Berusaha menalar logika Tuhan itu sia-sia. Buang-buang waktu. Tapi, itu bukan perihal nan tabu. Hal itu adalah wajar, karena manusia dan akalnya hidup dalam prinsip nan paradoksal, saling bertentangan, bertabrakan, dan hancur lebur dalam kebingungan.
Pada dasarnya, prinsip logika adalah mengetahui sesuatu secara logis (Martono & Shodiq, 2018). Logis dalam artian nan merujuk pada karena tertentu untuk menghasilkan akibat nan paling betul dan jelas (Ofm, 1983). Misalnya, hujan nan deras, sampah nan menggenang, comberan nan tersumbat genangan sampah, menjadikan air tidak mengalir sehingga terjadilah banjir.
Penelusuran semacam ini merupakan prinsip logika nan bakal terus berupaya mencari penyebab untuk kepuasan logika itu sendiri. Sehingga, sebuah kejadian alam alias pun kejadian sosial dapat terjelaskan dan logika menemukan makanan pemuasnya, ialah kebenaran.
Paradoks Akal dan Kemustahilannya
Namun, hakikat logika yang selalu mau tahu segala sesuatu terbentur paradoks dengan logika keberadaan Tuhan dan logika nan diciptakan Tuhan itu sendiri. Sejak era Socrates hingga Nietszce, Tuhan dan beragam penalaran tentangnya tak pernah menemui titik final.
Perdebatannya terus terjadi hingga hari ini. Bahkan, beragam pemuka kepercayaan selalu terus menggali kesia-siaan penalaran tentang Tuhan dalam koridor kepercayaan sebagai keyakinan. Dengan alasan, bahwa berakidah kudu berdasar pada penalaran nan sehat. Jika keberadaan Tuhan tak sukses dibuktikan dengan logika sehat, maka tak cukup argumen untuk mempercayainya.
Angapan semacam ini adalah dugaan nan lumrah sekaligus dugaan nan kandas dalam memandang paradoks akal. Di satu sisi, logika menjadi keniscayaan atas penjelasan-penjelasan logis nan memuaskan. Tapi, di sisi lain, logika memungkinkan sesuatu menjadi mustahil untuk dijamah, apalagi oleh dirinya sendiri. Dan salah satu dari itu adalah penjelasan tentang Tuhan.
Menyikapi Konsep Ketuhanan Harusnya Sederhana
Sebenarnya, penjelasan tentang konsep Tuhan harusnya sederhana saja. Jika ada pertanyaan, kenapa kita percaya pada Tuhan? Jawab saja bahwa tak ada bukti nan cukup logis nan membuktikan bahwa Tuhan tidak ada dan membikin kita kudu tidak percaya pada Tuhan.
Jika merujuk pada sains, tetap sangat terbatas. Jika kita merujuk pada teori terkenal Big Bang nan digaungkan Coki Pardede sebagai pondasi agnotismenya, maka dengan mudah dibanta dengan pertanyaan apa karena sebuah gumpalan bisa ada sampai akhirnya meledak menjadi alam semesta? Apa alias siapa nan membuatnya meledak booom?
Secara logis, tidak mungkin sesuatu menjadi ada tanpa nan ada meng-adakannya. Artinya, gumpalan besar nan menyebabkan ledakan besar Big Bang adalah akibat dari karena nan seringkali pamor untuk diakui, ialah Tuhan.
Diskurusus dan Dalil Populer tentang Tuhan
Nietzsche dan Marx menjelaskan bahwa konsep tentang Tuhan adalah corak ketidakmampuan manusia menggunakan nalarnya dengan optimal (Hardiman, 2019). Ini masuk akal, tapi kurang tepat. Bukan ketidakmampuan manusia, melainkan ketidakmampuan logika alias logika itu sendiri sebagai prinsip nan tak terbantahkan kemustahilannya.
Tuhan adalah batas pemisah logika dan logika itu sendiri. Tuhan adalah kemustahilan nan datang dari prinsip akal. Dengan kata lain, prinsip logika adalah kemustahilan menjamah Tuhan.
Misalnya, dalil kepercayaan tentang Tuhan maha segalanya, maha kuasa, dan tak satupun menyemainya merupakan narasi terkenal tentang Tuhan. Jika narasi itu merupakan perihal nan dipercaya dan dianggap logis, maka tidak lagi ada gunanya menalar tentang eksistensi Tuhan.
Lalu, pertanyaannya adalah, gimana narasi Tuhan tidak ada nan bisa menyemainya bisa dianggap logis? Jawabannya jelas, bahwa jika ada nan bisa menyamai Tuhan, maka Tuhan pasti ada dua alias tiga, empat, dst. Dan ketidaktunggalan Tuhan memunculkan paradoks logika nan baru bahwa segala sesuatu tidak mungkin terjadi jika tidak ada unsur Tunggal berdikari nan mengawalinya.
***
Penalaran usang, tapi masuk logika memberikan perumpamaan kenapa Tuhan kudu esa dan tidak boleh ada nan menyemainya. Jika ada nan menyamainya, maka sejatinya perihal itu bukanlah Tuhan. Tuhan nan tiruan dan lebih dari satu, secara logis tidak mungkin menghasilkan sesuatu (alam semesta). Misalnya, ada 3(tiga) Tuhan. Sebut saja Tuhan A, B, dan C. Tuhan A hanya bakal menciptakan ledakan Big Bang jika Tuhan B menyetujuinya. Tuhan B pun demikian, bakal membikin ledakan Big-Bang jika Tuhan C menyetujuinya. Begitupun dengan Tuhan C, bakal menyetujui ledakan Big-Bang jika Tuhan A menyetujuinya. Terus berputar siklus nan hasilnya jelas, tak pernah ada ledakan Big-Bang di alam semesta ini. Dan tak pernah ada semesta.
Tapi, kenyataannya berbeda. Semestar hadir. Bagi kalangan nan setuju, ledakan Big-Bang terjadi. Maka, secara logis, ada satu unsur tunggal nan independent, nan kuasa, dan nan menentukan secara pasti suatu kejadian dengan kehendaknya sendiri. Itulah Tuhan nan maha esa. Maka, dalil tentang Tuhan nan tunggal dan Tuhan nan maha kuasa, dan Tuhan nan tak boleh ada nan menyamainya menjadi kepercayaan nan dapat diterima oleh logika sehat. Beres dan final.
Peliknya Diskursus Tuhan dan Jawabannya
Namun, perjalanan diskursus penalaran tentang Tuhan tidak berakhir begitu saja. Berbagai pertanyaan banyak nan tetap diperdebatkan dan tak menemui titik final nan sebenarnya inti jawabannya satu, kemustahilan akal/ keterbatasan logika menjamah nan bukan hakikatnya.
Bagaimana tidak, jika muncul perdebatan dalam ayat-ayat suci Tuhan di kitab-kitabnya seperti, Tuhan mempunyai tangan nan memeluk hambanya, Tuhan menggulung langit dan bumi di hari kiamat, Tuhan mendengar, artinya tuhan mempunyai telinga seperti manusia, Tuhan murka, artinya Tuhan tidak penyabar, dst, merupakan penalaran nan terburu-buru dan mengingkari kelogisan Tuhan nan maha tak tertandingi dan tak ada nan boleh menyamainya.
Jika maksud di ayat-ayat Tuhan nan menjelaskan bahwa Tuhan murka artinya Tuhan marah seperti manusia, lampau apa bedanya Tuhan dengan manusia? Ini penalaran nan terburu-buru. Kemurkaan Tuhan barangkali bukanlah arti dari kemurkaan nan diciptakan manusia.
Logika kemurkaan Tuhan adalah logika Tuhan sendiri nan tak terjamah oleh logika manusia. Jika bisa dijamah oleh logika manusia, maka perihal itu secara langsung menjadi paradoks dan tidak memenuhi syarat keTuhanan nan logis di awal.
Berusaha Menalar Tuhan dan Kesia-siaan nan Disengaja
Intinya, menalar tentang Tuhan itu sendiri adalah menyelam dalam paradoks nan sia-sia. Paradoks antara prinsip logika nan selalu mau tahu dengan kemustahilannya dalam menjamah nan tak memberi izin penjamahan atasnya.
Jika dalil bahwa tak ada nan bisa menyamai Tuhan adalah logis, maka segala penalaran tentang Tuhan menjadi keliru, begitu pun perdebatannya. Maka dari itu, berhentilah menalar Tuhan dengan akal. Karena, logika hakikatnya adalah menalar sesuatu di luar Tuhan dan mustahil dalam menalar Tuhan.
Keniscayaan Jalaluddin Rumi
Lalu, apa perihal nan bisa menjamah Tuhan? Jalaluddin Rumi dengan bagus mengisahkan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad sebagai jawaban nan mengaggumkan.
Diceritakan bahwa dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Jibril menemani Nabi Muhammad hinggal langit ke 6. Saat menuju langit ke 7 tempat Tuhan berada, Jibril tak berani menemanl. Jibril tak kuasa menahan megah dan dahsyatnya Tuhan. Maka, hanya Nabi Muhammadlah nan naik ke langit ke 7, ke singgasana Allah.
Maka, Rumi menganalogikan Jibril sebagai logika nan hanya bisa menalar dan menjamah beragam logika atas buatan Tuhan, tapi tidak dengan Tuhan itu sendiri. Sedangkan, Nabi Muhammad adalah gambaran dari hati nan bisa menjamah Tuhan dengan langkah nan tak terpahami oleh akal.
Maka dari itu, untuk memahami Tuhan, pertajam olah rasa menggunakan hati, bukan penalaran buru-buru dengan logika nan hakikatnya adalah kemustahilan dalam menalar Tuhan. Sekian. Selamat menunaikan ibadah puasa.
Referensi
Hardiman, F. B. (2019). Pemikiran Modern. PT Kansius.
Martono, N., & Shodiq, D. (2018). Dasar-Dasar Logika. Rajawali Pers.
Ofm, A. L. (1983). Logika: Selayang Pandang. Kanisius.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·