Metode Tahfiz Thematic Snap Memorizing System: Operasi Pencarian Kepingan Puzzle Waktu - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

Oleh: Muhammad Fajar Siddiq

“Maman va au marché quand ayah va au bureau”. Jika saya meminta pembaca menghafal kalimat di atas berapa lama waktu yangg diperlukan hingga para pembaca bisa melafalkannya tanpa ragu? Baik, sekarang andaikan saya meminta perihal yangg sama untuk kalimat “Ibu pergi ke pasar ketika Ayah pergi ke kantor”, berapa lama waktu yangg diperlukan? Saya percaya para pembaca dapat menghafal kalimat kedua hanya sekali baca, dan perlu waktu yangg lebih lama untuk menghafal kalimat pertama.

Fenomena ini cukup unik, lantaran pada dasarnya kalimat pertama hanyalah terjemahan Bahasa Perancis dari kalimat kedua, tapi kenapa kita memerlukan waktu yangg berbeda untuk menghafal dua kalimat yangg pada dasarnya mempunyai makna yangg sama? Jawabannya adalah lantaran otak kita mengenali pola tertentu di kalimat kedua, dan tidak pada kalimat pertama.

Apabila kita perhatikan, kecepatan otak kita dalam merespons, memahami dan menghafalkan sesuatu tergantung pada seberapa banyak kita mengenali pola dari perihal tersebut. Semakin banyak kita mengenali polanya, semakin sigap juga kita memahami dan menghafalnya. Semakin sedikit kita mengenali polanya, semakin susah pula kita bisa memahami dan menghafalkannya.

Prinsip ini seringkali dilupakan oleh para penghafal Al-Qur’an, padahal perihal ini menjadi pondasi yangg bakal sangat menentukan kecepatan, kedalaman, dan lama mahfuz dan pemahaman terhadap Al-Qur’an. Kebanyakan dari kita yangg menghafal tidak peduli dengan pola, arti, dan kandungan makna yangg dia hafal, sehingga pada akhirnya mereka hanya menghafal suatu kalimat asing tidak berpola yangg terus dijejali ke dalam otak.

Semua perihal ini, tanpa disadari, membikin mahfuz hanya bakal berhujung dalam penyimpanan jangka pendek (short-term memory). Akibatnya, mahfuz yangg dia usahakan dengan susah payah bakal betul-betul lenyap setelah dia tinggal beberapa jam kemudian.

Pada titik ini, tidak sedikit orang yangg jadi malas untuk menghafal Al-Qur’an, dan menganggap Al-Qur’an tidak asik dan susah untuk dihafal. Fenomena seperti ini sering saya temukan, tak terkecuali ketika saya tengah melaksanakan internship di salah satu pondok luar biasa di Garut, Peacesantren Welas Asih (PWA). Pesantren ini adalah pesantren yangg didirikan oleh Kang Irfan Amalee, salah satu senior saya yangg sudah saya kagumi sejak bangku MTs ketika tetap menjadi santri di Pesantren Darul Arqam Garut. Ciri unik produktivitas yangg senantiasa ditunjukan Kang Irfan terepresentasikan melalui pondok yangg beliau bangun yangg mempunyai style kekinian, unik, dan anti-mainstream, baik dari segi infrastruktur, kurikulum hingga teknis pembelajaran yangg diberlakukan.

Selama magang di sana, saya mendapatkan beragam pembekalan cuma-cuma seputar pendidikan, gimana menaklukan reptilian brain yangg sedang bekerja, menciptakan siklus habit pada seseorang, gamifikasi, dsb. Pembekalan-pembekalan inilah yangg mengantarkan saya untuk mendiskusikan kurikulum tahfiz di pesantren tersebut yangg tetap menggunakan metode konvensional. Ketika membicarakan itu kepada Kang Irfan, beliaupun mempunyai keresahan yangg sama dan akhirnya beliau memberi saya tantangan apakah saya bisa membikin metode pengganti yangg bisa diterapkan di pesantren ini ke depannya.

Baca Juga: Brian Yuliarto Dilantik Sebagai Mendiktisaintek, Haedar Nashir Ucapkan Selamat

Tentu kepercayaan itu tidak saya sia-siakan, setelah obrolan malam berbareng beliau saya langsung menyusun sebuah metode yangg tidak hanya memperhatikan jumlah hafalan, tetapi juga kualitasnya, tidak hanya sekadar hafal ayatnya, tetapi juga bisa memahami dan menyampaikan kandungannya dengan baik. Tentu dengan perihal ini para penghafal bakal mencapai higher-order thinking dalam skema taksonomi Bloom. Setelah beberapa minggu berlalu, saya mempresentasikan metode dan modul yangg telah saya buat.

Dalam kurikulum baru ini, setiap santri PWA bakal menjadi detektif yangg mengumpulkan kepingan puzzle waktu, yangg jika terkumpul bakal membentuk rangkaian cerita seru penuh dengan makna. Karena konsentrasi utamanya adalah pemaknaan, maka ayat yangg dihafal bukan berasas urutan, tetapi dipilih ayat-ayat kisah yangg penuh keteladanan.

Serial pertama yangg menjadi quest pertama para santri adalah mencari kepingan puzzle dalam kisah Nabi-Nabi Ulul Azmi yangg terbagi menjadi 5 modul: Kisah Nabi Nuh: Negeri Air dan Bahtera Kehidupan, Kisah Nabi Ibrahim: Negeri Api dan Kobaran Sedingin Salju, Kisah Nabi Musa: Negeri Pasir dan Kejaran di Tepi Maut, Kisah Nabi Isa: Negeri Tabib dan Obat Pengkhianatan, Kisah Nabi Muhammad: Negeri Penyair dan Kalam Cinta Penyejuk Sukma

Dalam setiap modul dijelaskan pola kalimat yangg mirip di setiap segmen ayat. Dijelaskan pula kisah dan makna dari setiap ayat, baik melalui pendekatan bahasa, ataupun sejarah yangg dikutip dari kitab-kitab para ulama. Selain itu, perihal yangg paling krusial adalah upaya merefleksikan setiap ayat dalam kehidupan sehari-hari sehingga setiap detektif tidak hanya menghafal dan memahami, tetapi juga dapat meneladani kisah-kisah yangg tertera di dalam Al-Qur’an.

Dengan metode ini, 9 dari 10 peserta bisa menghafal 1 laman dalam kurun waktu 30 menit dengan mahfuz matang yangg disertai dengan pemahaman dan keahlian dalam menyampaikan kandungan ayat tersebut. Hal ini tentu nomor yangg cukup tinggi, mengingat sebelumnya banyak dari anak-anak yangg menjadi subjek penelitian tidak dapat menambah 1 laman mahfuz baru dalam kurun waktu satu jam lebih. Melalui metode ini pula, saya percaya bahwa setiap orang bisa menghafal dengan langkah yangg asik dan tidak monoton, membikin angan kita semua untuk menjadi seorang hafiz bisa semakin mungkin untuk terwujud. []

* Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Tafsir Al-Azhar Kairo

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id