Meski bulan Ramadan 1444 Hijriyah baru memasuki minggu ketiga, namun jasa dan penawaran tukar-menukar duit untuk dijadikan bingkisan alias biasa disebut ampau di Hari Raya sudah banyak dibeberapa media. Banyak yangg dari mereka menawarkan duit dengan pecahan dan keluaran terbaru.
Bagaimana Hukum Tukar Menukar Uang?
Hal yangg sudah menjadi tren di masyarakat ini, gimana jika dilihat dari perspektif pandang agama. Sebab setiap sesuatu yangg menjadi muamalah, terdapat syari’at didalamnya. Termasuk dalam tukar menukar uang. Kita lihat terlebih dulu dari janji ketika melakukan penukaran, serta dari setelah adanya pertukaran tersebut.
Semisal, ketika kita menukarkan duit 100 ribu Rupiah dengan 100 ribu Rupiah yangg baru, alias yangg mau kita tukarkan. Namun didalamnya ada jasa seperti ada lebihnya menjadi 100 ribu dengan jasa 10 alias 5 ribu Rupiah alias dengan kelebihan dalam jumlah tertentu, maka perihal itu termasuk riba dan sudah jelas haram. Sebagaimana ayat 29 QS An-Nisa’ yangg artinya:
“Wahai orang-orang yangg beriman! Janganlah Anda saling menyantap kekayaan sesamamu dengan jalan yangg batil (tidak benar), selain dalam perdagangan yangg bertindak atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah Anda membunuh dirimu.”
Tetapi perihal tersebut bisa menjadi mubah, jika jasa orang yangg menyediakan, maka praktik penukaran duit dengan kelebihan tertentu mubah menurut hukum lantaran praktik ini terbilang kategori ijarah (sewa). Ijarah sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi faedah (jasa) dari sebuah peralatan alias jasa dari sebuah tenaga (aktivitas). Hal itu terdapat dalam Fathul Mujibil Qarib (123).
Dengan artian, kelebihan duit yangg diberikan sebagai bayaran pemilik jasa tergantung kesepakatan kedua pihak antara penerima jasa penukaran duit dan pemilik jasa. Jadi, jika memang kudu menggunakan jasa pertukaran uang, maka kudu diniatkan sebagai janji ijarah. Sehingga, kelebihan pada penukaran duit yangg diberikan bukan termasuk riba. Melainkan sebagai corak bayaran atas jasa yangg telah diberikan pemilik jasa pertukaran duit tersebut.
***
Prof. Din Syamsuddin, dikutip dari Republika (11/8/2011), menyatakan bahwa selama tidak ada unsur paksaan, penipuan, dan lainnya maka sah-sah saja. “Penukaran duit dengan ada sedikit hadiah jasa itu sah-sah saja,” katanya. Maka, bisa disimpulkan bahwa kesimpulannya sama dengan pendapat yangg diatas tadi.
Dikutip dari laman mui.co.id, andaikan dalam praktik penukaran duit baru yangg menjadi objeknya adalah uang, maka dia bisa menjadi haram, lantaran masuk dalam kategori riba. Akan tetapi, andaikan objeknya adalah jasa orang yangg menyediakan uang, maka norma menukar duit baru saat Lebaran boleh-boleh saja menurut Islam.
Dari beragam pandangan tersebut, dapat kita ambil poin yangg terdapat di dalamnya. Jadi, tukar-menukar duit diperbolehkan asal tidak terdapat riba didalamnya. Misalnya, dengan memberikan tarif yangg banyak atas jada penukaran tersebut, bisa juga dengan memandang akadnya. Semisal dari kedua belah pihak saling menerima atas ijab dari pertukaran maka diperbolehkan, dengan catatan keduanya tidak merasa keberatan.
Atau bisa juga dengan tidak adanya kelebihan yangg dimana kelebihan dari penukaran duit tersebut menjadi beban bagi penukar. Dengan dasar suka sama suka pada surat An-Nisa’ di atas, sehingga meskipun ada kelebihan namun penukar tidak mempermasalahakn lebihan tersebut, maka sah-sah saja. Sehingga tidak ada yangg saling dirugikan.
Dalam muamalah yangg satu ini memang kita kudu berhati-hati ketika menjalaninya. Sehingga dengan ke hati-hatian tadi dapat menyelamatkan kita dari perihal yangg sebenarnya bisa saja dianggap ringan, namun rupanya masuk ke dalam sesuatu yangg diharamkan Allah Swt ialah riba.
Perlu Berhati-hati
Oleh lantaran itu, sesuatu yangg menjadi tradisi di masyarakat kita seperti tukar-menukar duit yangg bisa saja tidak saat menjelang lebaran. Namun juga dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam aktivitas jual-beli perlu kita untuk lebih jeli dan berhati-hati. Saat sesuatu yangg terkadang dianggap biasa di masyarakat, bisa jadi kebiasaan tersebut justru mengandung perihal yangg diharamkan oleh syari’at Islam.
Maka, untuk mengantisipasi perihal tersebut, butuh sifat hati-hati serta adanya literasi (ilmu pengetahuan) yangg cukup agar kita bisa membedakan, memilah, dan memilih segala aktivitas yangg bisa saja mengandung alias terdapat larangan didalamnya. Sebagaimana hadits yangg artinya:
“Sikap berhati-hati itu dari Allah dan sikap tergesa-gesa itu dari setan.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bin Malik ra.)
Editor: Soleh
2 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·