“Kalau kembalian kalian diminta untuk bantuan waktu shopping di minimarket nan itu, jangan mau. Donasi itu masuk ke gereja,” ujar seorang tokoh agama.
Donasi apa nan dimaksud, tentu Anda sudah mafhum.
Salah satu gerai minimarket terbesar di Indonesia memang giat meminta bantuan dari kembalian duit shopping konsumen. Mengingat besarnya jaringan minimarket tersebut, angkanya bisa mencapai miliaran rupiah. Fantastis.
Seiring berjalannya waktu, perputaran duit nan besar itu menimbulkan pertanyaan di akal publik. Ke mana uangnya? Untuk apa donasinya?
Salah satu rumor nan kemudian mudah digoreng di tengah umat muslim nan kebanyakan adalah rumor bahwa hasil bantuan tersebut masuk ke gereja. Sebagian umat muslim nan bersumbu pendek dan mempunyai pandangan tidak moderat kemudian mempersoalkan. Lalu muncul rekomendasi agar menolak memberi donasi.
Peristiwa ini bisa masuk ke dalam ranah agama. Namun, pada saat nan sama, juga bisa masuk ke dalam ranah filantropi. Bahwa ada satu aktivitas filantropi nan begitu besar, nan diinisiasi oleh sebuah jaringan minimarket nan juga besar, namun tidak bisa memberi satu transparansi penyaluran kepada publik. Ada satu lubang nan belum sukses ditutup oleh tokoh filantropi sekalipun hingga dewasa ini.
Dalam konteks pengetahuan masyarakat soal donasi, terutama aliran dan kebermanfaatan donasi, lembaga filantropi perlu memastikan transparansi dan edukasi mengenai program-program nan dijalankan. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang literasi zakat, seperti bakal ke mana biaya nan mereka donasikan. Hal ini mempunyai beberapa tujuan. Pertama, membangun trust lembaga filantropi di mata masyarakat. Kedua, dermawan lebih mantap dan percaya dalam mendonasikan hartanya. Ketiga, aktivitas kebaikan tersebut dapat menjadi inspirasi dan diduplikasi di beragam tempat.
Dalam riset berjudul Yang Muda nan Beraksi nan dirilis oleh Lazismu PP Muhammadiyah, diketahui bahwa 28,7% generasi Z nan lahir pada rentang tahun 1997-2012 memilih berderma dalam program pendidikan. Sementara 35,1% generasi milenial nan lahir dalam rentang tahun 1981-1996 memilih berderma dalam program nan sama.
Menariknya, rumor ekologi, rumor nan belakangan menjadi perbincangan di ruang publik, begitu diminati oleh generasi Z dan generasi milenial, kendati angkanya tetap rendah, dibandingkan dengan generasi baby boomers alias generasi nan lebih tua dari generasi milenial. Hanya 4% generasi baby boomers nan tertarik untuk berderma untuk program-program ekologi. Sementara ada 7,1% generasi milenial dan 12,4% generasi Z nan tertarik untuk berderma dalam program-program ekologi. Hal ini menjadi gambaran bahwa semakin muda seseorang, semakin mungkin dia terpapar dengan rumor ekologi.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh hasil penelitian IDN Research nan juga dikutip menjadi bagian dalam hasil penelitian Lazismu, bahwa generasi Z meyakini bahwa perubahan suasana merupakan rumor krusial dan bersedia untuk terlibat dalam tindakan nyata. Sementara itu, 80% generasi milenial peduli dengan akibat perubahan suasana bagi generasi ke depan. Mayoritas bersedia mengeluarkan lebih banyak duit untuk produk ramah lingkungan. Hal ini dapat menjadi pedoman bagi lembaga filantropi nan mau melakukan fundraising di kalangan anak muda.
Tanpa pedoman nan tepat, kampanye untuk menyerap donasi, khususnya dalam perihal amal bakal sangat rendah. Kendati Indonesia menjadi negara nan paling murah hati di bumi sebagaimana publikasi World Giving Index 2022, namun gap antara potensi amal nasional dengan hasil serapan tetap terlampau jauh.
Potensi amal di Indonesia tahun 2022 sebesar Rp. 327 triliun. Sementara realisasi penghimpunan ZIS/DSKL hanya sebesar Rp. 21,3 triliun. Realisasi serapan hanya mencapai nomor 6%. Dilansir dari riset Lazismu di atas, gap besar tersebut bisa disebabkan banyak faktor. Di antaranya pemahaman tentang zakat, izin nan belum mengikat dan aspek kepercayaan pada lembaga zakat.
Salah satu aspek nan mempengaruhi nomor keterserapan amal adalah Indeks Literasi Zakat (ILZ). ILZ nasional masyarakat Indonesia ada di nomor 75,26%. ILZ adalah adalah perangkat ukur untuk memandang seberapa jauh masyarakat memahami pengetahuan tentang zakat, baik pengetahuan dasar maupun lanjutan. Ada pertanyaan mengenai asnaf, objek zakat, regulasi, termasuk digital payment. Sementara itu, ILZ anak muda Muhammadiyah sedikit di atas nomor nasional, ialah 77,37%.
Angka literasi amal ini menjadi kesempatan nan kudu ditangkap oleh Lazismu sebagai lembaga filantropi di lingkungan Muhammadiyah. Bahwa anak muda Muhammadiyah mempunyai tingkat literasi amal nan relatif tinggi daripada rata-rata masyarakat. Hal ini krusial setidaknya lantaran dua alasan. Pertama, Muktamar Muhammadiyah ke-48 telah mengamanatkan pada segenap unsur pembantu ketua untuk konsentrasi pada dakwah milenial. Kedua, menurut info BPS 2020, kebanyakan masyarakat Indonesia berada di range usia 10 – 25 tahun alias Gen Z sebesar 27,94% dan usia 26 – 41 tahun alias generasi Milenial sebesar 25,87%.
Kita semua tentu berambisi Lazismu bisa tumbuh sebagai lembaga filantropi nan dipercaya masyarakat luas. Hal ini perlu diraih dengan kerja-kerja pandai dan ikhlas, dan menggunakan strategi nan tepat berasas info nan akurat.