Umat Islam pasti sangat mengerti tentang istilah “kafir”. Sebab kata kafir ini merupakan kata nan lazim diucapkan pada satu golongan ke golongan nan lain. Terutama dengan niat untuk merendahkan, menyalahkan, alias menyesatkan.
Meskipun, tema kafir sebenarnya merupakan problem paling krusial masyarakat Muslim sepanjang sejarah. Biasanya, perdebatan-perdebatan nan panjang dan konflik-konflik nan tak pernah usai di kalangan masyarakat Islam nyaris selalu bermuara pada rumor kafir ini.
Al-Ghazali dan Kitab Al-Tafriqah
Di sini, saya mau menghadirkan satu tokoh krusial dalam kesarjanaan Islam. Tentu tentang gimana dia memahami konsep “kafir” dalam ruang lingkup ilmu-ilmu Islam. Beliau adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Imam al-Ghazali lahir di Thus dari family miskin. Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang. Ia merupakan tokoh besar nan menurut saya, selalu menakjubkan. Sejumlah predikat kesarjanaan dianugrahkan kepadanya, filosof, teolog, faqih, dan sufi besar.
Pikiran-pikiran al-Ghazali selalu mengangumkan. Karya-karya intelektualnya sangat subur, kritikal, tajam, dan ensiklopedis. Bahkan, sang guru, Imam Haramain, sebagaimana saya kutip dari bukunya kyai Husen Muhammad (2011), menyebut al-Ghazali sebagai “Bahr Mughdiq” (lautan luas-deras).
Di antara sekalian banyak karya al-Ghazali nan sangat mengagumkan, ada satu kitab krusial nan pernah dia tulis, ialah berjudul Fayshal al-Tafriqah bayna al-Islam wa al-Zandaqah. Tidak ada nan tahu secara persis, kapan kitab ini ditulis, tapi banyak ustadz beranggapan bahwa kita ini ditulis sebelum al-Ihya’ ‘Ulum al-Din. Sebab, isi kitab ini menggambarkan proses pergulatan intelektual nan mencekam dan menggetarkan jiwa. Boleh jadi, kitab ini ditulis ketika al-Ghazali sedang menjalani proses ‘uzlah alias proses transisi dari corak pemikirannya nan teologis-filosofis ke spiritual-esoteris.
Dilihat dari judulnya, kita mungkin sudah dapat menerawang bahwa kitab al-Tafriqah ini berisi penjelasan tentang konsep krusial antara “Muslim” dan “Kafir”. Misalnya, siapa sebenarnya nan bisa disebut sebagai Muslim dan siapa pula nan boleh disebut kafir?
Kegelisahan al-Ghazali dalam merumuskan konsep kafir juga tidak lepas dari pergolakan sejarah Islam di era klasik, di mana ada peristiwa besar nan kemudian dikenal sebagai “al-Fitnah al-Kubra” (fitnah besar). Paling tidak, peristiwa ini menandakan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dalam sekte-sekte iktikad nan saling menyalahkan, apalagi membunuh, seperti Syi’ah, Murji’ah, Khawarij, dan Jama’ah al-Muslimin.
Ini terjadi pasca terbunuhnya khalifat ketiga, Utsman bin Affan. Meski peristiwa ini akibat dari gejolak politik, tapi ujung-ujungnya mengarah ke perdebatan teologis, ialah soal Muslim dan kafir.
***
Dalam pandangan al-Ghazali, sekte-sekte nan saling berpecah di antara mereka merupakan kumpulan dari orang-orang nan dungu langkah berpikirnya. Orang nan berpandangan bahwa kafir adalah orang nan menolak alias menentang doktrin mazhab/sekte seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Asy’ari, Hanbali, alias ajaran lainnya. Baginya, perihal itu merupakan suatu kegoblokan nan nyata dan kebutaan pikiran nan kelam.
Bahkan, al-Ghazali mengkritik sejumlah teolog nan mengkafirkan masyarakat umum hanya lantaran mereka tidak mengetahui pengetahuan teologi secara mendalam alias hanya lantaran mereka tidak mengetahui dalil-dalil kepercayaan sebagaimana pengetahuan para teolog. Imam al-Ghazali menganggap bahwa para teolog itu telah membatasi rahmat Tuhan nan sungguh mahaluas dan dianugerahkan untuk semua mahluk-Nya.
Agaknya, al-Ghazali mau mengatakan bahwa kebenaran itu sebenarnya tidak tunggal dan bahwa kebenaran itu tidak mengenai dengan pandangan orang alias golongan, tidak juga lantaran dianut oleh kebanyakan alias minoritas. Siapapun berkuasa memperoleh kebenaran dari Tuhan, seseorang alias suatu golongan besar pun, selain Nabi, tidak bisa dijadikan ukuran atas klaim kebenaran.
Makna Muslim dan Kafir Menurut Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, “Kufr” (kafir) dan “iman” (Muslim), adalah termonologi agama, dan bukan termonologi sekular. Karenanya, istilah ini haruslah dipahami berasas literatur-literatur nan otentik melalui sumber agama.
Al-Ghazali mendefinisikan kafir sebagai orang nan mendustakan Nabi Muhammad dan hal-hal nan disampaikannya. Sedangkan imam/Muslim adalah orang nan membenarkan semua nan disampaikan Nabi Saw.
Rumusan nan diberikan al-Ghazali ini rasa-rasanya sangat simpel dan jelas serta tentu saja membawa akibat bahwa penganut kepercayaan lain nan tidak percaya dengan Nabi Muhammad, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain, masuk kategori kafir, lantaran memang kepercayaan ini lahir sebelm Islam. Dalam konteks ini, al-Ghazali berbincang atas nama seorang teolog bukan filosof.
Namun demikian, jika mencermati lebih lanjut, rumusan nan diberikan oleh al-Ghazali tidaklah sesederhana itu. Meski tampak lugas, tetapi perlu penjelasan nan lebih luas dan mendetail. Misalnya bisa dilihat melalui perkataan al-Ghazali, “Ketauhilah bahwa apa nan saya sampaikan tentang kafir dan Muslim, meskipun jelas dan lugas, di baliknya tetap ada nan tersembunyi. Sebab, setiap golongan Islam mengkafirkan lawannya dan mengatakan mereka telah mendustakan Nabi Muhammad”.
Lima Hermeneutika Imam Al-Ghazali
Bila kita cermati lebih jauh, apa sebenarnya nan dimaksud oleh al-Ghazali dengan kata “mendustakan” alias “membenarkan” Nabi dalam mendefinisikan “kafir” dan “Muslim”? Bagaimana sebuah pernyataan, dalam perihal ini pernyataan Nabi, dapat dinyatakan betul alias salah? Bagaimana seseorang bisa mengetahui dengan pasti bahwa sebuah buletin berasal dari Nabi, sedangkan dia hidup jauh setelah Nabi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik ini, al-Ghazali menawarkan landasan teoritik berbasis pada teori hermeneutika alias dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an klasik disebut sebagai teori takwil, ialah pendekatan dalam memahami sebuah teks.
Esensi (wujud) dari sebuah buletin alias pernyataan, menurut al-Ghazali, dapat dinyatakan betul alias salah berasas lima kerangka pendekatakan. Adapun di antaranya;
Pertama, Wujud Dzatiy, dia merupakan bentuk hakiki. Keberadaannya bukan didasarkan atas emosi maupun kajian logika pikiran, meski begitu logika dan emosi bisa menangkap bentuk itu. Seperti bentuk langit, bumi, Kursi, ‘Arsy, dan sebagainya. Semua bentuk itu sifatnya niscaya, riil, dan nyata adanya.
Kedua, Wujud Hissiy, suatu bentuk nan dapat ditangkap oleh keahlian dari info indra nan absurd dan bukan bentuk nyata. Seperti mimpi, ketika seseorang bermimpi, bentuk di dalam mimpinya betul-betul ada dan dapat dilihat, tetapi faktanya dia tidak ada.
Ketiga, Wujud Khayaliy, ialah khayalan alias imajinasi. Seseorang dapat memandang dan mendengar objek dalam keadaan sadar, tetapi objek itu tak ada wujudnya dalam realitas.
Keempat, Wujud ‘Aqliy, rasio alias bentuk nan mempunyai ruh, substansi, alias makna. Seperti kursi, tv, dan rokok, dia mempunyai bentuk nyata nan rasional.
Kelima, Wujud Syibbiy, corak bentuk nan tanpa bentuk, tanpa makna, dan tanpa realitas. Ia merupakan bentuk metaforis dan kiasan. Contohnya seperti pengetahuan-Nya, senyum-Nya, kesabaran-Nya, dan seterusnya.
***
Kelima pendekatan ini, kudu betul-betul dipakai dalam memahami pernyataan alias buletin dari Nabi Saw. Ketika buletin Nabi itu bisa ditafsirkan, dipahami, alias ditakwilkan dalam kerangka lima metode hermeneutik di atas, maksudnya seseorang memahami buletin Nabi menggunakan teori itu, maka dia tidak bisa disebut kafir. Dengan kata lain, seseorang bisa dikatakan kafir, andaikan langkah pandangnya telah keluar dari lima kerangka hermenutik tersebut.
Jadi makna mendustakan Nabi adalah mendustakan semua corak interpretasi itu. Dan, makna membenarkan Nabi adalah membenarkan minimal menggunakan salah satu dari lima teori tadi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Tafriqah laman 182, “Perhatikan, sesungguhnya siapa pun nan memahami ucapan Nabi dengan salah satu jenis takwil ini, maka dia termasuk orang nan membenarkan Nabi. Tetapi seseorang dikatakan mendustakan Nabi andaikan menafikan semua makna-makna ini”.
Editor: Soleh