Moderasi Itu Lebih dari Sekadar Toleransi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Dalam konteks Indonesia tentang keberagaman memang sudah tidak bisa dielakkan lagi. Di satu sisi, dengan karakter plural berupa bahasa, budaya, suku apalagi agama, tentunya menjadikan Indonesia sebagai negara yangg mempunyai karakter dan style tersendiri dibandingkan negara lain. Namun sisi yangg lain, dengan keberagaman yangg ada, tidak menutup kemungkinan bakal menjadi aspek utama pecahnya suatu negara.

Tentunya, ini bakal terjadi jika dalam kultur dan dinamika kehidupan penduduk negara tidak ada harmoni dan rasa kasih sayang di antara setiap penduduk negara. Oleh lantaran itu, krusial dalam menumbuhkan kedua sikap ini semata untuk tujuan mempertahankan dan merawat kerukunan serta menjaga stabilitas negara.

Menumbuhkan semangat moderasi berakidah sudah lama menjadi proyek utama Menteri Agama Indonesia. Moderasi berakidah diyakini sebagai solusi terbaik dalam mengantisipasi beragam potensi bentrok di tengah dinamika kehidupan bernegara. Hampir di setiap kesempatan, Menteri Agama Indonesia sekarang, Yaqut Cholil Qoumas, menyampaikan bakal pentingnya moderasi berakidah dalam dinamika kehidupan penduduk bernegara, khususnya di Indonesia.

Jika hendak dirumuskan, moderasi berakidah itu merupakan langkah pandang, sikap, dan praktik berakidah dalam kehidupan bersama, dengan langkah mengejawantahkan prinsip aliran kepercayaan yangg melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berdasarkan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Moderasi Punya Kaitan Erat dengan Toleransi

Namun lebih jauh tentang moderasi, ada satu kitab menarik untuk dibahas yangg mengulas lebih dalam mengenai orientasi moderasi itu sendiri. Sebuah kitab yangg ditulis ahli kajian tafsir Al-Qur’an ternama Indonesia ialah M. Quraish Shihab sebagai hasil kerjasama dengan putrinya Najelaa Shihab, berjudul Hidup Bersama Al-Qur’an 1, Moderasi dan Tujuan Pendidikan Islam (2021).

Buku yangg merupakan kumpulan dari beragam rangkaian upaya pendidikan Islam sejak awal sebagai visi dan misi Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Jakarta, untuk membumikan Al-Qur’an di masyarakat plural.

Sebelum lebih jauh membahas moderasi, krusial diketahui bahwa moderasi mempunyai kaitan erat dengan toleransi. Artinya, dalam upaya mewujudkan keselarasan berbangsa dan beragama, dibutuhkan moderasi berakidah sebagai sikap berakidah yangg tidak berlebihan. Lalu apa kaitannya dengan toleransi? Kaitannya adalah bahwa moderasi berakidah adalah proses sedangkan toleransi adalah hasil dari segala proses. Artinya, toleransi lahir sebagai perwujudan dari sikap moderasi itu sendiri.

Lumrahnya, penyederhanaan yangg paling sering dilakukan dalam perihal ini adalah menyamakan moderasi dengan toleransi. Padahal, makna moderasi lebih jauh dan lebih dalam daripada sekadar menerima (dengan pasif) perbedaan yangg ada. Makna moderasi lebih luas dari makna toleransi yangg secara umum dan sering dikaitkan dengan toleransi antar beragama.

Sama halnya dengan yangg ada dalam kitab ini, penyederhanaan lain yangg juga sering ditemukan adalah membagi Islam (umat Islam) ke golongan yangg berbeda. Padahal tantangan moderasi Islam dan umat Islam muncul setidaknya dua kecenderungan. Tantangan pertama adalah kecenderungan sebagian kalangan untuk bersikap ketat secara ekstrem dalam memahami hukum-hukum agama. Mereka mencoba untuk memaksakan langkah tersebut dalam tamsil keberagaman yangg ada, termasuk dalam Islam itu sendiri. Akibatnya, kekerasan-kekerasan menjadi jalan akhir dari pemaksaan tersebut.

Kecenderungan pertama, sebagian kalangan didorong oleh persepsi bahwa Islam dan umat Islam saat ini berada dalam fase kemunduran dan keterbelakangan di beragam sektor. Kemudian, sebagai upaya untuk mengembalikan pada kejayaan Islam masa lampau (pusat peradaban), mereka beranggapan bahwa tidak ada langkah lain selain kembali kepada tradisi masa lalu. Dalam artian, mereka kemudian mengutip teks-teks esensial (Al-Qur’an dan Hadis) dan karya-karya ustadz klasik (turats) sebagai landasan dan kerangka pemikiran. (Hlm. 2)

Implikasinya, lantaran dipahami hanya secara tekstual dan tidak didasari konteks kesejarahan, maka tak ayal sebagian mereka tampak seperti “generasi yangg lahir terlambat.” Artinya, hidup di tengah masyarakat modern dengan langkah pemikiran yangg sudah tidak lagi relevan, dan selalu menafikan perkembangan dan perubahan era dari pemahaman keberagaman. Akibatnya, Islam juga ikut tervonis sebagai kepercayaan dan organisasi masyarakat yangg eksklusif, menutup diri dari keberagaman.

Tantangan kedua yangg terjadi di dunia, kecenderungan ekstrem dengan bersikap lenggang dalam beragama, tunduk pada perilaku, serta pemikiran yangg mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya.

Semangat untuk mengedepankan Islam sebagai kepercayaan yangg selalu adaptif terhadap perkembangan ruang dan waktu, telah mendorong sejumlah kalangan sudah mengimpor beragam model pemikiran dari budaya dan peradaban asing, yangg didominasi oleh pandangan materialistis semata.

Kedua pilihan di atas jelas tidak menggambarkan prinsip aliran dari Islam. Kedua sikap di atas memperuncing polarisasi, juga jelas bertentangan dengan karakter umat Islam yangg disebutkan Al-Qur’an sebagai ummatan wasathon (QS. Al-Baqarah: 2, 143).

Moderasi Bukan Sekadar Toleransi

Barangkali pembahasan ini yangg paling menarik mengenai pemaknaan moderasi yangg lebih dalam. Bahwa moderasi yangg bukan sekadar tentang toleransi. Setidaknya ada tiga poin yangg dibeberkan dalam kitab Hidup Bersama Al-Qur’an 1, Moderasi dan Tujuan Pendidikan Islam kolaborasi seorang ayah beserta putrinya, M. Quraish Shihab dan Najelaa Shihab.

Pertama, moderasi dalam akidah. Artinya, iktikad Islam sejalan dengan fitrah kemanusiaan berada di tengah antara mereka yangg tunduk pada khurafat dan mempercayai segala sesuatu meski tanpa dasar, dan mereka yangg mengingkari segala sesuatu yangg berkarakter metafisik. Selain membujuk beragama kepada yangg gaib, Islam juga membujuk logika manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional.

Hal ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an, “Katakanlah (Nabi Muhammad SAW,): Tunjukkanlah bukti kebenaran kamu, jika Anda orang-orang yangg benar,” (QS. Al-Baqarah: 2, 111). Demikian prinsip yangg kudu dipercaya, dalam keagamaan tidak sampai mempertuhankan para pembawa risalah dari Tuhan lantaran mereka adalah manusia biasa yangg diberi wahyu dan tidak menyepelekannya apalagi sampai membunuh urusan Allah.

Kedua, moderasi dalam ibadah. Artinya, Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam corak dan jumlah yangg terbatas. Misalnya saja, dalam kitab tersebut disebutkan salat yangg lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam satu setahun, haji sekali dalam seumur hidup, semuanya itu agar ada sebuah komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Selebihnya, mempersilahkan manusia untuk berkarya dan bekerja, mencari rezeki di permukaan bumi ciptaanNya.

Dalam konteks moderasi dalam ibadah, M. Quraish Shihab mencontohkannya dalam salat Jumat. nan mana, dalam Al-Qur’an sendiri terdapat sebuah ayat di mana Allah tidak menyulitkan hambaNya beragama di sela-sela mencari nafkah (QS. Al-Jumuah: 62, 9-10). Artinya jika datang waktu salat Jumat tinggalkan seluruh aktivitas dagang, dan setelah salat usai, maka lanjutkan aktivitas jual beli tersebut dengan tujuan mendapatkan keberuntungan di bumi dan akhirat. (Hlm. 6)

Ketiga, moderasi dalam akhlak. Dalam perihal ketiga tersebut kitab ini menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan manusia pertama (Adam) dijelaskan bahwa Allah telah menciptakannya dari tanah, kemudian meniupkan dalam tubuhnya roh (QS. Shad: 38, 71-72). Kedua unsur tersebut mempunyai kewenangan yangg kudu diberikan penuh. Karena itu Rasulullah sangat mengecam keras sahabat beliau yangg dianggapnya mengabaikan kewenangan family dan masyarakat, juga tubuh.

Rasulullah pernah bersabda, “Puasa dan berbukalah, bangun malam (untuk salat) dan tidurlah, sesungguhnya tubuhmu mempunyai kewenangan yangg kudu dipenuhi, matamu punya kewenangan untuk dipejamkan, istrimu juga punya kewenangan yangg kudu dipenuhi,” (HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash). (Hlm. 7)

Melalui sabda di atas inilah, Moderasi Islam yangg lebih dalam pada hakikatnya tidak hanya selalu bermuara pada beragam macam perbedaan yangg berkarakter niscaya, sebagaimana arti pada umumnya. Tetapi lebih dari itu, moderasi Islam juga menitikberatkan terhadap hal-hal yangg berkarakter ubudiyah. Seperti Islam yangg tidak mewajibkan penganutnya untuk beragama terus menerus sebagaimana salat Jumat di atas. Artinya, antara ritual kepercayaan dan tanggung jawab mencari kudu diposisikan secara seimbang.

Selain itu, Islam juga menitikberatkan agar gimana kita bisa bersikap “wasathiyah” tidak hanya dalam perihal yangg berkarakter keagamaan alias mengerti keberagama(a)n. Lebih dari itu, “wasathiyah” kudu juga dipahami sebagai sebuah prinsip aliran Islam yangg sebenarnya, dalam segala lini dan dalam segala aspek. Termasuk juga memposisikan diri dalam pemenuhan hak-hak seperti dalam ranah moderasi dalam adab di atas.

Buku ini membujuk kita untuk memposisikan diri untuk selalu berada di jalan tengah dalam segala aspek. Buku dengan sajian tanya jawab ini, berisi pertanyaan dan jawaban tentang beragam topik keagamaan beserta dengan dalil-dalil yangg menyertainya. Buku ini cocok dibaca siapa saja bagi yangg tertarik untuk membangun kebiasaan seseorang untuk berislam secara wasathiyah.

Biodata Buku

Judul           : Hidup Bersama Al-Qur’an 1, Moderasi dan Tujuan Pendidikan Islam        .

Penulis       : M. Quraish Shihab dan Najelaa Shihab

Penerbit     : Lentera Hati

Terbit          : April 2021

ISBN           : 978-623-7713-64-7

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id