PWMJATENG.COM – Fenomena sound horeg sekarang kian marak di beragam wilayah Indonesia. Istilah ini merujuk pada penggunaan sistem pengeras bunyi berkekuatan besar dalam aktivitas intermezo seperti hajatan, konser jalanan, hingga aktivitas organisasi muda di pedesaan. Musik yangg diputar dengan volume tinggi dianggap sebagai corak ekspresi kebebasan dan kegembiraan. Namun, bagi sebagian masyarakat, budaya sound horeg menimbulkan keresahan lantaran kebisingannya sering mengganggu ketenangan lingkungan dan ibadah masyarakat sekitar.
Dalam perspektif Islam, kebisingan dan gangguan terhadap orang lain merupakan perihal yangg tidak dibenarkan. Islam sangat menekankan keseimbangan antara kebebasan perseorangan dan tanggung jawab sosial. Al-Qur’an memberikan pedoman agar setiap muslim menjaga etika dalam berbicara, berperilaku, maupun berekspresi di ruang publik. Allah Swt. berfirman dalam Surah Luqman ayat 19:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan sederhanakanlah dalam berjalanmu dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk bunyi adalah bunyi keledai.” (QS. Luqman [31]: 19)
Ayat tersebut menegaskan pentingnya etika dalam berbincang dan mengeluarkan suara. Kebisingan yangg tidak terkendali, termasuk dari sound horeg, dapat dikategorikan sebagai corak ketidaksopanan sosial dan pelanggaran terhadap kewenangan orang lain atas ketenangan.
Rasulullah saw. juga memberikan teladan agar umat Islam menjaga ketenangan lingkungan. Dalam sabda riwayat Imam Bukhari, beliau bersabda:
لَا يَرْفَعْ أَحَدُكُمْ صَوْتَهُ عَلَى صَوْتِ أَخِيهِ فِي الْمَسْجِدِ
“Janganlah salah seorang di antara kalian meninggikan suaranya di atas bunyi saudaranya di masjid.” (HR. Bukhari)
Meskipun konteks sabda ini berada di lingkungan masjid, prinsipnya bertindak luas: Islam mengajarkan untuk tidak menimbulkan gangguan suara, terutama di tempat umum.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Budaya sound horeg pada dasarnya tidak bisa dipukul rata sebagai sesuatu yangg sepenuhnya salah. Dalam pemisah tertentu, musik dan intermezo diperbolehkan dalam Islam selama tidak mengandung kemaksiatan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa intermezo dapat menjadi sarana penyegaran jiwa jika dilakukan dengan etika dan niat yangg benar. Namun, ketika intermezo berubah menjadi sumber kerusakan moral, sosial, alias fisik, maka dia keluar dari pemisah yangg dibenarkan syariat.
Di sinilah letak pentingnya kesadaran sosial umat Islam dalam menghadapi budaya sound horeg. Alih-alih menolak secara frontal, pendekatan yangg bijak adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang etika bermusik dan penggunaan perangkat bunyi secara proporsional. Pemerintah wilayah dan tokoh kepercayaan juga mempunyai peran strategis dalam menetapkan pemisah waktu penggunaan pengeras bunyi serta sosialisasi nilai-nilai keislaman dalam bermasyarakat.
Islam tidak anti terhadap budaya lokal, tetapi Islam menuntun agar setiap budaya selaras dengan prinsip kemaslahatan (maslahah). Dalam norma fikih disebutkan:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.”
Artinya, jika budaya sound horeg membawa faedah intermezo namun menimbulkan kerugian berupa gangguan sosial, maka wajib bagi masyarakat untuk menertibkannya.
Dengan demikian, pandangan Islam terhadap budaya sound horeg bukan sekadar larangan, tetapi penegasan bakal pentingnya keseimbangan antara kebahagiaan dan ketertiban. Hiburan boleh, tetapi kudu beradab. Kegembiraan boleh diekspresikan, tetapi tanpa merampas kewenangan orang lain untuk hidup tenang. Dalam kacamata Islam, sound horeg dapat menjadi simbol kebersamaan yangg positif jika diatur dengan nilai moral dan etika sosial. Namun, jika dibiarkan tanpa kendali, dia justru berpotensi menjadi gambaran lemahnya kesadaran spiritual di tengah masyarakat modern.
Kesimpulannya, Islam memandang budaya sound horeg melalui lensa moderasi. Hiburan dan ekspresi budaya boleh dilakukan, selama tidak menyalahi nilai-nilai ketenangan, adab, dan kemaslahatan bersama. Sebagaimana pesan Rasulullah saw., “Sebaik-baik manusia adalah yangg paling berfaedah bagi orang lain.” Maka, mari jadikan budaya kita, termasuk sound horeg, sebagai sarana kebersamaan yangg penuh hikmah, bukan sumber kebisingan yangg memecah harmoni sosial.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 85
2 minggu yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·