Ramadhan datang lagi! Segala syiar pertanda keagungannya menjadi “pernak-pernik” dalam menyambut kehadirannya. Para siswa diwajibkan membikin poster gebyar Ramadhan dengan segala corak ekspresi kegembiraan dalam corak tulisan dan gambar nan menyertainya; para santri pengajian dan remaja masjid mengkoordinir seluruh komunitasnya dalam beberapa desa apalagi satu kecamatan untuk memeriahkan penyambutan bulan Ramadhan dengan tindakan “seribu obor Ramadhan”; begitu juga dengan pengurus masjid dan mushalla (serta surau) nan menggerakkan jamaah dan masyarakat untuk bergotong-royong bahu-membahu membersihkan masjid dan mushalla serta membersihkan semua perangkat nan dipakai selama bulan Ramadhan; abdi negara desa dan masyarakat pun di komando Kades membersihkan pekarangan desa, pemakaman umum (guguk dalam bahasa Siulak), serta pekarangan rumah masing-masing; dan para politisi semua tingkat serta partai politik tidak mau ketinggalan, mereka memasang poster besar, spanduk segala ukuran untuk “mempertontonkan” diri sebagai kandidat terbaik pemilu (hati pilu) 2024 dan partai nan selalu menyertai kata “merakyat” di setiap simpang dan di depan rumah warga.
Begitu tingginya ekspektasi semua kaum beragama terhadap hadirnya Ramadhan. Tapi kenapa Rasulullah Saw mengatakan: “Betapa banyak orang nan berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga.” (HR. An-Nasa’i). inilah nan perlu menjadi pembahasan dan kajian. Sebagai Allah menjelaskan: “Hai orang-orang nan beriman, diwajibkan atas Anda berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum Anda agar Anda bertakwa..” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dari konteks tersebut di atas, ritual puasa sesungguhnya bukan hanya pada perilaku tidak makan, minum dan hubungan seks di siang hari nan berkarakter fisik. Akan tetapi kudu dimaknai dengan kesadaran dengan meningkatkan spiritualitas puasa pada level nan berkarakter psikis dan rohaniah. Sehingga ibadah puasa tidak hanya sekedar menahan rasa lapar, dahaga dan nafsu birahi belaka. Untuk perihal tersebut diperlukan pemaknaan atas ketentuan hukum ibadah puasa secara maknawiyah agar tercapai “misi” puasa untuk meraih karakter takwa.
Hakikat Ibadah
Supaya ibadah tidak hanya terbatas ritual dan ritus material-fisikal, maka kudu diawali dengan memahami apa itu prinsip ibadah?
Hakikat ibadah adalah ketundukan jiwa nan timbul dari lantaran hati (jiwa) merasakan cinta bakal Tuhan nan ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri’tikad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan nan logika tak dapat mengetahui hakikatnya.
Pengertian lainnya, bahwa prinsip ibadah adalah memperhambatkan jiwa dan mempertundukkan-Nya kepada kekuasaan nan gaib nan tak dapat diliputi pengetahuan dan tak dapat diketahui hakikatnya.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: ibadah itu, adalah suatu pengertian nan mengumpulkan kesempurnaan cinta, tunduk dan takut.
Pendapat lainnya mengatakan, bahwa pokok ibadah itu, ialah: tiada engkau menolak sesuatu norma Allah, tidak engkau meminta sesuatu rencana kepada selain-Nya, dan tidak engkau mau menahan sesuatu di jalan-Nya.
Sebagian orang Arif mengatakan, bahwa pokok ibadah itu, ialah: Engkau meridhai Allah selaku pengendali urusan; selaku orang nan memilih; engkau meridhai Allah selaku pembagi, pemberi, penghalang (penahan) dan engkau meridhai Allah menjadi sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah). (Ash-Shiddieqy, 1991: 7-9)
Inti dari prinsip ibadah adalah ketundukan hati sang hamba atas segala hukum nan diamanahkan kepada pundaknya sebagai “penyembah” terhadap Allah sebagai nan di sembah. nan proses ritual dan ritus dalam kekudusan dengan kesadaran spiritual dari kebersihan hati dan pikiran nan berbentuk perilaku nan otentik dalam hidup.
Pengaruh Puasa Terhadap Jasmani dan Rohani
Dr. Sulaiman Azmi mengatakan bahwa: para master telah mengkaji beragam perihal medis mengenai puasa secara perincian dan tidak ada perihal baru nan dapat disampaikan. Kami telah merangkum dari apa nan telah disampaikan oleh media cetak maupun radio dalam beberapa poin pokok nan dapat disimpulkan bahwa puasa tidak bakal membahayakan secara absolut bagi orang nan sehat.
Sebaliknya, puasa justru bakal memberi kegunaan kesehatan bagi sebagian orang. Jika orang nan berpuasa mengalami gangguan (kejahatan) lantaran puasanya, maka sesuai tuntunan kepercayaan dan medis, sebaiknya tidak perlu berpuasa. banyak ayat nan menjelaskan perihal ini begitu juga ada sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah mencintai agar keringanan darinya diberikan sebagaimana kesungguhan darinya diberikan.”
Barangkali gangguan akibat tidak menuruti resep kesehatan dalam makan alias berlebihan dalam makan bakal menyebabkan kesulitan dalam pencernaan. Selain itu, juga dapat disebabkan lantaran berlebihan dalam menyantap beragam jenis makanan nan susah dicerna alias pedas di perut.
Ada sebuah sabda nan menjelaskan, “Tidak ada wadah nan diisi oleh anak Adam nan lebih jelek daripada perutnya.” Puasa hendaknya merupakan sikap menahan dari rakus dan ambisi nan dapat menyebabkan ancaman nan fatal bagi tubuh. dan agar orang nan berpuasa tersebut terhindar dari bahaya, maka dia semestinya berbuka puasa dengan sedikit makanan untuk menghilangkan rasa lapar, lampau setelah menjalankan salat, mulai menyantap makanan secara wajar.
Saya menemukan info dari surah bahwa Nabi berbuka puasa dengan makanan nan segar. jika tidak ada, maka beliau bakal berbuka dengan kurma. dan jika tidak ada kurma beliau bakal berbuka dengan sop. Sesungguhnya kedokteran tidak sekedar berangkaian dengan tubuh manusia namun juga mengenai dengan kondisi individual dan sosial seseorang dan masing-masing saling melengkapi dan menyempurnakan.
Dari sisi emosional, bulan Ramadan adalah bulan kesabaran dan ketabahan jauh dari kemarahan dan gejolak-gejolak emosi, serta naiknya martabat menuju norma-norma mulia. sehingga bulan Ramadan menjadi bulan kejernihan dan hidayah bagi jiwa. selain itu juga membangkitkan nurani, melatih kuatnya keinginan, dan jauh dari pamer.
Tidak ada nan melarang untuk makan secara sembunyi bagi orang nan sedang berpuasa dan berpura-pura puasa lantaran pamer. Kuatnya kemauan dan ketaatan nan baik bakal menjaganya dari semua itu.
Adapun pengaruh puasa dari sisi adab adalah menuntut manusia untuk saling memperlakukan satu sama lain dengan baik, tidak melakukan perseteruan dan kemarahan. Jika ada nan mengejek ketika Anda berpuasa, maka katakanlah padanya, “Aku sedang berpuasa.”
Puasa dapat berpotensi untuk menjauhkan manusia dari kedustaan dan ketidakejujuran serta menghiasinya dengan kemuliaan. Hadis nabi menjelaskan, “Siapa nan tak meninggalkan perkataan bohong dan justru melakukan perihal itu, maka Allah tak memerlukan aktivitasnya nan telah meninggalkan makan dan minumnya.” Rasulullah juga bersabda, “Ada kalanya orang nan berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus.” Sudah pasti bagiku bahwa sabda ini dimaksudkan bagi orang-orang nan tidak berperilaku dengan adab mulia baik secara ucapan dan perbuatan.
Adapun pengaruh puasa dari sisi sosial sudah jelas dan gambling. Misalnya dengan adanya saling mengunjungi, Berbuat kebaikan, saling menyayangi, serta menyambung kekerabatan, dan persahabatan. Selain itu, juga dapat menyebabkan spirit kasih sayang, tolong-menolong, dan keakraban di antara manusia.
Bulan Ramadan juga memberikan pengaruh dari sisi ekonomi lantaran pada bulan Ramadan dan masa sebelum maupun sesudahnya, barang-barang laku secara signifikan nan membenarkan ungkapan orang-orang “Ramadan Karim” alias (Ramadan mulia) alias bulan penuh keleluasaan (jalan keluar).
Dari semua itu sudah jelas bahwa bulan Ramadan mempunyai suasana nan khusus. Setiap orang mengekspresikan aura Ramadhan dengan beragam perihal nan telah kami sampaikan. Masjid menjadi ramai, ustadz memberikan pidato kepada masyarakat tentang hal-hal nan baik bagi kepercayaan dan dunia, ada keakraban nan lepas bagi para tetua dan kebahagiaan maupun kegembiraan nampak pada para anak kecil. ini adalah suasana nan memberikan keelokan nan mengumpulkan beragam pengaruh nan telah disebutkan. Semua itu penuh dengan pemandangan nan memikat, dan tersebarlah kebaikan maupun norma-norma dalam masyarakat. (Al-Jurjawi, 2015: 232-234)
Dari penjelasan di atas, puasa memberikan pengaruh kepada diri nan berpuasa, baik secara jasmai dan rohani, serta juga mempunyai pengaruh nan besar dari sisi sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga ibadah puasa tidak hanya ritus dan ritual belaka, bakal tetapi mempunyai subtansi nan berkarakter fisik, psikis dan rohani bagi Anda beragama nan melaksanakan puasa.
Pengaruh Puasa bagi Kesehatan Jiwa (Mental/Psikologis dan Sosial)
Ditinjau dari segi ilmiah puasa dapat memberikan kesehatan jasmani maupun rohani. Dua buah kitab nan ditulis oleh master Alan Cott, ahli mahir dari Amerika tentang faedah puasa berjudul “Fasting as a Way of Life” dan “Fasting the Ultimate Diet”. Kalau pengertian puasa dalam Islam adalah menahan diri (dari nafsu makan, minum, seks) sejak mentari terbit hingga mentari terbenam, maka pengertian puasa menurut Cott agak beda. Dalam pengertian Cott puasa tetap boleh minum air. dengan demikian, kita tentunya kudu berhati-hati atas konklusi Cott.
Dari kedua kitab nan telah disebut di atas diceritakan antara lain gimana keterkaitan antara puasa dengan gangguan kejiwaan.
Pertama, gangguan jiwa nan parah dapat disembuhkan dengan berpuasa. Dr. Nicolayev, seorang pembimbing besar nan bekerja pada lembaga psikiatri Moskow (The Moskow Psykiatric Institute) mencoba menyembuhkan gangguan psikologis dengan berpuasa. Dalam usahanya itu, dia menerapi pasien sakit jiwa dengan menggunakan puasa selama 30 hari (persis puasa orang Islam dalam jumlah harinya).
Nivolayev mengadakan penelitian penelitian dengan membagi subjek menjadi dua golongan nan sama besar, baik usia maupun berat ringannya penyakit nan diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan ramuan obat-obatan. Sementara golongan kedua diberi diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Dua golongan tadi diikuti perkembangan bentuk dan mentalnya dengan tes-tes psikologis.
Dari penelitian itu diperoleh hasil nan sangat baik ialah banyak pasien-pasien nan tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik rupanya bisa disembuhkan dengan puasa. Selain itu kemungkinan pasien untuk tidak kambuh kembali setelah 6 tahun kemudian, rupanya sangat tinggi. Lebih dari separuh pasien tetap sehat (Cott, 1977: 74-75).
Penelitian nan dilakukan oleh Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di rumah sakit Grade Square, New York juga menemukan hasil nan sejalan. Pasien sakit jiwa rupanya bisa sembuh dengan diterapi puasa, (Cott, 1977: 76-77).
Ditinjau dari segi pengobatan kekhawatiran dilaporkan juga oleh Alan Cott bahwa penyakit seperti susah tidur, merasa rendah diri, juga dapat disembuhkan dengan puasa.
Kedua, adanya percobaan ilmu jiwa nan membuktikan bahwa berpuasa mempengaruhi tingkat kepintaran seseorang. Hal ini dikaitkan dengan prestasi belajarnya. Ternyata orang nan giat berpuasa dalam tugas-tugas kolektif memperoleh skor nan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nan tidak berpuasa.
Di samping dua hasil penelitian di atas, puasa juga memberi pengaruh nan besar bagi penderita gangguan psikologis seperti insomnia, ialah gangguan mental nan berasosiasi dengan tidur. Penderita penyakit ini sukar tidur, namun dengan diberinya langkah pengobatan dengan berpuasa, rupanya penyakitnya dapat dikurangi apalagi dapat sembuh.
Ada penelitian nan menarik perhatian bahwa berpuasa dapat meningkatkan rasa percaya kepada diri sendiri nan lebih besar, konsep diri nan optimis, nan merupakan indikasi adanya mental sehat dan tidak rentan menghadapi tantangan hidup nan semakin besar.
Dari segi sosial pun puasa memberikan sumbangan nan tidak mini artinya. perihal ini bisa kita lihat dari kendala-kendala nan timbul di dunia. Di bumi ini ada ancaman kemiskinan nan melanda negara bumi ketiga khususnya. Hal ini menimbulkan beban mental bagi sebagian personil masyarakat di negara-negara nan telah menikmati kemajuan di segala bidang.
Menanggapi kemiskinan di bumi ketiga maka di Amerika muncul suatu aktivitas nan berjulukan Hunger Project. Gerakan ini lebih berkarakter sosial ialah setiap satu minggu sekali alias satu bulan sekali mereka tidak diperbolehkan makan. Uang nan semestinya digunakan untuk makan tersebut diambil sebagai biaya menolong mereka nan miskin.
Apabila perihal ini kita kaitkan dengan dakwah Islam, maka dengan tujuan kebaikan ibadah, puasa nan kita lakukan mempunyai aspek sosial juga, ialah selama satu bulan kita menyisihkan duit nan biasanya kita belanjakan pada hal-hal nan kurang bermanfaat, Rp 500 misalnya titik dalam satu bulan bakal terkumpul sebanyak Rp15.000 untuk satu orang andaikan umat Islam nan berpuasa sebanyak 120 juta jiwa, berapa duit nan bakal terkumpul dengan metode tersebut?
Hal lain nan dapat kita kaji adalah penghematan waktu bagi mereka nan berpuasa, dalam perihal ini bukan waktu untuk mencari nafkah, tetapi nan semestinya untuk makan sewaktu bekerja. Bila berpuasa kita bisa memanfaatkan waktu seefisien mungkin, untuk menghasilkan sesuatu nan lebih baik tanpa memikirkan makan. (Ancok dan Suroso, 1995: 56-59)
Apabila ibadah puasa dinikmati dalam ritus dan ritual nan “terdalam” dengan dimensi spiritual nan hakiki, maka puasa memberi pengaruh bagi kesehatan jiwa, mental/psikologis dan sosial. Tentu sangat rugi andaikan puasa hanya berkarakter fisikal tanpa naik ketingkat psikis/psikologis, sosialogis hingga terinternalisasi menjadi karakter takwa.
Pengaruh Puasa dalam Penguatan Karakter Takwa
Dr. Hamid al-Khuli berkata, “Orang nan berpuasa merasakan dua kekuatan nan saling berseteru, ialah kekuatan rohani dan jasadi. Kekuatan jasadi adalah dasar bangunan manusia nan berkarakter menggebu dan menekan, sedangkan kekuatan rohani lebih menguasai kekuatan jasadi. Buktinya, kita tidak bakal membebani seseorang anak dengan beragam tuntutan kepercayaan nan merupakan produk hukum Allah maupun norma konvensional selain jika dia telah sampai pada usia dewasa. Hasrat kita berpijak dari pengorbanan untuk memenuhi kemauan jasadi. Karena itu, jika seseorang kosong hatinya maka dia bakal mengikuti gairah jasadi dan melepaskan diri dari ikatan syar’i maupun patokan konvensional.
Maka dari itu, orang nan berpuasa bakal memonitor dirinya sendiri dan tunduk kepada kekuatan rohani serta menutup jalan bagi gairah jasadi. Sehingga bakal menyuburkan dan memperkuat sifat amanah nan merupakan pondasi awal dari pribadi Rasul di mana kaumnya menjulukinya dengan Al-Amin (yang dapat dipercaya). Orang nan berpuasa melawan kemauan jasadi secara sukarela dan bebas, tanpa motivasi maupun pengawas. Dengan demikian, perihal ini menjadi pondasi lain nan membentuk karakter kuat agar seseorang berani mengorbankan nafsunya.
Puasa juga merupakan corak ketaatan terhadap rayuan kebenaran, karena orang nan berpuasa telah menaati Tuhannya secara sukarela dan alim sehingga berkumpullah sifat amanah dan siap berkorban pada diri orang nan berpuasa. Inilah puasa nan merupakan wahana manusia dalam beragam perihal nan penting. Dan orang nan konsen tentang perihal ini, pasti bakal menahan gejolak dan nafsu jasadi serta tidak bakal menurutinya selain sekedar sesuai porsi kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidup. Dan perihal ini merupakan latihan pertama bagi para peniti jalan ibadah, zuhud, dan kontineu dalam ibadah. Jika tuntutan jasad adalah kenikmatan duniawi maka puasa merupakan pelita rohani dan nutrisinya sehingga jasad tunduk pada rohani. Puasa adalah jalan agar manusia bisa terhormat di bumi dan akhirat. Karena posisi puasa nan sangat mulia inilah, maka puasa menjadi syiar semua kepercayaan dan syariat. Dan lantaran posisinya nan tinggi pula Allah mengantributkan puasa bagi diri-Nya sendiri seperti nan disebutkan dalam sebuah sabda Qudsi, “Semua kebaikan anak Adam itu untuknya. selain puasa, maka itu bagiku dan saya sendiri nan bakal membalasnya.” Maka dari itu, puasa merupakan pondasi agung dalam membentuk karakter manusia nan kuat. Berbahagialah di bumi dan alambaka wahai orang nan berpuasa.”(Al-Jurjawi, 2015: 230-231)
Bagi manusia kekuatan jasadi dan rohani adalah elantival dalam menguatkan keberlangsungan hidup nan stabil sebagai hamba-Nya nan alim pada hukum Islam. Kedua kekuatan tersebut melahirkan sikap percaya diri dan nenunculkan sifat amanah (Al-Amin). Karakter tersebut terinternalisasi, teraktualisasi dan tertranformasi dalam laku hidup pada bumi nyata, dimana kata tidak mendustai laku. Itulah salah satu karakter manusia nan amanah (Al-Amin), serta menjadi pondasi dari karakter takwa.
Esensi Puasa dalam Membentuk Karakter Takwa
Untuk meraih karakter takwa, tentu kita kudu mengetahui apa rahasia nan menjadi prinsip puasa nan dapat membentuk karakter takwa. Maka dapat disimpulkan ada 7 macam rahasia ibadah puasa, yakni:
Pertama, menunjukkan tabiat bahimiyah kepada tabiat malakiyah dan menghalangi tabiat malakiyah dari dipengaruhi oleh tabiat bahimiyah tidak dapat kita tundukkan tabiat bahimiyah melainkan dengan melemahkan tenaganya dan menambah kuatnya tabiat. Melemahnya tenaga bahimiyah, ialah: dengan menghilangkan sebab-sebab nan menimbulkan kekuatannya. Sebab-sebab itu, ialah: makan, minum dan bergelimang dalam kelezatan syahwat. Inilah sebabnya seluruh orang nan mau lahirnya tabiat malakiyah dan tersembunyi tabiat bahiniyah, menyedikitkan makanan, minuman dan kelezatan-kelezatan syahwat.
Inilah sebabnya dipandang jelek sekali orang nan berpuasa banyak beragamkan makanan dan memuaskan syahwat makan di ketika berbuka dan bersahur.
Kedua, mendidik para mukmin agar berperangai dalam sebagian waktunya dengan suatu perangai Allah dengan mendidik mereka menyerupakan diri sekedar mungkin dengan malaikat, yaitu: terlepas dari hawa nafsu.
Ketiga, membiasakan orang nan berpuasa bersabar dan tahan menderita kesukaran.
Menahan diri dari makan dan minum, menimbulkan kekuatan cita-cita dan keelokan sabar serta dapat menahan kesukaran-kesukaran.
Keempat, memperingatkan diri dengan kehinaan dan kemiskinan.
Orang nan berpuasa merasa betul kebutuhannya bakal makanan dan minuman. Orang nan memerlukan sesuatu, dipandang buruk terhadap nan dihayati itu. Dan nan demikian itu pula, menimbulkan kemauan menghindarkan diri dari kesombongan dan ketakaburan dan menumbuhkan dalam hati kemauan menggauli manusia dengan lemah lembut dan baik.
Kelima, memelihara jiwa dari tersungkur dalam kancah dosa.
Inilah hikmah Nabi mengatakan: “Barang siapa nan tiada sanggup membelajai isteri, sedang dia mempunyai kemauan beristeri, hendaklah dia berpuasa; lantaran puasa itu melenyapkan syahwatnya.”
Keenam, menggerakkan orang kaya kepada merahmati orang nan fakir dan menyelesaikan kebutuhan mereka itu.
Orang nan berpuasa merasai dalam dia berpuasa itu kesukaran lapar dan kepedihan haus. Hal ini dapat menimbulkan dalam jiwanya kemauan memberikan pertolongan kepada orang nan didapati memerlukan makanan alias minuman. Dan inilah sebabnya dikala orang bertanya kepada Nabi Yusuf: “Lima taju’u wa anta ‘alaa khazaa inil ardli?” (“Mengapa tuan lapar (menahan lapar) padahal tuan memegang perbendaharaan Negara?”). Nabi Yusuf menjawab: “Akhafu an asyba’a fa ansal ja-i’ a’” (“Saya takut kenyang nan bakal menyebabkan saya lupa kepada orang nan lapar.”)
Ketujuh, memperoleh beragam kegunaan kelaparan, yaitu: menyalahnya pikiran dan tembusnya penglihatan mata hati. (Ash-Shiddieqy, 1991: 237-238).
Nabi bersabda:
“Barang siapa lapar perutnya, besarlah pikirannya dan cerdiklah jiwanya.”
Dari penjelasan di atas maka dapat dipahami, bahwa sangat banyak rahasia dari disyariatkannya ibadah puasa. Karakter takwa melalui ibadah puasa bakal muncul andaikan sang hamba terjauh dari sikap bahimiyah dan dimunjulkannya sikap malakiyah; senantiasa berperangai menyipati malaikat dan memanisfestasikan sifat “Tuhan” nan agung (Asmaul husna); membiasakan sabar dan ketahadan serta ketegaran dalam kekuarangan dan kelaparan; memunculkan emosi senasib sepenangungan dengan orang miskin dan kekurangan; memelihara jiwa jauh dari kubangan dosa dan kejahatan; arena silaturahim antara nan kaya dan miskin secara jasadi dan rohani; serta menerangkan mata hati sepanjang hayat.
Manifestasi Karakter Takwa dalam Kehidupan
Karakter takwa lewat ritual ibadah puasa secara subtantif (jasadi dan rohani) serta “ter-instal” melalui pengaruh jasmani, rohani, kesehatan jiwa, mental/psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya, lampau dihayati esensi/rahasia disyariatkannya ibadah puasa dalam pembentukan karakter positif. Maka bakal terinternalisasi, teraktualisasi dan tertranformasi karakter takwa dalam pribadi, lingkungan dan kehidupan actual.
Menjadi bertakwa, sebenarnya sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Bertingkah laku sebagai manusia nan berbudaya tinggi. Bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk seluruh alam lantaran kita adalah khalifah Allah di muka bumi.
Maka manifestasi sifat takwa adalah melakukan baik pada diri sendiri, melakukan baik pada orang lain, melakukan baik pada lingkungan, dan beramal sholeh dengan mengikhlaskan ketaatannya kepada Allah semata. Semuanya berpadu dalam sebuah keseimbangan.
Dalam kaitanya dengan ibadah puasa, maka takwa nan seperti itulah nan dipatok sebagai tujuan. Jadi, puasa nan baik dan sukses adalah puasa nan membawa akibat pada keempat perihal tersebut, ialah terjadi peningkatan kualitas diri sendiri, peningkatan kualitas hubungan dengan sesama peningkatan kualitas terhadap lingkungannya dan peningkatan kualitas hubungan dengan Allah SWT.
Pada saat seseorang mencapai semua itu, maka sebenarnya dia telah kembali kepada fitrahnya sebagai manusia nan sesungguhnya Insan Kamil manusia nan sempurna.
Apakah tanda-tanda nan bisa dijadikan parameter untuk mengukur keberhasilan puasa?
1. Badan lebih sehat
2. Emosi lebih rendah
3. Pikiran lebih jernih
4. Sikap lebih bijaksana
5. Hati lebih lembut dan peka
6. Ibadahnya lebih bermakna
7. Lebih tenang dan tawadhu’ dalam menjalani hidup (Mustofa, 2005: 176-177)
Dengan demikian, seiring dengan bertambahnya usia dan berkembangnya pengetahuan dan wawasan tentang Islam, maka sudah saatnya ibadah puasa tidak hanya ritual penggugur tanggungjawab saja. Akan tetapi lebih diekspektasikan kepada peningkatan kualitas spiritual nan agung di mata Allah. Sebab puasa adalah ibadah rahasia antara sang hamba dan Khaliqnya. Bila perihal tersebut dapat dimaknai dengan baik, maka spiritualitas puasa dapat membentuk dan meraih karakter takwa bagi pelakunya.
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·