Kenapa Umat Islam Susah Disekularkan? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

“Sekular” alias “sekularisasi” adalah sebuah kata “sensitif” nan bisa memicu problematika jika diperdengarkan ke telinga beberapa kalangan umat Islam. Ketika mendengarnya, khayalan mereka seketika langsung terbang ke sebuah segmen dimana ada sebuah gelombang “kekuatan” nan berupaya memisahkan kepercayaan dari urusan-urusan publik, khususnya urusan negara.

Imajinasi seperti itu tidaklah muncul tiba-tiba. Ia dibentuk dari tumpukan-tumpukan bagian sejarah Islam awal nan tak mengenal kata “pemisahan” antara urusan kepercayaan dan urusan negara. Bernard Lewis, dalam artikelnya berjudul State and Society under Islam (1989), secara perincian mengulas musabab kenapa umat Islam tak bakal bisa berbaikan dengan kata “sekular” serta upaya “sekularisasi”.

Itu semua bermulai dari figur Muhammad nan merepresentasikan dua hal; Nabi utusan Tuhan sekaligus ketua negara. Supaya pembaca lebih mudah memahami maksudnya, Bernard Lewis kemudian menyuguhkan ilustrasi komparatif antara kepercayaan Kristen dan Islam dalam kaitannya dengan urusan kenegaraan.

Dalam catatan sejarah, Kristen lahir sebagai sebuah kepercayaan nan “tertindas”. Ia baru memperoleh kejayaannya dan mendapat tempat di kekuasaan setelah kaisar Roma secara resmi memeluk kepercayaan Kristen. Setelahnya, Kristen menjadi kepercayaan nan dominan di seantero wilayah kekaisaran Roma.

Sementara itu, Islam mempunyai kisah lain. Pada mulanya, dia memang kepercayaan pinggiran nan ditindas oleh para pembesar-pembesar pagan dari Mekkah. Karena penindasannya semakin menjadi-jadi, Muhammad, sang pembawa risalah Islam, memilih langkah eksodus ke Madinah diiringi oleh para pengikut setianya. Di sana, dia aktif menyebarkan aliran Islam sekaligus membangun sebuah “negara” nan dia pimpin sendiri.

***

Singkat cerita, negara nan didirikan Muhammad di atas prinsip aliran Islam tersebut, semakin luas dan berpengaruh. Ia sukses sebagai Nabi penyebar aliran Islam dan gemilang menjadi kepala negara. Model kepemimpinan Muhammad inilah nan menginspirasi para penerusnya; sosok agamawan sekaligus pemimpin negara. Empat khalifah penerus estafet Nabi hingga para khalifah di era dinasti keislaman berkedudukan dobel sebagaimana nan dijalankan Nabi; agamawan sekaligus pemimpin negara. Berpijak dari rekaman sejarah tadi, maka mafhum kenapa banyak umat Islam nan menolak sekularisasi, lantaran memang sejak awal sejarahnya, Islam dan negara sudah menyatu dalam sosok khalifah/pemimpin.

Setelah peristiwa Renaissance dan revolusi Perancis, rumor tentang sekularisasi alias pemisahan kepercayaan dari urusan negara semakin menguat. Beberapa negara Barat nan kebanyakan warganya memeluk kepercayaan Kristen, tidak keberatan untuk menerapkan mengerti sekularisme dalam sistem negaranya. Jika kita flashback ke sejarah kekristenan, kesatu-paduan antara kepercayaan dengan negara memang bukanlah “DNA” dari kepercayaan Kristen. Jika mereka menghendaki sekularisasi, artinya mereka hanya kembali ke “fitrah”nya saja.

Maraknya rumor sekularisasi di Barat, tidak terlalu menarik perhatian negara-negara Islam. Beberapa sarjana muslim, lebih cocok dengan rumor lain nan datang berbarengan dengan rumor sekularisme, ialah nasionalisme dan liberalisme. Dua rumor tersebut dapat diterima lantaran domain kepercayaan bisa disesuaikan di dalamnya dan tidak serta merta “dicampakkan”. Isu nasionalisme sukses mengubah langkah pandang umat Islam mengenai hubungan kepercayaan dengan negara. nan semula beranggapan bahwa “Umat Islam itu adalah satu organisasi nan terbagi ke beberapa negara seperti Turki, Arab, Persia, dan lain-lain”, menjadi “Arab itu adalah sebuah negara nan di dalamnya terdapat umat Islam, Kristen, dan lain-lain”. Sementara, spirit liberalisme mulai “diperhitungkan” oleh beberapa sarjana Muslim setelah sadar bakal ketertinggalan umat Islam dari kedigdayaan Barat lantaran terjerembab pada paham-paham keagamaan nan jumud dan anti-modernitas.

***

Hingga beberapa dasawarsa setelahnya, sekularisme tak betul-betul bisa bercokol secara paripurna di negara-negara Islam. Malahan, muncul tanda-tanda penolakannya diiringi dengan tumbuhnya beragam aktivitas dan organisasi nan menginginkan kembalinya kejayaan Islam masa lampau. Gerakan-gerakan ini berupaya menampilkan tanda-tanda & simbol-simbol nan menjadi karakter unik tradisi Islam di ruang publik. Salwa Ismail dalam bukunya Rethinking Islamist Politics; Culture, the State and Islamism menyebut aktivitas ini sebagai “Islamist Politics”.

Menurut Salwa Ismail, Islamist Politics atau Re-Islamization bisa dimasukkan ke domain kajian Islamism yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini menjadi wilayah kajian nan digandrungi oleh sarjana Barat. Semua simbol Islam nan nampak dan menjamur di ruang publik seperti penggunaan hijab, konsumsi literatur-literatur keagamaan, sistem perbankan Islam, dll, dikategorikannya sebagai Islamist Poltics.

Saat menganalisa kejadian di atas, Salwa Ismail memakai pendekatan terintegrasi (integrated approach). Pendekatan ini meniscayakan dua hal; penggunaan pemahaman komparasi historis dan aktivitas islamis kontemporer (Comparative-Historical and Contemporary Islamist Movements Understanding). Pendekatan ini menekankan andil posisi sejarah dalam aktivitas islamis itu sendiri.

Jadi, munculnya aktivitas Islamist Politics ini juga tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Islam nan panjang. Gerakan ini tak serta merta timbul lantaran rusaknya moral manusia era sekarang dan tekanan ekonomi masyarakat Muslim. Keterlibatan akar sejarah juga berkedudukan krusial atas munculnya aktivitas ini.

***

Peter Mandaville, mempunyai istilah dan konklusi lain saat mengawasi indikasi munculnya simbol-simbol Islam. Ia menamainya sebagai “Muslim Politics”. Dalam bukunya nan berjudul Global Political Islam, ia beranggapan bahwa simbol-simbol dan istilah-istilah nan berangkaian dengan Islamism secara berangsur-angsur mengalami transformasi nan cukup signifikan.

Mandaville mengatakan bahwa Islamisme style lama nan mau merebut kekuasaan negara secara totalitas, kudu berhadapan dengan kalangan Muslim lain nan mempunyai langkah berpolitik nan berbeda. Tranformasi style politik Islamism ini, menurut Mandaville, merupakan sebuah keniscayaan untuk dilakukan agar bisa meraup simpatisan nan lebih luas lagi, mengingat lawan-lawannya juga melakukan perihal nan sama.

Supaya tetap relevan dengan zaman, menurut Mandaville, para Islamis kudu aware dan memahami betul konteks dan lingkungan di mana mereka berjuang.     

Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa style berpolitik sebagian umat Islam nan selalu membawa identitas keislamannya tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masa lalu. Kesatuan kepercayaan dan negara sebagai kunci sukses sebuah pemerintahan tak bakal bisa lepas dari akal beberapa kalangan umat Islam selama khayalan idealisme kejayaan Islam masa silam tetap tertancap kuat. Sekian.

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id