Ilmu, Iman, dan Kritis: Tiga Pilar Membangun Generasi Berkemajuan - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 4 hari yang lalu

Oleh: Hana Mufidatul Roidah*

Iman adalah fondasi kehidupan yangg menuntun manusia untuk memahami makna keberadaannya. Dalam Islam, ketaatan bukan hanya kepercayaan yangg berdiam di hati, melainkan kekuatan spiritual yangg menuntun seseorang untuk berpikir, merasa, dan bertindak sesuai nilai-nilai ilahiah.

Iman sejati melahirkan kesadaran bahwa seluruh kebaikan perbuatan manusia berada di bawah pengawasan Tuhan dan kudu mempunyai tujuan kemaslahatan.

Al-Qur’an mengajarkan hubungan erat antara ketaatan dan akal. Allah berfirman, “Sesungguhnya pada pembuatan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yangg berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 190).

Ayat ini mengingatkan bahwa ketaatan tidak boleh membikin manusia berakhir berpikir, justru mendorongnya untuk merenungi kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Dari proses berpikir itu, lahirlah rasa syukur, kepedulian, dan tanggung jawab terhadap kehidupan.

Iman yangg hidup menumbuhkan semangat perubahan. Ia menjadi daya yangg menggerakkan manusia untuk memperbaiki diri dan lingkungannya.

Sejarah mencatat, peradaban Islam berkembang lantaran ketaatan yangg melahirkan keberanian untuk berpikir dan berkarya. Para intelektual Muslim seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Farabi menjadikan ketaatan sebagai sumber inspirasi untuk menggali pengetahuan dan mengabdikan diri bagi kemaslahatan manusia.

Dalam kehidupan modern, ketaatan tetap menjadi penuntun utama di tengah arus perubahan yangg cepat. Ia menjaga manusia agar tidak kehilangan arah ketika berhadapan dengan kemajuan teknologi, style hidup konsumtif, dan krisis moral. Iman membikin manusia sadar bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari kecanggihan, tetapi dari sejauh mana kemajuan itu membawa nilai kemanusiaan dan ketaatan kepada Allah.

Ilmu Sebagai Jalan Pencerahan

Perintah pertama yangg diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah “Iqra” — bacalah. Allah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yangg menciptakan.” (QS. Al-Alaq [96]: 1).

Seruan ini mengandung pesan mendalam bahwa pengetahuan pengetahuan merupakan dasar peradaban Islam. Membaca bukan hanya berfaedah mengeja huruf, tetapi juga membaca alam semesta, membaca sejarah, membaca kehidupan sosial, apalagi membaca diri sendiri.

Ilmu adalah sinar yangg menuntun manusia keluar dari kegelapan kebodohan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut pengetahuan itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah).

Dengan ilmu, manusia bisa membedakan antara yangg betul dan salah, memahami norma karena akibat, serta menemukan langkah untuk menciptakan kebaikan. Tanpa ilmu, manusia mudah terjebak dalam prasangka dan takhayul.

Baca Juga: Gaya Hidup Halal tapi Konsumtif: Di Mana Letak Kesederhanaan?

Namun, Islam tidak menempatkan pengetahuan semata sebagai instrumen duniawi. Ilmu kudu disertai kesadaran spiritual agar tidak kehilangan arah. Ilmu yangg tidak dibimbing ketaatan bisa berubah menjadi perangkat untuk menindas alias mengeksploitasi. Karena itu, Islam mengajarkan keseimbangan antara kepintaran intelektual dan kebijaksanaan moral.

Dalam konteks masyarakat modern, pengetahuan menjadi kebutuhan yangg tidak dapat ditawar. Dunia terus bergerak, teknologi berkembang, dan info melimpah tanpa batas. Namun di kembali itu, tantangan baru muncul: manusia yangg pandai secara akademik tetapi miskin empati, berilmu luas tetapi kehilangan kebijaksanaan. Maka, menuntut pengetahuan kudu diiringi dengan niat untuk menebar manfaat, bukan sekadar mengejar status sosial alias untung pribadi.

Pendidikan yangg berdasarkan nilai-nilai keagamaan bakal melahirkan manusia yangg utuh — pandai secara intelektual, matang secara emosional, dan bijak secara spiritual. Pendidikan semacam inilah yangg dapat melahirkan generasi tercerahkan yangg bisa menjaga keseimbangan antara logika dan hati, antara logika dan nurani.

Sikap Kritis Sebagai Cermin Kematangan Iman dan Ilmu

Sikap kritis merupakan cermin kedewasaan berpikir. Islam menghargai penggunaan logika untuk menimbang, mengkaji, dan mengevaluasi sesuatu. Allah berfirman, “Maka tidakkah mereka memikirkan Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yangg banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa [4]: 82).

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah membujuk manusia untuk berpikir mendalam dan tidak menerima sesuatu secara buta. Berpikir kritis bukan berfaedah menentang, melainkan mencari kebenaran dengan jujur dan rasional.

Dalam sejarah Islam, para ustadz dan cerdas pandai selalu menempuh jalan berpikir kritis untuk memahami teks dan konteks kehidupan. Mereka tidak sekadar menerima, tetapi mengkaji dengan hati-hati agar aliran Islam senantiasa relevan dengan zaman.

Sikap kritis juga sangat krusial dalam kehidupan sosial. Ia menuntun manusia untuk peka terhadap ketidakadilan dan berani mempertanyakan keadaan yangg tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan berpikir kritis, seseorang tidak mudah terjebak dalam arus info tiruan alias propaganda. Ia bakal menimbang setiap buletin dengan logika sehat dan nilai moral.

Dalam bumi pendidikan, sikap kritis perlu dibangun sejak dini. Anak-anak dan remaja kudu dilatih untuk tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami dan menalar. Mereka perlu diajarkan untuk berani bertanya, mengungkapkan pendapat, dan mencari solusi atas masalah. Pendidikan yangg menumbuhkan daya kritis bakal melahirkan generasi yangg kreatif, berani berinovasi, dan siap menghadapi perubahan zaman.

Sikap kritis juga mengajarkan kerendahan hati, lantaran dalam berpikir kritis, seseorang menyadari bahwa kebenaran bukan miliknya sendiri. Ia belajar mendengar, berdialog, dan menghargai perbedaan. Dari sanalah lahir masyarakat yangg terbuka, toleran, dan beradab.

Iman, ilmu, dan sikap kritis adalah tiga pilar yangg tidak dapat dipisahkan dalam membangun generasi berkemajuan. Iman memberikan arah moral, pengetahuan membawa pencerahan, dan sikap kritis menjaga agar keduanya tetap hidup dan berkembang. Tanpa iman, pengetahuan kehilangan nilai. Tanpa ilmu, ketaatan kehilangan pemahaman. Tanpa sikap kritis, keduanya berakhir bergerak.

Kemajuan Bukan Berarti Meninggalkan Agama

Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah menunjukkan bahwa kemajuan bukan berfaedah meninggalkan agama, tetapi justru menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber inspirasi perubahan. Melalui ketaatan yangg kokoh, pengetahuan yangg luas, dan logika yangg kritis, umat Islam dapat membangun peradaban yangg adil, manusiawi, dan berkemajuan.

Generasi beriman, berilmu, dan kritis bakal menjadi penerus estafet peradaban yangg membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dari tangan-tangan merekalah bakal lahir masyarakat yangg tercerahkan, di mana pengetahuan menjadi cahaya, ketaatan menjadi kekuatan, dan sikap kritis menjadi kompas menuju kemaslahatan bersama.

*Mahasiswa Ilkom UNISA Yogyakarta dan Jurnalis Magang Suara ‘Aisyiyah

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id