
Oleh: Arif Jamali Muis *)
Setiap tanggal 10 Dzulhijjah umat Islam di seluruh bagian bumi memperingati sebuah peristiwa penting. Keikhlasan Siti Hajar, kepatuhan dan keteguhan Ibrahim, serta keikhlasan Ismail dalam memenuhi dan melaksanakan perintah Allah SWT. Peristiwa yangg kemudian hari kita peringati sebagai ‘Idul Adha.
Peristiwa ‘Idul Adha paling tidak bisa kita memaknai dalam dua dimensi ialah vertikal (transenden/ketauhidan) dan mendatar (kemanusiaan).

Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri dan perbincangan dengan Tuhan dalam rangka menangkap nilai dan sifat-sifat ketuhanan. Proses ini mengondisikan umat manusia untuk melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempit dan pragmatis sehingga dapat “menjumpai” Tuhan.
Sebuah kepasrahan autentik (al-hanif) yangg secara vertikal menjadikan setiap kaum beragama meneguhkan jiwa ketauhidan untuk selalu alim kepada Allah nan Maha Esa, sekaligus merawat setiap perilaku agar tetap lurus di jalan betul dan tidak terjerembab ke lembah bathil dan kemusyrikan. Insan yangg bertauhid bakal membenamkan hawa nafsunya pada kehanifan diri, berupa jiwa yangg cerah dari noda syirk dan dosa.
Pada dasarnya manusia mempunyai nafsu cinta materi dan segala pesona dunia, yangg jika tak terbimbing dan terkendali oleh fitrah bakal tumpah ke segala arah. Sumber segala nista di muka bumi ini bermulai dari gairah primitif manusia yangg tak terkendali, yangg oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut “ibu dari semua berhala”, seperti keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi, kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala bentuk tiran sesungguhnya pantulan dari jiwa angkara manusia yangg kehilangan sublimasi nilai Ilahiah.
Jiwa fitrah yangg dihidupkan dengan ibadah dapat meredam hawa nafsu yangg selalu menyala dalam diri manusia selaku insan yangg hidup dalam norma duniawi. Dengam fondasi jiwa tauhid dalam spirit ibadah haji dan qurban, setiap muslim kudu bisa menaklukkan keakuan diri. Ego yangg merasa diri betul sendiri, diri yangg digdaya dan berkuasa, diri yangg serba dahsyat disertai sikap merendahkan, menzalimi, dan memperlakukan orang lain semena-mena.
Kedua, secara mendatar ‘Idul Adha melambangkan keharusan manusia membangun hubungan yangg baik antarsesama manusia dan untuk membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata di tengah masyarakat.
Wahyu Allah SWT kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yangg kemudian diganti hewan kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh merendahkan manusia lain, menjadikannya sebagai persembahan, alias melecehkannya dalam corak apapun. Sebab, manusia sejak awal dilahirkan setara dan sederajat. Nilai-nilai yangg merepresentasikan kesetaraan dan kesederajatan perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan sehingga bumi dipenuhi kedamaian dan kebahagiaan hakiki.
Kebaikan sosial yangg menjadi hikmah dari ‘Idul Adha seperti memupuk persaudaraan, toleransi, perdamaian, dan kebersamaan yangg tulus sebagai sesama anak bangsa, kebiasaan doyan menolong, berbagi rizki, melapangkan jalan orang yangg kesulitan, mengentaskan mereka yangg lemah, memihak orang yangg terzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak merupakan gambaran sikap ihsan kepada sesama yangg diperintahkan oleh Allah SWT (QS An Nahl: 90).
Hari Raya Haji mengingatkan kita peristiwa keagamaan yangg menyelamatkan umat manusia dari kehancuran, berasal dari penghambaan diri manusia kepada kepentingan diri sendiri. ‘Idul Qurban kudu menjadi proses pembebasan manusia dari segala sifat yangg membikin manusia lupa jati dirinya sebagai makhluk Allah. (*)
*) Arif Jamali Muis adalah Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta.
English (US) ·
Indonesian (ID) ·