Kisah Kedekatan Jong Islamieten Bond dan Ahmad Soerkati - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Berdirinya sebuah organisasi kepemudaan di masa Hindia-Belanda mempunyai tujuan yangg sangat penting, salah satunya adalah sebagai proses diplomasi meraih kemerdekaan.

Berdirinya Jong Java

Di paruh awal abad ke-20, Hindia sudah diwarnai beragam organisasi perjuangan nasional, salah satunya adalah organisasi kepemudaan dengan beragam latar belakang tujuan dan maksudnya. Namun, yangg pasti organisasi ini tidak lain berangkat dari poros keterpelajaran, kemahasiswaan dan kepemudaan.

Maka, dengan hadirnya organisasi-organisasi kepemudaan tersebut, setidaknya mempermudah mengafirmasi tujuan pendapat dan bunyi dalam membangun persatuan dan kebangsaan.

Kemunculan reaksi semangat pejuang muda, bertolak dari rasa kecewa dari keberadaan kaum muda yangg semakin hari diabaikan di dalam Budi Utomo. Artinya, para pemuda tidak merasa puas dengan keberadaan Budi Utomo yangg condong menjadi perkumpulan kaum tua. Sehingga para pemuda semakin sadar bahwa mereka kudu mempunyai perkumpulan sendiri demi masa depan mereka.

Berangkat dari masalah tersebut, Satiman, Kadarman, dan Sunadi pada tanggal 7 Maret 1915 membentuk wadah bagi kaum muda pribumi ialah Tri Koro Dharmo yangg nantinya berubah nama menjadi Jong Java.

Munculnya Gagasan Jong Islamieten Bond

Hal yangg menarik, di seperempat paruh awal abad 20 M, belum ada organisasi pemuda yangg mempunyai asas keagamaan. Maka, dalam kongres yangg ke 7, Raden Syamsurijal (Ketua Jong Java) mengusulkan adanya pelajaran kepercayaan Islam di dalam Jong Java. Namun, usulan tersebut tidak direspon, lantaran Jong Java merupakan perkumpulan kaum muda bukan berlatar belakang agama. Bahkan terdapat tuduhan bahwa Sarekat Islam sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java untuk memberikan label baru dalam corak kepercayaan bagi Jong Java.

Memang kedekatan Raden Syam terhadap tokoh-tokoh besar Islam tidak bisa dipungkiri, misalnya Agus Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, A.M. Setiadji (Sarekat Islam), dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Selain itu, pendapat tentang Islam masuk di tubuh Jong Java telah dia diskusikan dengan kaum muda lain yangg juga mendukung bakal perihal itu, apalagi mereka siap merealisasikan pendapat Syam tersebut, tokoh muda tersebut Mohammad Roem, Muhammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, dan Jusuf Wibisono.

Namun, ada perihal menariknya bahwa tanpa Raden Syamsurijal mengungkapkan gagasannya di Kongres Jong Java ke 7 tahun 1924, maka tidak bakal terbentuk yangg namanya Jong Islamieten Bond. Asumsinya, Raden Syam sebenarnya hendak mengislamkan Jong Java.

Gagasan tersebut bertolak dari keringnya nuansa kepercayaan di dalam kancah aktivitas nasionalis-kebangsaan. Maka, dari persoalan tersebut, Raden Syam dan bertepatan dengan kongres tersebut menyampaikan apa maksud yangg diinginkan untuk Jong Java kedepan.

Berdirinya Jong Islamieten Bond

Akan tetapi, setelah diadakannya pemungutan bunyi sebanyak dua kali, hasilnya seimbang. Raden Syam, sebagai ketua sidang, berkuasa menentukan usulan diterima alias ditolaknya sebuah keputusan-keputusan. Maka, secara demokratis, dia mengambil sikap bahwa Islam tidak dijadikan asas baru bagi Jong Java, karena dia cemas bakal menimbulkan perpecahan di dalam Jong Java.

Dengan rasa yangg tidak puas bakal keputusan tersebut, maka dia memutuskan untuk keluar dari Jong Java dan bakal merealisasikan gagasannya berbareng para pendukung-pendukungnya.

Pasalnya, usulan mengenai asas Islam sebagai persatuan pemuda sudah diterima oleh sebagian kalangan yangg mendukung, seperti Raden Kasman Singodimedjo, Supinah, Moeso AlMachfoed, dan Soehodo (sekpri Paku Alam VIII).

Mereka beranggapan bahwa kepercayaan Islam yangg bakal mempersatukan para pemuda. Karena selama ini dalam pergaulan antar suku/etnik begitu sangat kaku bak laksana minyak dengan air.

Maka, dari keputusan tersebut, Raden Syam dan para pendukung muda dan tua, menyepakati untuk mendirikan perhimpunan muda Islam di Hindia tersebut.

Rapat-rapat pembukaan dilaksanakan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Kauman. Pada rapat tersebut menyepakati nama organisasinya adalah Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam) pada 1 Januari 1925.

Walaupun secara de facto JIB berdiri di Yogyakarta pada 31 Desember 1924, bakal tetapi secara de jure JIB berdiri di Jakarta pada 1 Januari 1925 dan diresmikan pada 1 Maret 1925. H.O.S. Tjokroaminoto ikut menghadiri pendirian JIB di Yogyakarta yangg berjalan dalam sebuah ruangan dengan diterangi sinar lampu teplok. Pendirian Jong Islamieten Bond ini sekaligus mendapat restu dari Haji Agus Salim, dan KH. Ahmad Dahlan.

Kedekatan Ahmad Soerkati dan Ahmad Dahlan

Selain tokoh-tokoh Islam yangg disebut di atas, tokoh Islam lain yangg tidak kalah krusial peranannya bagi berdirinya JIB, dia adalah Ahmad Soerkati (yang nantinya mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah).

Ulama kelahiran Dongula, Sudan itu merupakan sahabat dekat dari KH. Ahmad Dahlan. Mereka sering kali tukar pikiran mengenai keintelektualan keislaman. Perkenalan kedua tokoh tersebut adalah bermulai dalam sebuah perjalanan dengan naik kereta api menuju Surabaya, Ahmad Soerkati berkenalan dengan Ahmad Dahlan.

Perkenalan yangg tidak disengaja itu terjadi begitu saja. Ahmad Dahlan saat itu sedang enak-enak membaca al-Manâr. Ahmad Surkati mengenal dan menjalin hubungan dengan Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah.

Dengan mempunyai kesamaan pemikiran Islam reformis, dan pengaruhnya terhadap pembacaan al-Manar, keduanya berkeinginan untuk bersama-sama mengembangkan pemikiran Abduh di Indonesia.

Tekad tersebut dibuktikan dengan KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta, dan Ahmad Soerkati mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jakarta (Batavia) 6 September 1914. 

Kedekatan Ahmad Soerkati dan Aktivis JIB

Sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Agus Salim dan Kasman Singodimedjo juga kerap kali berbincang dengan Ahmad Soerkati mengenai beragam masalah.

Syaikh Soerkati juga menjadi pembimbing spiritual Jong Islamieten Bond, di mana kala itu para aktivisnya seperti Muhammad Natsir, Mohammad Roem, dan pelajar lainnya yangg belajar kepada beliau.

Ahmad Soerkati yangg begitu sangat tidak suka penjajah. Ia merasa sedih dan kecewa umat Islam Indonesia diperbudak oleh kolonial.

Soerkati berupaya mengubah kondisi tersebut dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat Islam bakal bahayanya penjajahan. Sikap anti kolonialisme diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda membedakan manusia berasas ras dan golongan. Maka, sikap berdikari dan anti kolonialisme telah ditanamkan kepada murid-muridnya di Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Menurut Ahmad Soerkati, mencapai kebebasan dari kolonialisme tidak dapat diraih dengan jiwa rendah. Ditegaskan, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas merdeka. Kolonial bukan saja menjajah fisik, bakal tetapi juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia.

Soerkati tidak hanya memperhatikan pendidikan bagi murid-muridnya. Melalui perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Soerkati memberikan kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk menggunakan akomodasi pendidikannya. Mereka secara berkala mengikuti pidato dan kursus kepercayaan yangg diadakan di gedung Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Soerkati seringkali mengisi ceramah-ceramah yangg diselenggarakan Jong Islamieten Bond. Atas permintaan Tjokrohadikoesoemo, Bestuur Jong Islamieten Bond Afdeling Batavia, pada bulan November 1929, Al-Irsyad Al-Islamiyyah menunjuk Ali Harharah guna memberikan studi tentang kepercayaan Islam dan bahasa Arab bagi personil Jong Islamieten Bond pada setiap Ahad.

Referensi

Siswanto Masruri, Jong Islamieten Bond dan Cendekiawan Muslim di Indonesia, (Artikel, UNISIA, 9.XI.III.1991).

Munandar Raharjo, Dyah Kumalasari, “Perkembangan Organisasi Tri Koro Dharmo Pada Masa Pergerakan Nasional Tahun 1915-1918”, (Risalah: Vol. 1, No. 2, 2016).

Momon Abdul Rahman, dkk, Jong Islamieten Bond: Pergerakan Pemuda Islam 1925-1942, (Jakarta: Museum Sumpah Pemuda, 2006).

Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999).

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id