Oleh: M. Risfan Sihaloho
“Tidak ada yangg lebih tragis daripada kegoblokan yangg disertai kepercayaan tinggi.” 🪶 Seneca
Kebodohan, di negeri ini, tidak lagi lahir dari ketidaktahuan. Ia sekarang tumbuh subur dari kesengajaan. Sebuah kegoblokan buatan — artificial stupidity — yangg diproduksi massal melalui propaganda, dikemas dengan retorika politik, disebarkan lewat algoritma media sosial dan dibela dengan fanatisme buta.
Kita menyaksikan gimana di panggung politik, logika kerap dikorbankan demi loyalitas. Sekonyol, seabsurd, apalagi sebangsat apa pun ucapan dan tindakan seorang elit, selalu ada pasukan yangg siap membelanya. Mereka bekerja cepat: memelintir konteks, membolak-balik fakta, menafsir ulang kebenaran. Di tangan mereka, kegoblokan bisa terlihat cerdas, dan kesesatan bisa terdengar ilmiah.
Ironisnya, tak sedikit orang pandai ikut terseret ke dalam pusaran ini. Banyak yangg rela mendegradasi logika dan intelektualitasnya hanya demi memihak figur politik yangg dianggap junjungan. Rasionalitas dikorbankan di altar loyalitas. Mereka tahu sesuatu itu salah, tapi tetap menjustifikasi dengan seribu alasan.
Orang yangg semestinya menjadi mercusuar logika sehat, justru rela menukar kerasionalan demi bisa dekat dengan kekuasaan. Integritas digadaikan untuk akses dan jabatan. Mereka menjadi intelektual yangg tahu kebenaran, tapi memilih beralih darinya.
Sungguh miris. Dari sini, lahirlah jenis baru: intelektual penjilat — pandai secara akademik, tapi tumpul secara moral. Inilah tragedi kaum intelektual yangg kehilangan integritas di hadapan kekuasaan.
Sementara itu, di ruang digital, para buzzer bekerja seperti pasukan penghasilan tanpa wajah. Mereka membangun glorifikasi untuk majikannya dan melakukan demonisasi terhadap siapa pun yangg dianggap lawan.
Mereka lihai membikin kebijakan ngawur dan kandas tampak sukses, dan kritik logis tampak seperti kejahatan. Semuanya dilakukan dengan satu prinsip sederhana: asal majikan senang.
Kebodohan buatan ini menemukan panggung sempurna di republik yangg sedang mabuk pencitraan. Di sini, kepalsuan tak lagi dianggap aib, asal bisa dikemas dengan retorika nasionalisme dan semboyan kesejahteraan. Kebenaran menjadi relatif, moral menjadi fleksibel, dan kegoblokan menjadi bagian dari strategi komunikasi politik.
Selama tetap ada bayaran, mereka siap pasang badan. Selama tetap ada jatah, mereka bakal menggonggong paling keras. Kekuasaan menjadi kepercayaan baru, dan “setia” menjadi dalih untuk segala corak pembenaran. Kita pun hidup dalam era di mana yangg ribut dianggap benar, dan yangg tak bersuara dicurigai.
Seneca benar. Tak ada yangg lebih tragis dari kegoblokan yangg disertai kepercayaan tinggi. Dan di negeri ini kegoblokan tak sekedar ada, justru diorganisir, difasilitasi, dibiayai, dan dijaga agar tetap hidup.
Ya. Beginilah jadinya ketika logika sehat dijadikan korban politik. Negara kita mungkin tidak kekurangan orang pintar, tapi jelas kekurangan orang waras. (*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·