Kemerdekaan Guru sebagai Fondasi Pendidikan Merdeka - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 6 hari yang lalu

Oleh: Suko Wahyudi*

Pendidikan adalah ruang dialektika yangg tak pernah berakhir bergejolak. Ia menjadi wadah tempat bertemunya gagasan, teori, dan jenis model manajemen yangg datang silih berganti. Masing-masing menawarkan diri sebagai jawaban atas problematika bangsa ini.

Hampir setiap hari kita disuguhi wacana tentang kurikulum baru, metode pengajaran yangg lebih mutakhir, hingga teknologi digital yangg dijanjikan bisa merevolusi langkah belajar. Bahkan kadang kala, dalam tempo yangg singkat, model pengelolaan sekolah berganti seolah sekadar mengikuti arus tren.

Namun, di kembali hiruk pikuk penemuan dan semboyan modernisasi, ada perihal yangg kerap terlupakan, ialah keberadaan pembimbing sebagai pusat, sebagai ruh dari pendidikan itu sendiri.

Apapun corak metode yangg lahir, seberapa pun canggihnya teknologi yangg digunakan, semuanya tak bakal pernah dapat meniadakan peran sentral guru. Guru adalah ujung tombak yangg menentukan arah, suasana, dan keberhasilan proses belajar. Tanpa pembimbing yangg merdeka dan kreatif, pendidikan bakal kehilangan jiwa, meski mungkin tampak kaya bakal metode dan perangkat.

Inilah titik yangg memanggil kita untuk kembali merenungkan makna kemerdekaan guru, sebuah otonomi diri yangg melahirkan kreativitas, dan darinya tumbuh generasi Indonesia baru yangg berbudi pekerti merdeka.

Guru sebagai Ruh Pendidikan

Sayangnya, dalam banyak diskursus pendidikan, posisi pembimbing sering terpinggirkan. Fokus kebijakan lebih banyak diarahkan pada kurikulum, model penilaian, manajemen sekolah, apalagi pembangunan prasarana fisik. Namun tanpa kehadiran pembimbing yangg sepenuh hati menghidupkan ruh pendidikan, semua itu tak lebih dari teks yangg beku.

Guru sejatinya bukan sekadar penyampai ilmu, melainkan pembimbing jiwa. Ia datang bukan hanya sebagai pembimbing di kelas, melainkan teladan hidup yangg menyalakan nilai. Ketika pembimbing terbelenggu patokan kaku, dibatasi kreativitasnya, dan tidak diberi ruang otonomi untuk tumbuh, sesungguhnya pendidikan sedang kehilangan arah dan makna terdalamnya.

Baca Juga: Demokrasi dan Pentingnya Pendidikan

Sejarah telah menjadi saksi bahwa kebangkitan bangsa selalu bermulai dari guru. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, mengingatkan bahwa pendidikan adalah usaha
kebudayaan untuk memanusiakan manusia.

Baginya, pembimbing adalah tokoh sentral yangg tidak hanya mengajarkan, tetapi juga membimbing, menuntun, dan menyalakan semangat. Rumusannya yangg terkenal, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” menegaskan bahwa pembimbing adalah teladan, penggerak semangat, sekaligus pemberi dorongan. Di situlah kemerdekaan pembimbing menemukan relevansinya.

Kemerdekaan yangg Melahirkan Kreativitas

Kemerdekaan pembimbing bukan sekadar kewenangan administratif untuk mengatur kelas, melainkan kebebasan diri dalam makna yangg lebih hakiki. Dari kemerdekaan lahirlah kreativitas. Guru yangg merdeka bisa menyesuaikan pengajaran dengan karakter murid, menciptakan suasana kelas yangg hidup, dan menghadirkan pembelajaran yangg bermakna.

Namun membangun kemerdekaan itu tidaklah sederhana. Ia mengenai erat dengan dimensi kultural, struktural, dan perseorangan yangg saling terjalin. Pada dimensi kultural, kemerdekaan pembimbing hanya bakal tumbuh jika lingkungan pendidikan bernapas dalam suasana merdeka.

Sekolah semestinya menjadi ruang ekspresi, tempat pembimbing dan siswa sama-sama diberi kesempatan untuk menumbuhkan diri. Namun realitas kita tetap dipenuhi roh birokrasi yangg kaku.

Guru lebih sering diperlakukan sebagai pelaksana kebijakan, bukan penggerak pembelajaran. Kreativitasnya dibatasi oleh tumpukan laporan administratif yangg kudu dipenuhi. Dalam suasana yangg menekan seperti itu, gimana mungkin lahir khayalan dan inovasi?

Ki Hadjar Dewantara pernah menegaskan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.”

Jika anak-anak kudu diberi kebebasan untuk tumbuh, maka pembimbing pun seyogianya diberi ruang
serupa untuk mengembangkan kodrat kemanusiaannya dalam mendidik. Dimensi struktural pun tak kalah penting. Selama sistem pendidikan tetap sangat sentralistik, pembimbing bakal tetap terjebak dalam roda birokrasi yangg besar.

Fleksibilitas yangg Membebaskan

Kebijakan dari pusat sering kali menutup mata dari kondisi lokal, memaksa pembimbing di pelosok desa mengikuti standar yangg sama dengan pembimbing di kota besar, tanpa memandang perbedaan sosial dan budaya.

Padahal justru elastisitas struktur pendidikanlah yangg memungkinkan pembimbing menyesuaikan pengajaran dengan realitas siswa dan masyarakatnya. Struktur yangg membebaskan bakal melahirkan pendidikan yangg relevan dan bermakna.

Di samping itu, ada pula dimensi perseorangan yangg menuntut kesadaran eksistensial seorang guru. Guru mesti menyadari dirinya sebagai insan merdeka, buatan Tuhan yangg dianugerahi akal, hati, dan kebebasan untuk berkarya. Hanya pembimbing yangg berbudi pekerti merdeka yangg bakal bisa memperlakukan murid-muridnya sebagai pribadi merdeka.

Bung Karno pernah berujar, “bangsa budak belian bakal mendidik anak-anaknya dalam roh perhambaan, sementara bangsa yangg merdeka bakal melahirkan generasi yangg berbudi pekerti merdeka.” Dari guru, roh kemerdekaan itu mengalir kepada murid. Dari jiwa guru, jiwa generasi terbentuk.

Guru Merdeka, Generasi Merdeka

Di titik ini, krusial bagi kita untuk meninjau ulang langkah pandang masyarakat terhadap pekerjaan guru. Guru tidak boleh direduksi sekadar sebagai pekerja yangg menyampaikan materi sesuai kurikulum. Ia adalah sumber inspirasi, pembentuk karakter, penanam nilai, dan penyulut semangat.

Ki Hadjar Dewantara dengan bening telah merumuskan peran itu: di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.

Bagaimana mungkin pembimbing menjalankan peran sebesar itu jika dia sendiri diperlakukan semata-mata sebagai pelaksana teknis? Guru hanya bisa menginspirasi jika dia dihargai sebagai pribadi merdeka, diberi ruang berpikir, dan kesempatan untuk berkembang.

Tantangan pendidikan di era globalisasi dan digitalisasi semakin kompleks. Informasi mengalir deras, teknologi melesat tanpa henti, dan bumi berubah dalam tempo yangg begitu cepat.

Dalam situasi seperti ini, siswa tidak lagi sepenuhnya berjuntai pada pembimbing untuk memperoleh pengetahuan. Namun justru peran pembimbing semakin penting. Ia bukan lagi sekadar penyampai informasi, melainkan pembimbing yangg menuntun siswa memilah, memahami, dan memaknai arus informasi. Ia menumbuhkan kepintaran kritis sekaligus menanamkan karakter mulia. Untuk memainkan peran ini, pembimbing kudu merdeka dalam berpikir dan berkreasi.

Kita kudu berani mengatakan dengan jujur: tak bakal lahir generasi merdeka dari guru-guru yangg tidak merdeka. Kreativitas tidak bakal tumbuh dari pembimbing yangg dikungkung. Bangsa yangg kuat tidak bakal lahir dari pendidikan yangg justru membelenggu guru.

Guru adalah Masa Depan Bangsa

Maka membicarakan masa depan pendidikan berfaedah membicarakan kemerdekaan guru. Membicarakan kemerdekaan pembimbing berfaedah membicarakan arah masa depan bangsa. Kemerdekaan pembimbing adalah fondasi bagi lahirnya pendidikan yangg betul-betul bermakna.

Dimensi kultural, struktural, dan perseorangan kudu bersinergi untuk menumbuhkan suasana merdeka dalam pendidikan. Guru kudu ditempatkan sebagai subjek utama, bukan sekadar objek kebijakan.

Bung Karno pernah menegaskan, bangsa yangg merdeka bakal mendidik anak-anaknya menjadi manusia merdeka. Dan Ki Hadjar Dewantara telah mengingatkan kita bahwa anak-anak tumbuh sesuai kodratnya sendiri, sementara pendidik hanya dapat merawat dan menuntunnya.

Karena itu, jika sungguh kita menghendaki lahirnya generasi Indonesia yangg berbudi pekerti merdeka, langkah pertama yangg tak boleh ditunda adalah memerdekakan guru. Guru yangg merdeka bakal tumbuh kreatif. Guru yangg imajinatif bakal memberi inspirasi. Dan pembimbing yangg menginspirasi bakal melahirkan generasi Indonesia yangg berkarakter, bermartabat, dan siap menatap masa depan dengan tegak.

*Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id