Ketika Henry Corbin Mengkritik Gagasan John Wansbrough - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Dewasa ini, studi Islam oleh para orientalis dinilai banyak yangg tidak objektif. Kebanyakan dari mereka mereduksi dan merekontruksi sejarah Islam serta makulat Islam seperti membangun gedung di atas pasir dan lebih-lebih lagi terkesan mendiskreditkan Islam. Salah satu tokoh utamanya adalah John Wansbrough—seorang orientalis berkebangsaan Amerika dan juga seorang sejarawan yangg mengajar di Sekolah Studi Oriental dan Afrika Universitas London.

Gagasan Wansbrough tentang Sejarah Islam

Wansbrough disebut-sebut telah mendirikan sekolah studi Islam “revisionis”, melalui kritik mendasarnya terhadap kredibilitas sejarah narasi Islam klasik tentang permulaan Islam dan upayanya untuk mengembangkan jenis awal Islam pengganti yangg secara historis lebih kredibel.

Ia berdasar secara umum melalui skeptisismenya dan yangg paling terkenal tentang kepenulisan al-Qur’an. Bahwa sebenarnya al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan selama 200 tahun dan semestinya tidak berasal dari abad ke-1 Hijriah di Arab Barat, tetapi di abad ke-2/ke-3 Hijriah di Abbasiyah Irak.

Melalui tulisannya yangg berjudul “Analisis Sastra terhadap Al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi-metodologi John Wansbrough”, Andrew Rippin mengungkapkan bahwa dalam mengkaji Islam masa awal, sangat sedikit sekali referendum yangg dapat memberikan kesaksian netral, baik arkeologis, bukti numismatik, ataupun dokumen-dokumen historis (Richard C. Martin, 2002).

Oleh karenanya dalam mengatasi persoalan tersebut, Wansbrough berupaya melakukan upaya sistematik melalui dua karyanya: Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (1977) dan The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History (1978).

Dalam kedua bukunya tersebut, Wansbrough mengemukakan kritik terhadap nilai sumber-sumber dari titik pandang literer, ialah untuk melepaskan pandangan teologis yangg melekat dalam sejarah berkenaan asal-usul Islam. Bahkan secara radikal, Wansbrough mengatakan bahwa apa bukti yangg mendukung kecermatan historis pandangan-pandangan tradisional mengenai kompilasi kitab Al-Qur’an setelah kematian Muhammad? Dan kenapa kita tidak sebaiknya mempercayai sumber-sumber Muslim?

Anggapan tentang style referensial Al-Qur’an juga membawa prasangka bagi Wansbrough. Menurutnya, Al-Qur’an sebagai arsip yangg tersusun dari ayat-ayat referensial yangg dikembangkan dalam kerangka polemik Yahudi-Kristen, diletakkan bersama-sama oleh sarana-sarana konversi sastra, konversi narasi, dan konjungsi versi-versi paralel kisah yangg disebut Wansbrough sebagai “varian tradisi” (Richard C. Martin, 2002).

Kritik Henry Corbin

Anggapan-anggapan yangg demikian, membikin Henry Corbin geram dan melakukan kritik terhadap pendapat yangg mereka kembangkan. Asumsi mereka mengenai masa Islam awal seakan memotret dengan bingkai bentrok yangg sama tanpa memandang “milieu” bumi Islam. Wansbrough menggabarkan masa-masa awal Islam sama dengan masa-masa intitusi Gereja. Dengan ini, Corbin menjawab “framing” tersebut bahwa intitusi Gereja sebagai “dogmatic magisterium”, tidak ada dalam Islam.

Melalui style argumentasinya yangg unik Platonis, Henry Corbin memaknai kepercayaan sebagai narasi meta-historis nan primordial—sehingga tatkala memasuki ranah sejarah, dia mempunyai beragam tingkatan. Baginya, kepercayaan bukanlah kejadian post-historis, tetapi trans-historis. Artinya, kepercayaan dinilai tidak sebagai suatu kejadian pasca sejarah, melainkan kejadian lintas sejarah.

Lebih lanjut, Corbin juga mengkritik orientalis lainnya yangg mengkaji tentang sejarah makulat Islam/Arab. Bahwa membingkai makulat Islam dengan konteks sejarah peradaban adalah contoh setereotip. Pandangan yangg demikian bakal mereduksi kejadian yangg sangat kompleks dengan narasi yangg seolah sederhana. Bagi mereka, Arab hanyalah tempat transit, sekedar menerima dan mentransmisikan kembali makulat Yunani ke Eropa.

Dalam bukunya “History of Islamic Philosophy”, Corbin memberi nama pada bumi pemikiran yangg menjadi subjek dari kitab tersebut: Filsafat Islam, bukan lagi makulat Arab. Namun dalam pengistilahan ini, Corbin tidak bermaksud mengenyampingkan konsep ‘Arab’ sebagai ekuminisme spiritual, tetapi untuk memperluas penyebutan konsep makulat yangg lebih menyeluruh. Dan juga tanpa mengurangi tingkat inspirasi kenabian dimana dia muncul dalam sejarah dengan wahyu Al-Qur’an. Pada dasarnya, peluasan pengistilahan ini adalah demi menolak klaim yangg tidak setara oleh para orientalis dan sekaligus menjadi bukti dan kebenaran religius spiritualitas Islam (Henry Corbin, 2014).

Selain itu, Corbin juga hendak menunjukkan bahwa meditasi filosofis Islam tidaklah juga berhujung berbarengan dengan kematian Averroes (Ibnu Rusyd). Justru dengan kematian Ibnu Rusyd itulah yangg menumbuhkan meditasi filosofis dalam Islam. Di Timur, dan khususnya di Iran, Averroisme luput dari perhatian khalayak, dan kritik al-Ghazali terhadap makulat tidak pernah dianggap mengakhiri tradisi yangg diresmikan oleh Ibnu Sina.

Pengikut Wansbrough

Salah satu pengikut dari Wansbrough adalah Mun’im Sirry—seorang pengajar asal Indonesia yangg saat ini menjadi asisten guru besar di Unversity of Notre Dame Amerika Serikat. Background akademik antara perkawinan kultural Indonesia-Pakistan-Amerika, telah membangun horizon pemikiran Mun’im Sirry tentang Islam dan terlihat sangat “binal”. Hal ini tampak sekali pada buku-bukunya seperti: Islam Awal: Antara Madzhab Tradisionalis dan Revisionis (2015), Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis (2017), dan Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal (2018).

Sebagaimana dilansir dari kanal Youtube LSF Nahdliyyin dalam Webinar Publik yangg bertema “Problem Epistemologi Revisionisme Islam”, Muhammad Al-Fayyadl (Gus Fayyadl) memberikan kritik yangg tajam terhadap kitab tersebut ialah apa yangg disebut sebagai “meta-kritik” atas Revisionisme Islam.

Bagi Gus Fayyadl, senada dengan Corbin, Revisionisme Islam ini adalah “problem sejarah”. Yakni langkah membaca sejarah, langkah menulis sejarah, dan langkah memproduksi sejarah. Kemudian dalam persoalan masa Islam Awal, Gus Fayyadl menanggapi bahwa ini merupakan suatu kepercayaan Islam yangg diimajinasikan oleh sarjana Revisionis dan membentuk representasi yangg lain. Dengan kata lain, sarjana revisionis tersebut sedang membayangkan suatu Islam yangg asing dari Islam yangg ada saat ini.

***

Hemat penulis, sarjana Revisionis tersebut telah menganggap bahwa Islam hanyalah sekedar realitas sejarah saja. Adapun pendekatan-pendekatannya melalui tafsir, sastra, dan sirah, penulis melihat, sarjana revisionis menganggap Al-Qur’an hanya sebagai dukumen teks, structure, dan kitab sastra yangg mempunyai nuansa sastra sebagaimana umumnya. Yakni suatu perihal yangg dilebih-lebihkan, diindah-indahkan dan tidak sesuai kebenaran sejarah yangg ada. Oleh karenanya, umat Islam jangan hanya memandang dari sisi positivistiknya saja, juga kudu meragukan dan melakukan pengkajian ulang melalui beragam pendekatan.

Sebab, sarjana Revisionis memandang bahwa dulu saat diturunkannya Al-Qur’an adalah masa dimana gandrungnya sastra dan banyak penyair dengan gubahan syair yangg menakjubkan. Selain itu, mereka juga meragukan sejarah-sejarah masa awal Islam yangg ada di kitab-kitab sirah. Sebab dua kepercayaan yangg dulu (Yahudi-Kristen) juga mempunyai kebenaran sejarah yangg kabur. Maka dari itu mereka menyamakannya melalui kajian origin historisnya.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id