PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, dalam sebuah tausiyahnya menekankan pentingnya memahami pesan Al-Qur’an tidak hanya secara tekstual, tetapi juga dengan kedalaman rasa. Ia menyoroti Surah Muhammad ayat 7 yangg berbunyi:
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya: “Wahai orang-orang yangg beriman, tolonglah Allah, maka Allah pasti menolong Anda dan meneguhkan kedudukanmu.”
Menurut Jumari, ayat ini kerap menimbulkan pertanyaan di kalangan jamaah. Ada yangg bertanya, “Apakah Allah perlu ditolong? Bukankah Dia Maha Kuasa, pembuat alam semesta, dan pemberi segala akomodasi hidup?” Pertanyaan semacam itu, menurutnya, sangat wajar muncul lantaran secara tekstual terkesan janggal.
Oleh lantaran itu, dalam tafsir Al-Qur’an sering disertakan penjelasan tambahan bahwa yangg dimaksud “menolong Allah” adalah menolong kepercayaan Allah. Hal ini berfaedah melaksanakan aliran Islam sesuai tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Makna Tekstual dan Rasa Bahasa
Jumari menjelaskan, jika ditafsirkan secara tekstual semata, ayat ini hanya berakhir pada tanggungjawab menolong kepercayaan Allah. Namun, dia mencoba mendekatinya dengan langkah yangg lebih rohaniah. Menurutnya, penggunaan kalimat “menolong Allah” mempunyai makna rasa yangg sangat dalam.
Dalam bahasa Jawa, ungkapnya, Allah seolah mau “membombong” manusia, membikin hati mereka bangga. Dengan memberi kesan bahwa manusia bisa “menolong” Allah, hamba merasa dihargai dan bahagia, seperti seseorang yangg berbahagia lantaran bisa menolong orang lain.
“Bahasa itu mengandung nuansa yangg membikin manusia mongkok atine, merasa bangga, lantaran seolah-olah bisa berkedudukan untuk Tuhannya,” ujar Jumari dalam tausiyah tersebut.
Hadis Qudsi dan Makna Simbolik
Lebih lanjut, Jumari mengaitkan ayat ini dengan sabda qudsi yangg menyebut Allah berfirman: “Aku sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku. Aku tidak berpakaian, engkau tidak memberi-Ku pakaian.”
Jika dipahami secara literal, ungkapan itu tidak masuk akal. Namun sabda tersebut menjelaskan bahwa yangg dimaksud adalah hamba Allah yangg sakit tidak dijenguk, alias orang yangg memerlukan busana tidak diberi bantuan.
Dengan demikian, menolong sesama sejatinya adalah corak menolong kepercayaan Allah. “Allah memberikan penghargaan yangg sangat tinggi kepada manusia yangg hidupnya berfaedah bagi sesamanya,” jelas Jumari.
Motivasi untuk Berprestasi
Dari ayat tersebut, Jumari menarik konklusi bahwa Allah mendorong manusia untuk menjadi pribadi yangg berprestasi, mandiri, dan berkualitas. Pertolongan Allah, katanya, datang sebanding dengan apa yangg manusia lakukan untuk menolong sesama dan menegakkan aliran Islam.
Ia menekankan, jika seseorang hidup pasif tanpa usaha, tidak mungkin pertolongan datang begitu saja. Dalam afinitas manajemen, katanya, “Seberapa kita berprestasi, sebegitulah penanammodal bakal datang memberikan investasi.”
Baca juga, Bermuhammadiyah: Jalan Takwa, Syukur, dan Menjadi Kekasih Allah
Pertolongan Allah pun bisa datang melalui beragam jalan, terkadang dari arah yangg tidak disangka-sangka. Namun, semua itu didahului oleh upaya manusia untuk bekerja keras dan memberi manfaat.
Kritik terhadap Kemalasan
Jumari memberi peringatan bahwa Islam tidak menyukai umat yangg malas. Dalam bahasa Jawa dia menyebut “kriing asto, krido luming asto,” ialah orang yangg hanya mengemis tanpa mau berusaha. Pemalas, menurutnya, hanya punya dua jalan: jika kuat dia bakal mencuri, jika lemah dia bakal mengemis.
Karenanya, Surah Muhammad ayat 7 justru memberikan motivasi agar umat Islam tidak berjuntai pada bantuan, melainkan bekerja keras sehingga mempunyai nilai diri dan kemandirian.
Kepemimpinan yangg Mencerahkan
Jumari juga menyinggung peran pemimpin. Ia mengingatkan, seorang pemimpin tidak boleh memelihara ketergantungan masyarakat dengan memberikan support semata. Tugas pemimpin adalah mendorong warganya untuk mandiri, sehingga ketaatan mereka kepada pemimpin maupun kepercayaan bukanlah semu, melainkan lahir dari kesadaran.
Ia mencontohkan sebuah mahfudhat: “Laparkan anjingmu maka dia bakal manut kepadamu.” Prinsip seperti itu, tegasnya, justru memelihara kegoblokan dan kemelaratan demi kepentingan penguasa, yangg jelas bertentangan dengan pesan Surah Muhammad ayat 7.
Pertolongan yangg Mengokohkan
Pertolongan Allah, kata Jumari, datang bagi mereka yangg mempunyai kepercayaan kuat, berprestasi, dan bermanfaat. Hasilnya, mereka bakal diteguhkan kedudukannya. Orang yangg hidupnya berjuntai pada support justru kehilangan nilai diri dan tidak bisa tegak menatap kehidupan.
Sebaliknya, orang yangg berdikari dan berprestasi mendapat kepercayaan diri yangg kokoh, merdeka dari ketergantungan, serta bisa memberikan faedah luas, apalagi bagi kemanusiaan semesta.
Analogi Kehidupan
Untuk memudahkan pemahaman, Jumari memberi ilustrasi sederhana. Seorang kakek memberikan duit kepada cucunya melalui anaknya. Lalu sang cucu membelikan bingkisan untuk kakeknya dari duit itu. Meskipun hakikatnya duit berasal dari kakek, sang cucu tetap merasa bangga lantaran bisa memberi sesuatu kepada kakeknya.
“Begitulah kira-kira Allah. Gusti Allah mau membikin manusia bangga bisa berkedudukan untuk-Nya melalui kehidupan yangg bermanfaat, berprestasi, dan berkualitas,” ujarnya.
Menjadi Umat yangg Kokoh dan Bermanfaat
Pada akhirnya, pesan Surah Muhammad ayat 7 menurut Jumari bukan hanya sekadar tanggungjawab menolong kepercayaan Allah, melainkan dorongan agar manusia hidup berprestasi, bekerja keras, dan mandiri. Dengan begitu, pertolongan Allah bakal datang dari beragam arah, meneguhkan kedudukan, serta menjaga nilai diri hamba-Nya.
“Menolong Allah berfaedah menolong sesama, mengamalkan aliran Islam, dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Dari situlah pertolongan Allah hadir, mengokohkan kehidupan kita,” tutupnya.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 108
1 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·