Hikmah Surah Yusuf I Kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan yangg umum dialami oleh para remaja di Indonesia. Jika merujuk pada penelitian yangg dilakukan oleh Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada bulan Oktober 2022. Ada sebanyak 5,5% alias sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia masuk ke dalam kategori orang yangg terkena gangguan mental.
Dalam penelitian yangg berbeda, salah satu penyebab tingginya nomor gangguan mental pada remaja di Indonesia terjadi lantaran aspek ekstrinsik berupa pengaruh lingkungan, akses akomodasi kesehatan, dan kondisi ekonomi. Serta aspek intrinsik seperti penyakit bawaan, ketidakstabilan emosi, dan pikiran-pikiran negatif (Sabrina Anjara dkk., 2021).
Apabila kita memandang temuan-temuan tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa kesehatan jiwa sangat berjuntai pada keadaan emosi perseorangan dan sikapnya dalam menghadapi masalah yangg ada dalam hidupnya.
Berangkat dari kejadian tersebut, ada beberapa kisah dalam Al-Qur’an yang dapat kita jadikan pelajaran dalam mengelola emosi dan menghadapi masalah. Salah satunya adalah kisah yangg terdapat dalam surah Yusuf.
Asbabun Nuzul Surah Yusuf
Surah Yusuf adalah surah yangg digolongkan sebagai surah Makkiyah. Surah ini diturunkan pada tahun kesedihan (‘aamul hazan). Dimana saat itu Nabi Muhammad ditinggal wafat dua personil family terdekatnya, ialah istri dan pamannya, Siti Khadijah dan Abu Thalib. Maka dari itu, surah ini diturunkan untuk menghibur dan menguatkan hati Nabi yangg saat itu dalam keadaan bersungkawa (Tafsir At-Thabari (2007), Jilid 14).
Sesuai dengan namanya, keseluruhan ayat-ayat dalam surah ini menceritakan tentang kisah Nabi Yusuf. Bila dilihat secara tematik, ada dua tokoh sentral yangg menjadi konsentrasi dalam surah ini, ialah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub. Keduanya mempunyai satu kesamaan dalam kisah hidupnya: sama-sama diuji dengan ujian dan kesedihan dalam hidupnya.
Ujian Nabi Yusuf & Nabi Yaqub
Dalam kisah Nabi Yusuf, kita memandang gimana ujian terus-menerus muncul dalam setiap fase hidupnya. Saat tetap mini dia dibuang oleh saudaranya dan terpisah dari keluarganya. Ia kemudian dijual sebagai budak dan menjalani masa remaja sebagai pelayan penguasa Mesir, walaupun dia sebenarnya orang merdeka dan mempunyai garis keturunan mulia sebagai anak seorang Nabi.
Tidak berakhir sampai disitu, ketika dewasa dia dituduh bercabul dan kudu dipenjara selama bertahun-tahun meskipun tidak melakukan kesalahan apapun.
Nabi Yaqub pun juga menghadapi pola ujian yangg sama. Harus berpisah dengan dua anak yangg paling disayanginya. Peristiwa yangg pertama terjadi kepada anaknya ketika tetap mini sedangkan peristiwa kedua terjadi kepada anaknya yangg telah dewasa beberapa tahun setelahnya.
Dari kedua kisah tersebut, dapat kita lihat bahwa seorang Nabi yangg mempunyai kelebihan dan keistimewaan pun tidak luput dari masalah dan ujian dalam hidupnya. Seperti layaknya manusia biasa, para Nabi juga mengalami ujian dan merasakan emosi-emosi seperti sedih, marah, khawatir, dan takut. Dan perihal tersebut tidak hanya terjadi di masa sekarang saja, tetapi juga terjadi pada orang-orang terdahulu dan juga pasti bakal dialami orang-orang di masa depan. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
“Apakah kalian mengira bahwa kalian bakal masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan beragam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yangg beragama bersamanya: bilakah datangnya pertolongan Allah?. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu banget dekat.” (QS. Al-Baqarah (2): 214)
Abdurrahman As-Sa’di dalam kitab tafsirnya menjelaskan ayat ini hendak mengatakan bahwa ujian maupun ujian merupakan sebuah keniscayaan yangg pasti bakal terjadi dan dialami oleh setiap hambanya. Ujian dan ujian tersebut merupakan langkah yangg dipergunakan Allah untuk memandang siapa diantara hambanya yangg betul-betul beragama dan mana yangg berdusta.
Apabila seorang hamba bersabar dan sukses melalui ujian itu, maka Allah bakal menolongnya dan mengangkat derajatnya. Sebaliknya, andaikan dia kemudian ingkar dan meninggalkan keimanannya, maka ujian tersebut justru bakal berbalik menghinakannya (Tafseer As-Sa’di (2018) Jilid 4)
Mengenal Adversity Quotient
Dalam pengetahuan psikologi, keahlian seseorang untuk memperkuat dalam menghadapi tekanan dan masalah dalam hidup disebut sebagai Adversity Quotient (AQ). Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh psikolog berjulukan Paul Stoltz.
Melalui pendekatan AQ, ketahanan (resiliensi) perseorangan berjuntai pada keahlian intelektual dan kebijaksanaan emosi yangg dia miliki. Semakin besar kedua modal itu, maka perseorangan bakal lebih sanggup menghadapi masalah yangg muncul dalam hidupnya.
Sebaliknya, jika kedua modal itu rendah, maka perseorangan bakal semakin rentan dalam menghadapi masalah hidup. Kerapuhan ini pada akhirnya kemudian membikin perseorangan lebih rentan mengalami indikasi mental seperti kekhawatiran berlebih, stres, dan depresi (Stoltz, 2000).
Selain modal logika dan emosi, AQ juga dipengaruhi oleh modal transenden alias nilai spiritual yangg dimiliki seseorang. Konsep ini dikemukakan oleh Viktor Frankl dalam bukunya “Man Search for Meaning” (2017). Konsep ini dikemukakan Frankl dari pengalamannya ketika dipenjara oleh tentara Nazi saat perang bumi ke-2.
Saat berada di penjara, Frankl mengawasi bahwa ada sekelompok tahanan yangg memilih bunuh diri lantaran tidak tahan dengan kondisi penjara yangg tidak layak. Sementara, ada sebagian mini tahanan yangg dapat memperkuat hidup sembari membantu tahanan lain dengan sukarela.
Dari pengamatannya itu, Frankl kemudian menyimpulkan bahwa ketahanan seseorang dipengaruhi ada alias tidaknya tujuan dan makna hidup yangg tetap dia pegang dan yakini.
Hikmah Kisah Nabi Yusuf & Nabi Yaqub
Kembali kepada isi surah Yusuf di awal, melalui kisah Nabi Yaqub dan Nabi Yusuf kita dapat mengambil hikmah gimana melatih AQ dan ketahanan (resiliensi) dalam menghadapi ujian dan masalah hidup yangg datang.
Hikmah pertama, keduanya tidak mengutuk ujian alias ujian yangg telah terjadi. Melainkan konsentrasi untuk menyelesaikan persoalan dengan memikirkan solusi praktis yangg dapat dilakukan dengan pengetahuan yangg dimiliki. Nabi Yusuf contohnya, memanfaatkan pengetahuan yangg dia miliki untuk mengusulkan diri sebagai bendaharawan negara untuk menghadapi ancaman krisis pangan di negeri Mesir.
Hikmah kedua, keduanya tidak mencari-cari kambing hitam dari ujian alias ujian yangg terjadi kepada orang lain. Alih-alih marah kepada anak alias saudara-saudaranya, keduanya mengampuni dan memilih tetap bertindak baik kepada mereka. Ini membikin emosi mereka tetap stabil dan tidak larut dalam rasa marah alias sedih berkepanjangan.
Hikmah ketiga, keduanya tidak berputus asa dan tetap mempunyai kepercayaan baik terhadap rencana Allah SWT. Dan terbukti, meskipun melalui waktu yangg lama dan proses yangg tidak mudah, kepercayaan tersebut memiliki. Nabi Yaqub dapat berjumpa dengan anak yangg dia kasihi dan nabi Yusuf diberikan kedudukan yangg mulia di bumi seperti yangg dia mimpikan dahulu.
Terakhir, sebagai penutup, ketika kita sedang mengalami suatu ujian alias masalah hidup yangg berat, barangkali ada baiknya juga andaikan kita mengamalkan apa yangg dikatakan Nabi Yaqub dalam surah ini:
“Aku hanya mengadukan permasalahanku pada Allah“. (QS. Yusuf (12): 86).
Wallahu a’lam bish showwab.
Wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·