Pendahuluan
Membangun kesadaran toleransi dalam umat nan notabene multi-etnik, multi-budaya, dan multi-religi nan rawan bentrok merupakan tantangan nan pelik. Secara historis, Indonesia mengalami problematika internal perihal mewujudkan toleransi dalam beragama. Seperti nan diketahui khalayak ramai, intoleransi sempat muncul di Indonesia. Salah satu momen nan terbesarnya, ialah dalam aktivitas pemilihan presidan (Pilpres) tahun 2019. Dalam problematika tersebut, kepercayaan diseret dalam persoalan politik nan nyaris menyeret umat Islam dalam masalah nan pelik.
Data Kuantitatif dari Fenomena Intoleransi
Terdapat beberapa bentrok di Indonesia nan mengatasnamakan kepercayaan dari tahun ke tahun. Dalam kurun tahun 2011 hingga tahun 2015 jika dijabarkan terdapat beberapa kasus intoleransi antara lain, tahun 2011 sebanyak 267 kasus, tahun 2012 terjadi sebanyak 278 kasus, tahun 2013 terjadi sebanyak 245 kasus, tahun 2014 terjadi sebanyak 78 kasus, tahun 2015 sebanyak 190 kasus. Tidak cukup hanya itu, pada tahun 2016 Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komnas HAM menyatakan bahwa intoleransi nan terjadi di Indonesia meningkat (M. Ardini Khaerun Rijaal, “Fenomena Intoleransi Antar Umat Beragama Serta Peran Sosial Media Akun IG Jaringan Gusdurian Indonesia dalam Menyikapi Pesan Intoleransi”, 109).
Dilansir dari konvensi Pers Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2020, Romo Antonius Benny Susetyo, selaku Staf Khusus/Ketua Dewan BPIP menegaskan bahwa kasus intoleransi di Indonesia selalu meningkat, hal-hal seperti pendirian rumah ibadah, pelaksanan ibadah, radikalisme, dan pemakaman tetap sering menjadi bentrok antar masyarakat. Ketiadaan sikap saling hormat dan menghargai menjadi karena utama dalam adanya intoleransi di Indonesia.
Polemik tersebut tetap sering terjadi di Indonesia. pada tahun 2022, Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), mengungkapkan bahwa beberapa wilayah di Indonesia mmasih sering terjadi pelanggaran kebebasan berakidah dan keyakinan. Daerah tersebut antara lain Jawa Barat, NTB, Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Banda Aceh. Akan tetapi, nan tertinggi adalah Jawa Barat dengan 26 kasus intoleransi nan tercatat sepajang tahun 2022.
Fundamentalisme sebagai Akar Intoleransi di Indonesia
Indonesia, nan kebanyakan pemeluk agamanya adalah Islam, juga didapati beberapa sekte nan mengedepankan sikap ekstrimis alias radikal sebagai aktivitas nan menonjolkan semangat keagamaan. Sikap seperti ini didapati dari golongan nan kecenderungan mengambil fundamentalisme sebagai pondasi aliran mereka. Sikap fundamentalis sendiri merupakan sikap nan menunjukkan perlawanan terhadap modernitas, sekulerisasi, dan tata nilai Barat, serta terhadap pluralisme. Gerakan Islam dengan model seperti itu terdoktrin dari spirit aktivitas al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Jama’at Islamiyyah di Pakistan (Hadi Masruri, dkk, Memutus Mata Rantai Ekstremisme Agama, 52-53).
Gerakan Islam radikal di Indonesia sendiri sudah muncul sebelum pemerintah memberikan aspirasinya terhadap aktivitas tersebut. Abdurrahman Wahid dan Ulil Abshar Abdalla menjadi tokoh nan melopori pewaspadaan terhadap aktivitas Islam radikal nan sudah marak di beragam negara.
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa corak aktivitas radikal di Indonesia nan pernah eksis di Indonesia. Mereka diindikasikan penganut mengerti fundamenalisme, ialah Hibut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Jama’ah Islamiyah (JI), Ikhawanul Muslimin, dan Salafi-Wahabi. Walaupun beberapa telah dibubarkan oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka menjalankan secara tertutup.
Radikalisme Islam terbentuk dari ideologi fundamentalis nan memperlihatkan realisasi dari aliran nan mereka yakini. Ideologi seperti itu menggiring mereka untuk memilih jalan kekerasan terhadap apa-apa nan mereka anggap menganggu dan mengotori aliran mereka. Kemudian, dari aktivitas inilah muncul stigma negatif dari masyarakat lain, khususnya bumi Barat. Mereka menjustifikasi Islam secara keseluruhan sebagai kepercayaan nan radikal dan intoleran.
Islam Sebagai Pelopor Toleransi di Indonesia
Hidup dengan rasa kebersamaan terimplementasikan nilai-nilainya dalam ayat Tuhan, tepatnya QS. al-Hujurat ayat 13 nan berbunyi,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan Anda dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan Anda berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar Anda saling mengenal. Sesungguhnya nan paling mulia di antara Anda di sisi Allah adalah orang nan paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Secara jelas dalam ayat tersebut Islam mengajarkan pemeluknya untuk saling mengenal, baik antar suku, bangsa, maupun agama. Hal ini guna untuk memupuk semangat solidaritas, kesadaran kolektif antar umat dalam satu wilayah. Dari perspektif pandang Islam pun, proses keberagamaan bukan termasuk dalam kekuasaan manusia. Hal itu secara definitif tertera dalam QS. al-Baqarah, “Tidak ada paksaan dalam beragama”.
Catatan historis mengatakan, bahwa kota Nabi, ialah Madinah, merupakan wilayah dengan kemajemukan nan luas. Selain itu, kota Nabi itu juga mempunyai visi dan misi semangat keadaan nan terbuka, toleran, menghargai keagamaan seseorang. Sehingga sangat gencar dalam pembangunan relasi sosial, ekonomi, dan politik nan sehat dan bijak. Rasulullah dalam praktiknya juga telah memberikan pelajaran krusial dalam kehidupan plural nan kembali kepada aliran etis kebebesan berakidah dalam Al-Qur’an (Anas Urbaningurim, Islam dan Hak Asasi Manusia: Dalam Pandangan Nurcholish Madjid, 188-189).
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, bahwa berakidah adalah kewenangan murni dari setiap makhluk. Tidak ada seseorang pun nan mempunyai wewanang untuk mengatur, menghegomoni, dan memaksa seseorang untuk memluk suaut agama. Dikutip dari perkaatan ibn Taimiyah, dijelaskan olehnya bahwa merupakan fitrah nan diwahyukan (fitrah al-munazzalah), nan dihadirkan oleh Tuhan untuk memperkuat apa nan secara alami ada di dalam diri manusia. Dalam kata lain, kepercayaan merupakan kelanjutan dari nature sebagai seorang manusia sendiri.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, konklusi awal nan bisa dipetik adalah bahwa kepercayaan merupakan fitrah Tuhan nan tidak bisa diganggugugat oleh siapapun. Argumen tersebut bisa menjadi titik tolak umat Islam untuk bisa membangun kesadaran dalam perbedaan, khususnya dalam ranah agama.
Jika umat Islam tidak bisa secara maknawiyah memahami perihal tersebut, kemudian mengedapan kebenaran agamanya, maka nan terjadi adalah aktivitas radikal nan mengupayakan orang lain untuk masuk dalam agamanya.
Kendati demikian, umat Islam tidak semena-mena memberhentikan perjuangan dakwahnya, walaupun kita yakini bahwa kepercayaan sifatnya given. Setiap kepercayaan pasti mempunyai prinsipnya tersendiri dalam mendakwahkan aliran agamanya kepada umat manusia. Di samping itu, Islam juga mengenal adanya batasan-batasan tertentu dalam melaksanakan dakwah, dengan tetap mengedepankan adanya hidup nan berkerukunan.
Justru Islam perlu mempelopori semua kepercayaan untuk mewujudkan kedamaian, nan mana perihal itu juga menjadi misi peradaban. Dakwah dengan memegang nilai-nilai toleransi menjadi penemuan nan patut dikembangkan dan diimplementasikan.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·