Islam Santai dalam Sudut Pandang Sastra dan Budaya
Memang sudah menjadi tugas sastrawan, untuk memandang kejadian dari kacamata yangg unik. Sering kali luput dari pandangan khalayak. Salah satunya kejadian tentang Islam yangg jarang diketahui banyak orang.
Buku berjudul Islam Santai buah karya Acep Zamzam Noor ini menarik. Ia tidak sedang membikin teoritisasi yangg muluk-muluk mengenai keberagamaan masa kini. Pada kumpulan esai-esai ini dia banyak mengawali narasinya dengan cerita-cerita sehari-hari kehidupannya.
Terlebih dia merupakan seorang seniman, yangg diakuinya sendiri dalam kitab ini, bahwa pekerjaannya adalah melukis dan menulis puisi (hlm. 18). Ia juga merupakan seorang putra sulung dari tokoh ustadz Kiai Haji Muhammad Ilyas Ruhiyat, ustadz besar Nahdlatul Ulama. Ia sendiri lahir dan besar di lingkungan pondok pesantren di Tasikmalaya.
Dengan demikian, sajian pandangannya mengenai keislamannya banyak ditinjau dari perspektif pandang sastra dan budaya.
Buku ini pada pembahasannya terbagi pada tiga bab besar, yangg masing-masing bab terdiri dari 8-9 esai. Tiga bab tersebut ialah Bercermin pada Kearifan Lokal, Keberagaman dan Keseragaman, serta Ekspresi Budaya dan Proses Kreatif.
Belum lama ini tetap hangat adanya kasus mengenai penyegelan tempat ibadah yangg tak berizin. Bahkan melibatkan petinggi wilayah setempat, hingga penyegelan diiringi takbir yangg seakan-akan menjadi tanda “kemenangan” bagi kaum mayoritas.
Pada kitab ini, Acep Zamzam memberi gambaran bahwa keberagamaan di desa nampak santuy dan menggembirakan. Terhadap golongan berbeda pola hubungan masyarakat begitu akur dan membaur. Memang perihal ini dalam konteks golongan Ahmadiyah, di desanya justru Ahmadiyah begitu berbaur dengan masyarakat setempat, hingga ikut pengajian dan tahlilan bersama.
“Bagi orang-orang kampung, mengamalkan pancasila rupanya sangat menyenangkan, menggembirakan, apalagi menguntungkan” tulis Acep Zamzam. (hlm. 20)
Jika menafsiri Islam santuy penulis kitab ini, semestinya tak sampai kudu dilakukan penyegelan jika tak berizin, petinggi wilayah yangg apalagi datang saat penyegelan sebaiknya permudah perizinan, sementara golongan yangg hendak beragama di dalamnya diberikan haknya secara penuh.
Islam santuy dalam terminologi Acep Zamzam ini barangkali terwakili dalam esainya berjudul, “Sunda Santai, Islam Santai”. Agama hendaknya diajarkan dengan penuh kegembiraan, tidak secara instan dan hitam putih sebagaimana menjadi kejadian akhir-akhir ini. “Dengan metode santuy seperti ini, juga dengan dosis yangg tidak berlebihan, kepercayaan merasuk ke jiwa anak-anak tanpa terasa dan sangat alamiah. Agama tidaklah selalu berparas garang apalagi mengancam”.
Radikalisme, Hilangnya Keberagamaan yangg Santai
Sebagai antitesa dari istilah Islam santai, rumor radikalisme tak luput menjadi pembahasan kitab ini dalam titel “NII: Neng Iis Istiqamah”.
Bagi Acep Zamzam korban yangg menjadi rekrutan golongan radikal ini terdapat kait kelindan dengan kesenjangan sosial di masyarakat serta kejadian pejabat korup. Hal tersebut menjadikan kepercayaan dalam pengertian yangg radikal dan instan bakal selalu menjadi tempat pelarian yangg menggiurkan. (hlm. 210)
“Untuk menguasai pengetahuan kepercayaan berfaedah kudu belajar tata bahasa dulu. Dengan kata lain kudu belajar budaya dulu. Belajar nadoman dulu, salawatan dulu, kasidahan dulu, menulis puisi dan pencak silat dulu. Dan para santri yangg telah menjalani proses berakidah dengan wajar, tidak bakal mudah tergiur tawaran-tawaran instan. Salah satu buktinya, sebagian besar yangg menjadi korban cuci otak adalah mereka belum pernah belajar memahami, menghargai, dan menjalani sebuah proses yangg saya maksudkan tadi.” (hlm. 211)
Dalam esainya yangg berjudul “Tasikmalaya Kota Dangdut”, barangkali perihal ini merupakan langkah Acep Zamzam dalam mencounter politisi partai tertentu bermimpi mau menerapkan hukum Islam di Tasikmalaya dengan mengampanyekan “Tasikmalaya Kota Santri”.
Acep Zamzam menyentil politisi partai tersebut yangg berkeinginan memerangi kemaksiatan, selain korupsi, yangg sejatinya menjadi perihal dinormalkan dalam partai. (hlm. 152). Bahkan menurut Acep Zamzam, pesantren-pesantren besar di Tasikmalaya yangg sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan dan mereka tidak ada urusan dengan pelabelan alias gelar semacam itu. Justru wacana pelabelan tersebut terkubur dengan sendirinya oleh para politisi tersebut.
Reinterpretasi “Porno” serta Pergeseran Ritual Istighosah
Sekilas berdasar uraian di atas, Islam santuy sebagaimana kitab ini sarat bakal kritik sosial penulisnya, lebih-lebih kepada korupsi elite politik serta rumor formalisme kepercayaan yangg dangkal. Pada esainya yangg lain dalam kitab ini, Acep Zamzam melakukan kritik sosial. Misal dalam esainya yangg berjudul “Porno”, dia seakan hendak mengatakan bahwa porno bukan hanya berurusan dengan tubuh namun juga dengan mental, pikiran, dan perilaku seseorang.
Perilaku korupsi, jual beli perkara, membohongi dan mengingkari rakyat juga, semua perihal itu sangat porno. Di samping itu perilaku menyerang pihak lain dengan mengatasnamakan agama, melakukan sewenang-wenang dan merasa paling betul sendiri termasuk bagian dari pornografi juga. (hlm. 238)
Sementara itu, sebagai seorang santri sekaligus sastrawan, Acep Zamzam resah dengan pergeseran makna istighosah yangg sekarang tak lagi sakral. Hal tersebut lantaran ritual ini sekarang disusupi oleh politisi yangg pikirannya “ngeres”. Dalam makna senantiasa menyusupkan “kepentingan” demi memperoleh masa dan memenangkan politik praktis.
“Sejak itulah istighosah menjadi kejadian dalam bumi politik kita. Hampir setiap tokoh yangg punya “kepentingan” ke wilayah selalu disambut dengan istighosah, tak peduli apakah tokoh tersebut penduduk NU alias bukan.” (hlm. 42)
Lebih keras lagi dia menulis, “…dengan demikian, istighosah yangg sakral menjadi tak ada bedanya lagi dengan pentas dangdut alias jalan santuy yangg biasa digelar organisasi kepemudaan dari kalangan partai, lantaran sama-sama sebagai perangkat pengumpul massa.” (hlm. 43)
Islam Santai; Belajar dari Gus Dur, Gus Mus, hingga si Kabayan
Pada akhirnya, mengenai pendapat Islam santai, dalam esai-esainya, Acep Zamzam menunjukkan teladan kepada tokoh-tokoh sekaliber Gus Dur, Gus Mus, apalagi si Kabayan sebagai tokoh pengamal Islam yangg santai.
Gus Mus sebagai penyair dengan puisi-puisinya yangg segar, Gus Mus juga dikenal sebagai seniman dan kiai. Gus Mus yangg secara sadar mengambil jarak dengan kekuasaan. Sosok Gus Dur sosok ustad yangg pandai dan santai. Serta si Kabayan yangg membikin Acep Zamzam merindukan pemimpin yangg bukan hanya gagah, namun juga mempunyai rasa lawaktinggi. “Bukankah kita juga sudah capek dipimpin orang-orang gagah yangg hobinya menindas sehingga tak ada kesempatan bagi rakyat untuk tersenyum?” (hlm. 83)
Buku ini sejatinya merupakan kumpulan esai yangg pernah dimuat di beragam surat berita lebih dari satu dasawarsa yangg lalu. Namun relevansinya tetap terasa hingga kini. Seperti di Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Majalah Sastra Horison, Kabar Priangan, Radar Tasikmalaya, Suara Merdeka, dan lain-lain.
Daftar Buku
Judul Buku : Islam Santai
Penulis : Acep Zamzam Noor
Editor : Tia Setiadi
Penerbit : IRCiSoD
Tahun Terbit : 2018
Tebal Halaman : 324 halaman; 14 x 20 cm
Editor: Soleh