Menjawab Komentar Miring Tentang Perbedaan Idul Fitri Muhammadiyah 2023 - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu
Penulis : Heri Rifhan Halili (Anggota ADMI (Asosiasi Doktor Muhammadiyah Indonesia)

Perbedaan penyelenggaraan Idul Fitri tahun ini tak bisa dihindari. Perlu kedewasaan dan sikap bijak untuk terus saling memahami dan menjaga harmoni. Tapi dari beberapa hari terakhir kembali bermunculan komentar miring mengenai pilihan ijtihad Idul Fitri Muhammadiyah

Jika sebelum-sebelumnya mempersoalkan dalil-dalil ijtihad Muhammadiyah dalam menggunakan konsep hisab haqiqi bentuk hilal, maka setelah banyak dijawab melalui artikel-artikel tegas dan ilmiah oleh teman-teman Muhammadiyah, sekarang nampaknya ada sedikit “kemajuan” pada komentar miring berikutnya.

Yakni tidak lagi mempersoalkan dalil ijtihad Muhammadiyah, dan telah mengakui bahwa ini adalah perbedaan pendapat di antara para ulama, tapi komentar miring saat ini bersambung pada kalimat berikutnya: “Memang perbedaan Idul Fitri itu ijtihad dengan dalil masing-masing ulama, tapi bukankah ada norma fiqih bahwa keputusan pengadil (Pemerintah) itu menghilangkan semua perbedaan pendapat?”

Mari kita urai norma fiqih yangg dimaksud: Hukmul pengadil yarfa’ul khilaf. Keputusan pengadil (Pemerintah) menghilangkan perbedaan pendapat.

Pertama: Siapa pengadil (Pemerintah) dalam perihal ini? Apakah Menteri Agama? Menko Polhukam? Ataukah Wakil Presiden dan Presiden?

Apakah juga keputusan Pemerintah yangg dimaksud dalam norma fiqih itu adalah setingkat keputusan Menteri? Atau Undang-Undang? Atau apalagi Undang-Undang Dasar?

Hal ini perlu kita urai, lantaran Pemerintah sendiri pun sebenarnya tidak ada yangg memberi keputusan absolut yangg mewajibkan untuk mengikuti ketetapan 1 Syawal sesuai Pemerintah.

Lihatlah apa yangg disampaikan Menteri Agama sendiri, bahwa keputusan pemerintah tentang Idul Fitri tidak berfaedah mewajibkan semuanya mengikuti pemerintah, dan apalagi Menag sendiri menghimbau saling toleran dalam perbedaan, sampai juga menghimbau pemerintah wilayah di seluruh Indonesia untuk memberikan izin penggunaan fasilitas/lapangan pemerintah jika bakal digunakan oleh Muhammadiyah untuk aktivitas sholat Idul Fitri (lihat di: https://www.youtube.com/watch?v=pKS2mTZuQI8).

Begitu pula Menko Polhukam yangg mengkoordinatori beberapa Kementrian di bawahnya, telah menghimbau kepada semua Pemerintah Daerah memberikan izin jika ada lapangan milik Pemerintah yangg bakal digunakan oleh Muhammadiyah untuk menggelar sholat Idul Fitri 2023.

Hal ini disampaikan oleh Mahfud MD, “Pemerintah mengimbau akomodasi publik seperti lapangan yangg dikelola pemda agar dibuka dan diizinkan untuk tempat salat Idul Fitri jika ada ormas alias golongan masyarakat yangg mau menggunakannya. Pemda diminta untuk mengakomodasi. Kita kudu membangun kerukunan meski berbeda waktu hari raya,” cuit Mahfud dalam akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Selasa, 18 April 2023. (Baca buletin lengkapnya: https://nasional.tempo.co/read/1716318/mahfud-md-imbau-pemda-izinkan-ormas-gunakan-fasilitas-publik-untuk-salat-idul-fitri)

Sebelumnya, memang sempat ramai diberitakan tentang Pemkot Pekalongan dan Sukabumi yangg tidak memberikan izin lapangannya digunakan untuk aktivitas sholat Idul Fitri oleh Muhammadiyah. Padahal sebelum-sebelumnya telah biasa kedua lapangan Pemerintah Daerah tersebut digunakan oleh penduduk Muhammadiyah untuk melaksanakan Idul Fitri. (baca: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpr5r7yljzgo).

Bahkan Wakil Presiden RI juga menyampaikan himbauannya untuk saling menghargai perbedaan Idul Fitri.

“Maka, yangg ditempuh adalah adanya sikap bisa toleransi antara dua golongan ini untuk masing-masing. Ya Lebaran sesuai dengan keyakinannya, dengan hitungannya. Jadi, bahasa Jawanya legowo,” pinta Wapres dalam kesempatan konvensi pers seusai menunaikan ibadah salat Jumat, di Masjid Agung Baiturrahman, Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Jumat siang (14/04/2023).

Jadi jika ada yangg mempropaganda seolah Muhammadiyah tidak mengikuti keputusan Pemerintah, pertanyaannya keputusan Pemerintah yangg mana? Bukankah telah sangat jelas dan tegas keputusan Pemerintah dalam perihal ini yangg langsung dinyatakan Menteri Agama, Menko Polhukam, Wapres RI adalah menghimbau untuk menghargai perbedaan Idul Fitri? Inilah keputusan Pemerintah. Keputusan untuk saling menghargai!.

Jika yangg dimaksud adalah keputusan hasil sidang isbat Kementrian Agama (Kemenag) RI tentang penetapan tanggal Idul Fitri, maka perihal ini seperti yangg telah disinggung sekilas di atas bahwa Menteri Agama sendiri sebenarnya dalam keputusannya tidak mengharuskan/mewajibkan untuk beridul fitri sama dengan Pemerintah.

Kemenag hanya menyampaikan apa yangg menjadi pilihan keputusan tanggal Idul Fitri yangg dipilih Kemenag berasas metode yangg dijadikan dasar, sekali lagi tidak disertai dengan mewajibkan semua penduduk bangsa yangg berakidah Islam kudu mengikutinya. Kenapa? Karena memang patokan Pemerintah yangg lebih tinggi dari Keputusan Menteri Agama tentang sidang isbat tersebut ialah UUD Pasal 29 Ayat 1 dan 2 menyebut bahwa: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan nan Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap masyarakat untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Bahkan jika kita lihat dalam keputusan Menteri Agama pada tahun 1971, pernah disebutkan secara tegas tentang perihal ini dalam Keputusan Menteri Agama No. 62 Tahun 1971 yangg berbunyi: “Pertama: Awal puasa tanggal 1 Ramadan 1391 H dengan istikmal jatuh pada hari Kamis tanggal 21 Oktober 1971; Kedua: Bagi Ahli Hisab serta mereka yangg mempercayainya dapat menunaikan ibadah puasa sesuai dengan keyakinannya”.

Kalimat penegasan ini memang tak lagi dinyatakan tertulis pada Keputusan Menteri Agama saat-saat ini, tapi dengan tanggapan dan pernyataan langsung Menteri Agama, Menko Polhukan, apalagi Wapres RI yangg telah dijelaskan di atas, perihal tersebut telah mencukupi bahwa keputusan Pemerintah tegas menghimbau untuk saling toleransi lantaran Negara menjamin tiap-tiap masyarakat untuk menjalankan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Point kedua: kepada mereka yangg sekarang menjadikan dasar norma fiqih Hukmul pengadil yarfa’ul khilaf: keputusan hakim/pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat, untuk mempersoalkan Idul Fitri Muhammadiyah, penulis hanya mau mengingatkan bahwa dalam prakteknya banyak sekali keputusan Pemerintah yangg tidak diikuti oleh pemahaman-pemahaman Islam di Indonesia, tidak hanya oleh Muhammadiyah, tapi juga oleh ormas Islam alias mengerti Islam lainnya di Indonesia.

Contoh: kemana norma fiqih tadi saat Pemerintah melalui Kementerian Agama lebih mengambil pendapat bahwa miqot bisa juga di Bandara King Abdul Aziz? Bukankah ada pula pemahaman kepercayaan di Indonesia (di antaranya mereka yangg saat ini berkomentar miring tentang perbedaan idul fitri Muhammasdiyah) yangg mereka juga menolak tentang miqot yangg menjadi pendapat pemerintah melalui kemenag itu? Dan mereka lebih mengambil pendapat yangg diyakininya bahwa tidak sah miqot di Jeddah dan kudu bayar dam?

Kemana norma fiqih tadi, saat apalagi Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam menyatakan talaq baru sah jika diucapkan di depan pengadil di pengadilan? Banyak sekali pemahaman keagamaan di Indonesia (sekali lagi termasuk mereka yangg berkomentar miring bahwa Muhammadiyah tidak mengikuti keputusan Pemerintah) yangg mereka ini juga tidak setuju dengan patokan Pemerintah tentang talaq tersebut, dan lebih mengambil pendapat yangg diyakininya bahwa ucapan talak sah diucapkan suami meski tidak di pengadilan?

Padahal jika mau diurai lebih jauh, Undang-Undang Perkawinan dan KHI lebih tinggi secara jenjang peraturan perundangan-undangan di Indonesia dan mengikat dari “sekedar” keputusan Menteri. Artinya yangg tidak mentaati dalam perihal ini bisa dianggap lebih tidak alim Pemerintah daripada sekedar Muhammadiyah tidak mengikuti keputusan Menteri Agama kepercayaan tentang 1 Syawal jika mengikuti pola pikir saklek mereka yangg doyan berkomentar miring tentang ijtihad perbedaan Idul Fitri Muhammadiyah.

Tentu bakal muncul lagi banyak argumen yangg bakal disampaikan setelah mereka yangg begitu senang berkomentar miring tentang Ijtihad idul Fitri Muhammadiyah setelah membaca tulisan ini. nan sebenarnya penulis dan teman-teman Muhammadiyah lainnya juga bisa lebih menjawab lagi alasan-alasan mereka. Tapi jika terus saling berdebat dalam masalah ini, mau sampai kapan?

***

Pada konklusi akhirnya, Muhammadiyah beranggapan bahwa perbedaan 1 Syawal adalah masalah ijtihad yangg tidak boleh saling mengingkari, Muhammadiyah membujuk untuk saling menghargai perbedaan pendapat dalam masalah ijtihad ini.

Bagi Muhammadiyah, lebih berfaedah daya kita jika digunakan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, berkontribusi pada negeri melalui pendidikan dengan membangun ribuan sekolah dan perguruan tinggi untuk ikut mencerdaskan anak bangsa, membangun panti didikan untuk menampung fakir miskin dan anak-anak terlantar, melakukan tindakan nyata tanggap bencana, membangun rumah sakit-rumah sakit untuk menyelamatkan ibu dan bayi yangg dilahirkan, mengobati mereka yangg sakit yangg begitu memerlukan akses jasa kesehatan di pelosok negeri. Inilah jalan Muhammadiyah, jalan kebaikan dan karya yangg nyata, membangun negeri, umat, dan bangsa, bukan sibuk berdebat dan mencela.

Selamat idul Fitri 1444 H. Semoga Allah menerima ibadah puasa kita. (*)

Penulis : Heri Rifhan Halili (Anggota ADMI (Asosiasi Doktor Muhammadiyah Indonesia)

-->
Sumber pijarnews.id
pijarnews.id