Kafir Politis - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Oleh : Khafid Sirotudin*

PWMJATENG.COM – Kalau menjelaskan kepada jamaah-2 mini kaum muslimin yangg awam tentang kufur alias kafir, biasanya saya memakai entry point soal bersih alias kebersihan.

Misalnya begini : sepanjang seseorang tetap mandi dan makan tiap hari, maka dia tidak bisa disebut kafir dalam makna total. Orang mandi, ightighsal, namalain membersihkan diri sendiri, berfaedah melaksanakan petunjuk alias perintah Allah untuk menjaga kebersihan badan. Bahwa diluar itu : otak, perilaku, perusahaan alias jabatannya belum di ghust alias belum dibersihkan, disitulah barangkali letak kegunaan kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan sendiri itu adalah pekerjaan kemusliman.

Demikian juga sepanjang orang tetap makan dan minum, maka dia tetap mempunyai eksistensi kemusliman, lantaran makan dan minum adalah memenuhi kehendak Tuhan agar hamba-hamba Nya bersetia kepada kehidupan, antara lain dengan langkah memelihara kesehatan.

Jadi menurut langkah berpikir ini, nyaris tidak ada orang yangg bisa seratus persen dikategorikan sebagai kafir. Apalagi orang yangg meskipun tidak bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, amal dan haji : biasanya tetap tetap melakukan baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan nafkah dan sebagainya.

Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yangg sehari-harinya tetap mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-2 dan santun kepada orang banyak—bisa pada suatu sore kita tuding sebagai orang kafir, lantas kita halalkan darahnya, alias minimal kita personanongratakan dan kita kucilkan.

Baca juga, Ngopi, Udud, dan Tradisi Intelektual

Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya bayangkan terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yangg lebih duniawi dan pada tataran yangg lebih lemah dan relatif kriteria nilai-nilainya– umpamanya bumi politik.

Kalau mulut kekuasaan politik di suatu negara menuding seseorang “kamu tidak bersih lingkungan”, di kepala saya muncul berjilid-jilid kitab yangg menguraikan beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan. Dari pertanyaan dan kegelisahan yangg berkonteks politik praktis, keanehan budaya kekuasaan, sampai yangg berkonteks filosofis, etimologis, alias apalagi ideologis dan teologis.

Didalam perspektif nilai iktikad dan norma kepercayaan saja- pun term “kafir, musyrik, munafik, muslim alias mukmin”, tetap terbatasi maknanya oleh konteks-konteks dalam ruang dan waktu, dimana suatu peristiwa dan perilaku berlangsung. Kalau ada pedagang berakidah Islam menipu pembeli berakidah Budha, tidak bisa kita katakan “orang muslim menipu orang kafir”. Perbuatan menipu itu adalah kekufuran, sehingga tidak bisa membikin kita mengatakan bahwa dalam kasus penipuan itu si penipu adalah muslim. Kalau seseorang menipu, maka dalam bumi ruang dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.

Maka sesungguhnya jika kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial masyarakat kita, kata “kafir, muslim, munafik, musyrik” dan seterusnya itu selama beratus-ratus tahun mengalami pengorbanan-2 —yang sungguh tidak mini dan tidak sepele. Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan apalagi pembalikan arti. Dan jika pembangkangan makna sebiji kata itu berada di genggaman tangan seseorang alias sekelompok manusia yangg mempunyai kekuasaan tak terbatas —memiliki ribuan senapan dan prajurit— maka peristiwa-2 besar sejarah yangg tragis berjalan berasas sulutan yangg sebenarnya banget sepele.

Baca juga, Pandangan dan Jalan Hidup Manusia

Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkah satu kata yangg maknanya diplesetkan/dikorupsi. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam kegelapan ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata “pembangunan” misalnya. Jutaan lainnya bisa kehilangan tanah, kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan gerai jualan, kehilangan pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, alias apalagi meringkuk di dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin —hanya oleh pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni makna sebuah kata.

Jika pemlesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan, maka kita hanya bakal berduka dan menangis. Tetapi jika pemlesetan itu justru didasari — apalagi didayagunakan untuk rekayasa- rekayasa kekuasaan — maka mungkin seseorang bakal hanya menghadapi dua kemungkinan. Pertama, tak bersuara menyerah dan hancur. Kedua, berang, marah, melawan dan mati.

Jadi secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah besar. Pertama, siapakah alias pihak manakah didalam sejarah, yangg disepakati sebagai berkuasa untuk menentukan makna sebuah kata?. Kedua, dalam suatu sistem politik yg berlaku, adakah lembaga norma alias lembaga kebudayaan yangg mempunyai otoritas dan kewibawaan untuk mengontrol subyektivisme kekuasaan, yangg seringkali memaknakan kata “bersih, PKI, balela, subversif” dan seterusnya seenaknya sendiri dari perspektif kepentingan kelompoknya — yangg apalagi dibungkus di dalam semboyan kepentingan umum?. Ketiga, berapa dasawarsa sejarah diperlukan untuk menyembuhkan situasi dimana —setidaknya sebagian— kekuasaan yangg melakukan pembangkangan kata itu justru secara mantap dan intens merasa bahwa yg dilakukannya itulah yangg paling benar?.

Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yangg saya ajukan ini justru dianggap sebagai “cacat politik” alias “kafir politik” ?.

[ Disadur dari kitab : Titik Nadir Demokrasi : Kesunyian Manusia dalam Negara, Emha Ainun Nadjib. Penerbit Zaituna, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Nopember 1996, hal. 296-301]

*Ketua LHKP PWM Jateng Periode 2015-2022, Ketua Bidang VI Diaspora dan Jaringan Kader MPKSDI PP Muhammadiyah, Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah Periode 2022-2027, Tokoh Muhammadiyah Kendal

Editor : M Taufiq Ulinuha

Jumlah Pengunjung : 26

-->
Sumber pwmjateng.com
pwmjateng.com