinsip umum yangg berangkaian dengan keadilan? Asep menyebut bahwa prinsip itu berangkaian dengan hubungan kesetaraan yangg sama antara laki-laki dan perempuan, anak dan ibu, anak dan ayah, dan sebagainya. Dari situ bakal muncul pedomannya berupa kewenangan sipil.
“Hak sipil mengenai identitas anak, pengasuhan anak, dan anak yangg berurusan dengan hukum,” tegasnya.
Dari situ, baru kemudian lanjut Asep, nilai dasar kemaslahatan itu diturunkan dengan prinsip kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan anak. “Dari situ lah pedoman praktisnya, ialah kewenangan perlindungan seperti tentang pernikahan anak, pengangkatan anak, perdagangan anak, dan kekerasan seksual yangg sekarang beritanya viral di media sosial bisa ditangani,” jelasnya.
Asep menyebut, pedoman praktis perlindungan anak dibahas dalam kerangka hak-hak anak dalam empat ranah utama, antara lain meliputi Hak Hidup dan Tumbuh Kembang, Hak Sipil, Hak Keamanan (Perlindungan), dan Hak Pendidikan.
Baginya, pemuliaan anak dalam Islam itu dimulai sejak dalam usia anak apalagi sejak dalam kandungan. Islam melarang melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Larangan ini menunjukkan sungguh mulianya seorang anak, dia tidak bisa dinilai dengan nominal kekayaan sebesar apapun.
“Karena dalam Islam, kewenangan tumbuh kembang berupa aspek psikis (rohaniah) dan aspek bentuk (jasmaniah) telah dikupas dalam Munas Tarjih ke-30 pada tahun 2018 di Makassar yangg secara normatif dibukukan dalam buletin resmi Muhammadiyah dan dapat diunduh secara online,” tandas Anggota Divisi Fatwa & Pengembangan Tuntunan MTT PP Muhammadiyah itu.
English (US) ·
Indonesian (ID) ·