Pekik bunyi masjid menggema, derap langkah kaki juga serentak berdatangan ke masjid-masjid, sementara anak mini bergembira, berduyun-duyun mendatangi rumah ibadah. Situasi seperti ini menandakan Ramadhan sudah tiba di pelupuk mata. Hampir semua kalangan merayakan kehadiran bulan ini, termasuk para pemuda. Mereka merayakan kegembiraan bulan Ramadhan dengan rangkaian kegiatan, seperti ngabuburit, berburu takjil, sahur on the road alias rangkaian aktivitas nan lain.
Di kembali riak semeriak itu, bulan suci Ramadhan perlu diletakkan sebagai madrasah kehidupan, utamanya dalam melakukan pembinaan ruhani bagi anak muda. Hanya dengan demikian, Ramadhan tidak berlalu begitu saja. Melainkan betul-betul memberi seberkas sinar sinar dari dalam hati sebagai modal untuk mengarungi bulan-bulan selanjutnya.
Bulan Ramadhan Untuk Generasi Muda
Ramadhan adalah syahrut tarbiyah (bulan pendidikan). Disebut sebagai syahrut tarbiyah karena pada bulan ini terdapat banyak sekali kandungan nilai-nilai pendidikan nan diharapkan bisa membina dan membimbing manusia nan menjalankan ibadah dalam bulan Ramadhan.
Untuk para generasi muda, setidaknya beberapa perihal berikut menjadi makna utama dari keberadaan bulan Ramadhan.
Pertama, Ramadhan seyogyanya menjadi ruang pembinaan ruhani, bulan nan tepat untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Takwa berfaedah kepercayaan nan teguh pada Allah, ditandai dengan al-khasyyah (takut), al-iman (iman), At-taubah (taubat), al-Tha’ah (patuh) dan al-ikhlas (ikhlas) (Ashaf, 2018).
Takut berarti rasa kuatir pada balasan dan siksaan Allah. Ketakutan itu membimbing seseorang untuk menjaga dan memelihara dirinya dari balasan dan siksa Allah (al-muttaqi man yuhmi nafsahu mi al-‘iqab). Al-Iman berarti keteguhan hati untuk menyatakan adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir serta takdir baik dan jelek dari Allah swt. At-Taubat sebagai manifestasi takwa berarti kembali dari jalan nan selama ini menjauhkan manusia dari Allah. Taat dan alim berfaedah emosi tunduk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-nya secara mutlak. Sementara itu, al-ikhlas berfaedah melaksanakan segala sesuatu nan digariskan oleh Allah dengan penuh rasa ketulusan.
Manifestasi takwa sebagaimana penjelasan tersebut perlu merasuk di sanubari anak muda lampau mewujud pada laku tindakan sehari-hari. Kualitas ketakwaan generasi muda niscaya diperlukan, utamanya dalam menghadapi akibat negatif dari globalisasi nan menggerus nilai-nilai agama.
Generasi muda nan tidak mempunyai fondasi ketaatan dan takwa nan kuat, niscaya kehilangan pedoman hidup. Lalu dia bakal didekap emosi gundah dan gelisah, tersesat di belantara dunia.
Kedua, Ramadhan bagi generasi muda semestinya menjadi ladang subur pembinaan rasa solidaritas sosial. Puasa Ramadhan dapat menumbuhkan semangat solidaritas sosial sebagai manifestasi dari proses transendensi (hablum minallah) nan mewujud dalam perilaku kemanusiaan nan luhur (hablum minan-naas).
Dengan menahan lapar dan dahaga sebagaimana subtansi dari puasa, maka seseorang bisa merasakan derita orang nan dirundung keterbatasan ekonomi, empati tersebut lantas menjatuhkan keakuan diganti sikap simpati dan murah hati kepada orang lain.
Ketiga, Ramadhan adalah training diri untuk mengelola hawa nafsu. Sebagaimana kerap kita lihat, banyak manusia nan menjadikan hawa nafsu sebagai ‘tuhan’, apalagi ditengah watak manusia nan sering merasa tidak cukup, serakah, serakah dan riya.
Imam Al-Ghazali menyampaikan, bahwa rasa lapar kala berpuasa sesungguhnya bisa membersihkan hati dari sifat tamak, rakus, riya dan dengki, serta pula menyebabkan hawa nafsu menjadi buruk sehingga tidak lagi bisa menyombongkan diri. Puasa bisa menundukan hawa nafsu manusia nan selalu membimbing kepada perbuatan maksiat. Hal ini karena sumber kekuatan hawa nafsu adalah makanan dan minuman (Zaprulkhan, 2007).
Pelatihan diri dalam mengelola nafsu bagi anak muda belakangan menjadi sangat urgen. Utamanya dalam merespons beragam macam kasus amoral nan dilakukan oleh anak muda, seperti kasus cabul dan pelecahan, tawuran, flexing harta, pemukulan, pemalak dan klitih. Segala macam kasus amoral tersebut adalah buah dari nafsu nan tidak terkendali. Bila Ramadhan betul-betul dimaknai dengan baik, maka kasus-kasus demikian semestinya bisa dikendalikan.
Keempat, Ramadhan adalah training toleransi bagi generasi muda. Orang nan berpuasa di bulan Ramadhan pandai mengendalikan dirinya, ego golongannya, lantas selanjutnya hidup harmoni dalam perbedaan. Inilah nan disebut sebagai toleransi.
Dalam kultur masyarakat Indonesia nan moderat, Ramadhan sesungguhnya telah menjadi wajah toleran masyarakat. Semangat toleransi tersebut terlihat dari keahlian untuk menerima perbedaan penentuan awal Ramadhan, jumlah rakaat, shalat tarawih, perbedaan referensi saat tarawih dan segala rupa corak perbedaan nan lain.
Puasa Ramadhan semestinya bisa melatih diri sendiri untuk tidak menghardik dan mencaci kepercayaan orang lain. Seorang muslim nan berpuasa semestinya lebih banyak mengukur kualitas diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang alias golongan nan lain.
Akhirnya, ulasan ini berhujung dengan angan bahwa bulan Ramadhan ini bisa menjadi madrasah terbaik bagi generasi muda untuk merengkuh sebanyak mungkin nilai-nilai luhur, membina spiritual, mental-emosional sekaligus pembinaan intelektual. Sehingga demikian Ramadhan diharapkan bisa melahirkan totalitas manusia paripurna (insan kamil) nan mempunyai kualitas unggul, baik sebagai makhluk perseorangan maupun sebagai makhluk sosial.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·