Kenceng Ideologi, Lentur Toleransi: Jalan Tengah Muhammadiyah melalui Harmoni Bayani, Burhani, dan Irfani - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 5 hari yang lalu

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Sebuah percakapan sederhana namun berbobot berjalan di kediaman Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, Fachrur Rozi.

Ditemani teh panas yangg mengepul perlahan, pembahasan semakin menarik saat menyangkut mengerti wasathiyah Muhammadiyah. Di teras rumah yangg asri dengan rimbun pohon mangga dan kelengkeng itu, Kiai Rozi menemani obrolan serius pada waktu senja akhir pekan lalu, Ahad, (19/1/25).

Bagaimana langkah sebuah organisasi Islam terbesar tetap kokoh pada ideologi purifikasi, namun pada saat yangg sama bisa merangkul pemikiran yangg berkemajuan, apalagi toleran terhadap perbedaan?

Jawabannya bukan ditemukan dalam perdebatan teologis yangg sengit, melainkan dalam etika memberi dan semangat kehadiran di tengah masyarakat.

“Dengan mendahulukan Irfani (Nurani/Sufistik), Muhammadiyah memilih untuk menyediakan ambulan daripada menghabiskan daya untuk ribut soal kejuaraan jasa alias perbedaan amalan, membikin Islam berkemajuan menjadi solusi praktis, bukan hanya jargon,” paparnya.

Dilema Wasathiyah di Tengah Tarik-Menarik Ideologi

Ketegangan antara pandangan yangg mau memurnikan kepercayaan secara ketat (sering disebut Salafi alias ekstrem kanan, Red) dan pandangan yangg mau berpikir terbuka seiring tuntutan era (sering dikaitkan dengan Liberal alias ekstrem kiri, Red), menurut Kiai Rozi, adalah realitas yangg dihadapi umat Islam kontemporer.

Organisasi besar seperti Muhammadiyah, dengan sejarahnya yangg kaya, mau tidak mau berada di persimpangan jalan ideologis ini. Lalu, gimana Muhammadiyah menetapkan koridor agar tidak terseret ke salah satu ekstrem?

Baca Juga: Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Dosen Fakultas Dakwah UIN Walisongo itu menjelaskan, bahwa koridor utama Muhammadiyah adalah Wasathiyah alias Islam jalan tengah yangg berkemajuan. Konsep ini mengakui dua pendekatan dalam beragama: Purifikasi (pemurnian) yangg diterapkan pada ranah ibadah murni, dan Tajdid (pembaruan/rasionalitas) yangg diterapkan pada ranah mu’amalah (interaksi sosial).

Kiai Rozi memperingatkan, purifikasi tanpa pemisah bisa menyebabkan kepercayaan kehilangan dimensi sosialnya, membuatnya eksklusif. Sebaliknya, tajdid tanpa koridor bakal membawanya jatuh ke dalam liberalisme yangg tidak berdasar. Koridor yangg dibutuhkan adalah sebuah kerangka berpikir yangg seimbang.

Tiga Gerbang Kearifan: Dari Teks hingga Hati

Untuk menjaga keseimbangan, Muhammadiyah merumuskan Wasathiyah dalam harmoni tiga pendekatan: Bayani, Burhani, dan Irfani. Tiga pilar ini memastikan bahwa kebenaran tidak menjadi klaim tunggal yangg kaku.

Bayani adalah fondasi tekstual; bunyi “halal-haram” yangg berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ini adalah penentu ideologi yangg kokoh.

Burhani adalah gerbang kerasionalan dan pengetahuan pengetahuan. Ia adalah pembuktian ilmiah dan argumentasi akal, menjelaskan kenapa teks berbicara demikian—seperti penggunaan pengetahuan hisab dalam penentuan waktu ibadah. Ini adalah penentu pembaruan yangg logis.

Namun, yangg paling membedakan dan menjaga kedamaian sosial adalah Irfani. Irfani adalah dimensi sufistik alias tasawuf yangg menuntun pada etika, kerendahan hati, dan kearifan sosial. Inilah kunci yangg melenturkan ideologi yangg kencang.

Prinsip Wasathiyah pun terangkum dalam sikap: “Kenceng dengan pilihan kita, tapi toleran dengan orang lain”. Sikap ini secara tegas menolak klaim kebenaran tunggal: “Kita kan nggak boleh merasa paling betul sendiri. Kita meyakini bahwa yangg kita lakukan adalah benar, tetapi sangat mungkin di sana juga benar.”

Nurani sebagai Penjaga Etika Sosial

Pendekatan Irfani menjadi krusial dalam hubungan sosial dan isu-isu yangg sensitif. Ia berfaedah sebagai penjaga etik yangg melampaui kebenaran teks.

Sebagai contoh, secara teologis (Bayani), non-Muslim diyakini sebagai kafir. Namun, Kyai Rozi menegaskan bahwa secara Irfani, tidak ada urgensi untuk mengucapkannya: “Tidak perlu kita meng-kafir-kafirkan. Kan sudah kafir, kok di-kafirkan.” Dengan Irfani, kepercayaan ideologis tidak perlu diimplementasikan dalam corak sapaan sosial yangg memecah.

Hal ini juga bertindak dalam jasa sosial yangg diilhami Surah Al-Ma’un. Dulu, Ma’un diterjemahkan menjadi pendirian panti didikan (Burhani). Namun, Irfani menyadarkan bahwa anak-anak lebih nyaman berbareng keluarga. Irfani menuntun pada etika memberi dengan penuh kearifan.

“Menolong orang lain dengan biaya umat memang perlu membikin laporan demi akuntabilitas lembaga. Tetapi kudu dilakukan dengan penuh kearifan, sehingga tidak terkesan mempermalukan penerima,” tegasnya, yangg kemudian melahirkan pola support langsung ke rumah untuk menjaga martabat penerima bantuan.

Bahkan dalam menyikapi tradisi masyarakat seperti kunjungan kubur—yang sering menjadi titik bentrok antara Salafi dan tradisi lokal—solusinya bukan larangan alias kritik, melainkan kehadiran dan contoh nyata. Daripada berdebat, Kiai Rozi menawarkan solusi praktis yangg elegan: membujuk mereka umrah melalui biro Muhammadiyah, lampau di sana memberi contoh etika kunjungan ke makam Rasulullah dan para sahabat.

Kesimpulan: Ideologi yangg Melayani

Saat azan Magrib bergema dari masjid yangg berjarak hanya 50 meter, Kiai Rozi menutup perbincangan dengan kalimat yangg ringkas dan padat. Ia merangkum seluruh prinsip Wasathiyah sebagai konsentrasi pada tindakan nyata.

“Tidak usah ribut,” katanya tentang persaingan jasa alias perbedaan amalan. “Kita menyediakan ambulannya saja orang sudah senang.”

Pesan ini terang benderang. Islam berkemajuan yangg diusung Muhammadiyah adalah rayuan untuk menjadi Muslim yangg ideologisnya kokoh (Bayani), pemikirannya logis (Burhani), namun hatinya lentur dan toleran (Irfani). Gerakan ini bergerak dari teks ke ilmu, dan akhirnya, menyentuh nurani, menjadikannya jalan tengah yangg menolak ekstrem kanan dan kiri. (Agung)-Nely

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id