Oleh: Ace Somantri
KLIKMU.CO
Duaaar… Dunia pendidikan dikagetkan dengan tertangkapnya seorang rektor PTN di Provinsi Bali nan terjerat korupsi miliaran rupiah. Pertanyaannya, sebesar itukah anggaran nan berputar di perguruan tinggi negeri? Atau ada jalan lain menuju Roma untuk melakukan korupsi.
Selalu ada kata-kata dan kalimat dari para pengamat pendidikan ini nan terakhir jangan terulang kembali. Kalimat itu belum kering terucap manakala kasus Rektor PTN di Lampung. Sekarang terjaring kembali Rektor PTN di Bali, apa ini masalahnya? Jangan-jangan ini nan tertangkap sementara nan tidak diam-diam saja.
Semoga ini menjadi warning keras bagi para pemimpin perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri nan bergelimang anggaran dari negara. Puluhan hingga ratusan miliar sangat memungkinkan berpotensi semua PTN melakukan perihal sama lantaran kesempatan dan kesempatannya sama, berambisi tidak terjadi.
Pendidikan tinggi pengawal moralitas dalam kehidupan bumi modern kekinian, nyaris dipastikan masyarakat Indonesia saat ini tidak ada argumen untuk tidak berilmu tinggi. Sejak kebijakan afirmasi dan bidik misi menjadi kebijakan pemerataan pendidikan tinggi di Indonesia, saat ini dikenal dengan KIP perguruan tinggi. Namun, sangat disayangkan beberapa peristiwa menyayat dan mengiris hati para insan pendidikan di Indonesia.
Dengan peristiwa seorang rektor korupsi nan menohok mata bugil penduduk Indonesia, gelar akademik paling tinggi dengan julukan “profesor” terdengar sangat berkarisma ketika mendengarnya. Namun seketika lumpuh layu tak berkekuatan ditelan bulat-bulat dengan gelar akademik setinggi langit hanya sebuah simbol nan meruntuhkan martabat pembimbing besar menjadi lenyap tak berharga.
Memang tidak ada hubungan antara korupsi dan pembimbing besar, namun tidak dapat diterima logika sehat manakala gelar kedudukan akademik tertinggi hanya menjadi simbol kekuatan untuk diperjualbelikan berkarakter transaksional oleh oknum nan tidak bermoral. Di masyarakat bawah, sosok pembimbing besar bak dewa nan menjadi maha dari maha pembimbing dalam bumi pendidikan.
Saat ini apa nan terjadi depan mata adalah corak jawaban dan bukti dari perjalanan sistem pendidikan Indonesia nan sering diungkapan oleh sebagian kecil pengamat bahwa sistem pendidikan kita “membodohkan”. Wajar saja saat ini hingga hari besok nan bakal datang sangat mungkin pendidikan sebatas simbol sosial, bukan pemandu moralitas hidup. Termasuk kedudukan akademik tertinggi menjadi simbol status sosial bumi pendidikan. Hal itu kadang sering muncul seorang guru besar merasa sudah paling mahir dan master dibidangnya.
Wajar saja mereka merasa master lantaran kum nomor angsuran nan dikumpulkan berasas akumulasi dari pengkhidmatan pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat cukup banyak. Portofolionya lebih difokuskan pada hasil berpikir dan berkarya dalam ruang-ruang ilmiah. Dalil-dalil nan digunakan sangat tamat dan faham dapat dikuasai, namun aplikasinya belum tentu relevan setiap saat. Karena faktanya sering terjadi manakala mahasiswa dan pengajar ketika mengaplikasikan teori dikelas jauh berbeda dalam realitas tindakan lapangan. Hal itu lantaran kehidupan manusia sangat bergerak sehingga kajian pengetahuan juga kudu bergerak mengikuti tuntutan kebutuhan manusia.
Banyak cerita dan pengalaman dari sahabat, rekan, dan masyarakat pada umumnya. Bahwa hasil dari ruang kuliah di kampus tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Dan tidak sedikit banyak lulusan perguruan tinggi bekerja, berwiraswata, alias upaya tidak sesuai dengan skill nan dikuasai dan piagam nan dimiliki.
Jangan-jangan ini juga bakal menjadi catatan liar, bahwa lulusan perguruan tinggi banyak tidak berfaedah diakibatkan gara-gara rektor dan pejabat lain dikampus sibuk mengumpulkan pundi-pundi dalam berangkasnya. Luar biasa pendidikan tinggi Indonesia, belum juga menunjukkan prestasi malah bikin orang antipati.
Kembali pada persoalan rektor korupsi. Selain menenggelamkan reputasi prestise akademisi mulia juga membikin hancurnya keteladanan di lingkungan bumi pendidikan masa depan lantaran trust publik lambat laun bakal hilang.
Bagaimanapun, pendidikan tinggi kawah candradimuka pembangun peradaban. Ribuan hasil penelitian, puluhan ribu jurnal tersebar dalam dan luar negeri hingga terindeks scopus. Wacana keilmuan terus dipacu, skill-skill digembleng dengan beragam cara, serta treatment dan model pembelajaran dikelas pun tidak ketinggalan diperbaharui. Namun, upaya tersebut seolah tidak guna untuk pembaharuan dalam bumi pendidikan tinggi khususnya. Gelar akademik terendah saat ini sudah terus meningkat menuju tingkat strata satu alias sarjana.
Lagi-lagi bangsa ini tidak siap, ketika lulusan terus meningkat, sementara keterserapan tidak diimbangi. Akhirnya terjadi pengangguran terdidik. Negara buru-buru ambil kebijakan setelah banyak pengangguran terdidik meledak, justru kebijakannya juga terkesan emosional, lantaran reasoning akademik condong instan.
Pendidikan itu bukan membikin kue selesai dengan singkat. Pendidikan itu tidak mendadak tidak seperti tahu bulat dan pendidikan itu bukan untuk kerja, melainkan untuk menjaga moralitas bangsa. Ketika wajah pendidikan ditampar oleh prilaku elit pendidikan melakukan korupsi, melakukan plagiasi dan tindakan lain nan membikin pilar utama bangsa ini keropos dan berhujung ambruk tanda disadari.
Jauh berambisi untuk maju sejajar dengan bangsa dan negara lain nan lebih dulu maju, nan terjadi negara-negara mini nan lebih muda kemerdekaannya menyalip lebih sigap kemajuan indeks pertumbuhan manusianya lantaran sistem pendidikan sebagai pilar utama menjadi perhatian perioritas dan khusus. Sehingga segala perihal ihwal nan mendukung dan menunjang percepatan pendidikan di suport all out oleh pemerintahannya.
Bangsa dan negara ini terlena dengan janji manis elit negara, katanya dan katanya tanpa bukti. Apalagi selama periode kepemimpinan Presiden Jokowi korupsi makin mengganas hingga sampai ke tubuh bumi pendidikan. Rektor-rektor PTN nyaris didominasi titipan pemerintah dan elit-elit bangsa. Sangat mungkin ada udang di kembali batu dan bermaksud nan tidak disadari oleh akademisi, ahli honoris causa condong menjadi perangkat transaksi politik. Hati nurani mahasiswa dikebiri, sekalipun bersuara seolah tak ada guna dianggap perihal biasa bukan sesuatu teguran dan saran apalagi peringatan. Terlebih mahasiswa saat ini dininabobokan oleh program magang di kantor-kantor kementrian.
Kampus-kampus sunyi dari hingar bingar demonstrasi untuk social control. Sekalipun ada riak-riak langsung mendapatkan intimidasi psikologis dan ancaman tidak langsung ini dan itu agar mahasiswa tak bersuara seribu bahasa, lantaran takut danasiwa dicabut dan perihal lain corak lain nan membungkam. Dosen-dosen nan mempunyai kepakaran dijadikan birokrat pemerintahan, baik itu jadi tenaga mahir hingga wakil dan menteri sekaligus. Tadinya berambisi akademisi bisa menjadi rule model pejabat tidak korup, justru ikut-ikutan terbawa arus budaya birokrat dan pejabat korup.
Rektor juga manusia, mempunyai hawa nafsu dan syahwat dalam jiwa dan raganya. Orientasi berkhidmat tidak diazam dari awal apalagi niat, namun kesempatan dan kesempatan selalu terlihat di depan mata setiap saat, lama-lama akhirnya tergoda juga. Akhirnya banyak pejabat di lingkungan pendidikan berlomba-lomba menjadi pembimbing dan pengajar tajir, selain menunjukkan merasa lebih dan seolah pamer kekayaan rupanya tidak disadari antarsejawat insan akademis terjadi persaingan kedudukan demi sebuah tunjangan.
Semoga budaya tersebut segera berakhir. Kembalikan keadilan dan keadaban bumi pendidikan. Berikan ruang-ruang saran dan kritik konstruktif untuk membangun keseimbangan dan budaya ta’awun dan tawashubilhaq. Wallahu’alam. (*)