Hukum Perayaan Ulang Tahun dan Milad dalam Perspektif Islam - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyelenggarakan Kajian Tarjih Online bertema “Hukum Perayaan Ulang Tahun, Milad, dan Sejenisnya”. Kegiatan ini berjalan pada Rabu (15/10) pukul 07.30 WIB melalui platform Zoom.

Narasumber dalam kajian tersebut adalah Dosen Fakultas Agama Islam UMS, Yayuli. Dalam pemaparannya, dia menegaskan bahwa seremoni ulang tahun alias milad termasuk dalam ranah mu‘amalah duniawiyah, ialah perkara duniawi yangg tidak secara definitif diatur dalam Al-Qur’an maupun hadis. Oleh lantaran itu, hukumnya berjuntai pada tujuan, bentuk, dan isi aktivitas tersebut.

“Dalam Islam, segala sesuatu dalam perkara mu‘amalah pada dasarnya hukumnya isti alias boleh, selama tidak ada dalil yangg melarangnya,” ujar Yayuli.

Ia menambahkan, bahwa prinsip dasar mu‘amalah kudu didasari oleh kerelaan, menjauhi kemudaratan, dan memelihara nilai keadilan.

Landasan Mu‘amalah dan Prinsip Kemanfaatan

Dalam penjelasannya, Yayuli menyebut empat prinsip krusial dalam mu‘amalah. Pertama, norma asal segala sesuatu adalah boleh (al-ashlu fil asy-ya al-ibahah). Kedua, kudu dilakukan atas dasar kerelaan tanpa paksaan. Ketiga, bermaksud mendatangkan faedah dan menghindari mudarat. Keempat, menjaga keadilan dan tidak menzalimi pihak lain.

Dia juga menukil sabda yangg diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ tidak boleh melakukan kemudaratan dan tidak boleh membahayakan orang lain. Prinsip ini, imbuhnya, menjadi dasar bahwa setiap aktivitas sosial, termasuk seremoni ulang tahun, kudu membawa kemaslahatan dan tidak menimbulkan kemaksiatan.

Ulang Tahun: Boleh Selama Bernilai Kebaikan

Menjawab pertanyaan tentang norma mengadakan seremoni ulang tahun, Yayuli menjelaskan bahwa tidak ada nash yangg secara langsung melarangnya. Namun, jika seremoni tersebut diisi dengan aktivitas yangg positif, seperti pengajian, silaturahmi, alias aktivitas sosial, maka hukumnya diperbolehkan apalagi dianjurkan.

“Jika suatu aktivitas dilakukan untuk menyeru kepada kebaikan, mempererat ukhuwah, dan menambah keimanan, maka perihal itu sejalan dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104: ‘Wal takun minkum ummatun yad‘ūna ilal khairi wa ya’murūna bil ma‘rūfi wa yanhawna ‘anil munkar’,” jelasnya.

Sebaliknya, seremoni ulang tahun yangg diwarnai dengan perbuatan maksiat, berlebih-lebihan (tabdzir), alias apalagi mengandung unsur kemusyrikan, hukumnya haram. “Kegiatan semacam itu jelas bertentangan dengan semangat Islam yangg mengajarkan kesederhanaan dan menjauhkan diri dari perihal sia-sia,” tambahnya.

Menyikapi Tradisi Non-Islam dan Budaya Lokal

Dalam kesempatan tersebut, Yayuli juga menyinggung tradisi menyalakan lilin dalam seremoni ulang tahun yangg umum dilakukan masyarakat modern. Ia menjelaskan bahwa tradisi tersebut berasal dari ritual bangsa Yunani antik yangg mempersembahkan sinar lilin kepada Dewi Bulan, Artemis. Asap lilin dianggap sebagai pengantar angan kepada sang dewi.

“Oleh lantaran itu, tradisi meniup lilin sebenarnya mempunyai akar ritual non-Islam. Rasulullah SAW bersabda, ‘Man tashabbaha bi qaumin fa huwa minhum’ (barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka),” tegas Yayuli.

Beliau mengingatkan agar umat Islam bijak dalam memilah tradisi. Tidak semua tradisi yangg terkenal di masyarakat boleh diikuti jika mengandung nilai yangg bertentangan dengan tauhid.

Baca Juga: Hukum Berhaji Lebih dari Satu Kali Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah

Selain itu, beliau juga menyinggung tradisi Jawa seperti neloni (kandungan tiga bulan) dan mitoni (kandungan tujuh bulan). Berdasarkan keputusan Majelis Tarjih dalam Tanya Jawab Jilid 2, tradisi tersebut tidak mempunyai dasar aliran Islam dan dapat menjurus pada kemusyrikan jika disertai kepercayaan tertentu.

Namun, jika momentum tersebut dijadikan sarana untuk berterima kasih kepada Allah, misalnya dengan bersedekah alias berbagi makanan kepada sesama, maka perihal itu diperbolehkan. “Islam tidak melarang ungkapan syukur, asalkan dilakukan dengan langkah yangg sesuai syariat,” ujar Yayuli menegaskan.

Makna Milad Muhammadiyah

Menutup kajian, Yayuli juga menyinggung tentang makna milad Muhammadiyah. Ia menjelaskan bahwa peringatan milad bukan sekadar seremoni, tetapi juga sarana syiar Islam dan refleksi perjuangan tokoh-tokoh pendiri.

“Milad Muhammadiyah dan milad UMS dilakukan dalam rangka menyiarkan Islam dan mengenang perjuangan tokoh-tokoh persyarikatan. Selama seremoni itu diisi dengan aktivitas dakwah, pengajian, dan kebaikan kebaikan, maka hukumnya boleh,” pungkasnya.

Dengan demikian, norma seremoni ulang tahun, milad, alias sejenisnya sangat berjuntai pada niat dan corak pelaksanaannya. Jika membawa kemaslahatan dan memperkuat nilai keislaman, maka diperbolehkan. Namun, jika mengandung unsur kesyirikan dan kemaksiatan, maka hukumnya jelas dilarang. (Hana)-Nely

-->
Sumber suaraaisyiyah.id
suaraaisyiyah.id